Mungkin Argentina lebih dikenal dengan kedigdayaannya dalam cabang olahraga sepak bola oleh khalayak umum. Sejak generasi Alfredo Di Stefano, Daniel Passarella, Diego Armando Maradona, Mario Kempes, Juan Roman Riquelme, Lionel Messi, hingga calon bintang muda mereka yaitu Lautaro Martinez.
Dengan materi yang sangat luar biasa dari timnas Argentina, bukanlah hal yang sulit untuk mereka mendapatkan trofi di tiap pagelaran bergengsi, seperti Copa America dan Piala Dunia. Namun, yang menjadi anomali, dewasa ini, Tim Tango masih sulit membuka kran trofinya dengan materi pemain yang sudah sangat mendukung.
Pada Copa America edisi terakhir pun, Golden Generation Argentina sudah ikut turun gunung untuk membantu timnasnya kembali merengkuh trofi Copa America yang sudah lama lepas dari genggaman. Dikepalai oleh Lionel Scaloni, dan dibantu oleh Pablo Aimar, Roberto Ayala, dan Walter Samuel.
Tercatat bahwa terakhir kali timnas Argentina merengkuh Trofi Copa America edisi 1993 di Ekuador, yang mana edisi sebelumnya mereka juga menjadi pemenangnya. Pada saat itu, Gabriel Batistuta menjadi top skor bagi timnas Argentina.
Berita yang mengejutkan muncul dari cabang olahraga lain, yang tidak menjadi olahraga utama di Argentina sendiri, yaitu basket. Berangkat ke pagelaran FIBA World Cup di Cina tahun ini tanpa membawa seorang pun pemain yang bermain di NBA, sangat diwajarkan ketika mereka menjadi underdog pada FIBA World Cup tahun ini.
Baca juga: 7 Pesepak Bola dengan Hobi Uniknya
Namun, secara mengejutkan mereka dapat mencapai final, meskipun harus takluk dari Spanyol yang sedang on form dan mempunyai materi pemain yang lebih baik. Ada satu sosok yang menonjol di tim basket Argentina pada FIBA World Cup pada tahun ini, Luis Scola namanya.
Luis Scola bukanlah nama baru bagi basket Argentina. Ia menjadi generasi terakhir timnas Argentina yang menjadi bagian dari Golden Generation yang memenangkan medali emas di Olimpiade Athena tahun 2004. Umur yang sudah mencapai 39 tahun ternyata membuat Scola sangat matang untung membawa tim Argentina yang sebelumnya dianggap sebelah mata oleh semua mata yang tertuju, menjadi tim yang sangat membahayakan bagi semua lawannya.
Meskipun tidak mendapatkan posisi pertama, hal ini menjadi pencapaian pribadi bagi Luis Scola sendiri. Bukan hanya sebagai senior yang memberikan dorongan motivasi pada sejawatnya, Luis Scola masih menunjukkan dominasinya dilihat dari statistik yang ia dapatkan hingga final melawan Spanyol.
Dengan jumlah rata-rata 17.9 poin per pertandingan dan 8.1 rebound per pertandingan. Selain itu, Scola pun masuk ke dalam Five All Star FIBA World Cup edisi kali ini.
Dengan Cinderella Story yang dialami oleh timnas basket Argentina di FIBA World Cup, menjadi tamparan yang sangat keras bagi timnas sepak bola Argentina, terutama sang mega bintang, Lionel Messi, yang masih belum dapat memberikan gelar untuk Argentina.
Messi masih belum dapat memainkan peran yang ia lakukan di Barcelona untuk negaranya. Seakan tidak didukung oleh semesta, selalu ada yang menghambat perjalanan Argentina untuk mendapuk gelar tertinggi di berbagai turnamen yang diikuti.
Menjadi dipertanyakan kapasitasnya oleh semua pihak untuk membuktikan Argentina sebagai tim yang selalu diunggulkan. Atau mungkin Argentina harus menjadi pihak yang tidak diunggulkan untuk datangnya gelar ke pangkuan mereka?
Luis Scola memang tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan Lionel Messi. Dari segala aspek prestasi individu, Messi jauh unggul di atas Scola, namun Scola sudah membuktikan bahwa tidak selamanya prestasi individu berjalan linear dengan prestasi tim. Konteks dari hal ini adalah timnas Argentina di kedua belah cabang olahraga.
Pepatah mengatakan bahwa Super Human have Super Ego. Di umur yang sangat dewasa, Scola sudah tidak mementingkan egonya. Sudah tidak ada capaian individu yang ingin ia dapatkan lagi, mungkin hal ini yang masih belum Messi dapatkan. Meskipun semua capaian individu sudah ia dapatkan, namun Ego yang ia miliki masih belum mencapai titik di mana Scola miliki saat ini.
Basket yang bukan menjadi olahraga utama di Argentina seakan membangunkan anak emas yang selama ini merasa jemawa, padahal sudah tertinggal banyak hal. Semua exposure yang ada selalu datang ke pangkuan tim sepak bola Argentina tanpa diminta, namun anak lain selalu berusaha untuk meraih panggung tersebut. Tidak pernah mendapatkan exposure yang berlebih membuat anak lain dapat leluasa bergerak tanpa beban.
Karena tidak diunggulkan akan selalu menyenangkan.
*Penulis merupakan mahasiswa tingkat akhir di Universitas Gadjah Mada prodi Ilmu Ekonomi yang menyambi jadi milanisti paruh waktu. Bisa ditemui di akun Twitter @rivaldiiivan