Cerita

Setahun Setelah Haringga Sirla Berpulang

23 September 2018 menjadi hari berkabung untuk sepak bola Indonesia. Seorang suporter Persija Jakarta bernama Haringga Sirla, meregang nyawa akibat dianiaya sekelompok oknum suporter Persib Bandung, jelang duel klasik yang mempertemukan kedua tim.

Meninggalnya Haringga langsung menyedot perhatian nasional. Video penganiayaan yang tersebar luas di media sosial membuat hati teriris. Bagaimana bisa, sesama manusia melakukan tindakan sekeji dan sekejam itu kepada sesama manusia, hanya dengan alasan perbedaan klub yang didukung?

Usai tragedi itu PSSI langsung meliburkan liga selama dua pekan. Kemudian Imam Nahrawi yang saat itu masih menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, mengatakan penghentian liga sebagai bentuk penghormatan kepada korban, sekaligus bentuk bela sungkawa nasional.

Bentrok suporter masih terjadi

Penghentian liga yang dilakukan saat itu, nyatanya tidak berimbas banyak ke perubahan perilaku suporter hingga kini. Sampai sekarang, insiden kerusuhan suporter masih tetap terjadi di sepak bola nasional, baik Liga 1, Liga 2, apa lagi Liga 3.

Bentrok suporter adalah penyakit kronis yang sudah turun-menurun menular ke berbagai generasi. Untuk mengatasinya, butuh obat yang tidak hanya menuju inti persoalan itu saja yaitu suporter, tapi juga ke cabang-cabangnya.

Baca juga: Suporter adalah Nyawa, Bukan Pemburu Nyawa

Suporter berbuat anarkis bukan terjadi begitu saja. Pasti ada yang memberi contoh, dan ada sebabnya mereka mau mencontoh. Rendahnya tingkat pendidikan salah satu sebabnya, yang membuat para oknum suporter dengan entengnya berpikir kalau rival abadi adalah musuh yang harus dibasmi.

Padahal, di sepak bola yang disebut adalah lawan bukan musuh. Bahasa Inggris juga membedakan, antara opponent (lawan) dan enemy (musuh). Pemahaman ini yang sering luput atau disalahartikan di sebagian kalangan suporter.

Meluruskan pemahaman yang salah memang butuh waktu, tapi tidak mustahil dilakukan. Memberi contoh dukungan yang baik jadi salah satunya, seperti tidak menyanyikan chants “dibunuh saja” atau yang bernada provokatif lainnya. Tifo dan desain pernak-pernik klub juga bisa jadi cara lain untuk menyingkirkan jauh-jauh doktrin bahwa rival adalah manusia yang harus dienyahkan.

Akan tetapi membenahi perilaku negatif suporter sepak bola tidak bisa hanya dari lingkup sepak bola itu saja. Pendidikan juga memegang peranan penting, disertai budaya santun yang dibiasakan di kehidupan sehari-hari. Perilaku orang dewasa juga memiliki andil, mengingat sebagian besar pelaku kerusuhan adalah usia pelajar yang gemar mencontoh perbuatan para seniornya. Faktor-faktor tersebut bisa membentuk perilaku suporter yang baik, yang sebenarnya jumlahnya juga tidak sedikit.

Itulah mengapa kebijakan menghentikan liga perlu dipertanyakan. Langkah ini tidak menyasar sasarannya secara langsung, yakni suporter. Justru, penghentian kompetisi secara mendadak bisa menimbulkan efek samping bagi kontestan liga.

Baca juga: Bintang Persija Kirim Doa untuk Member JKT48

Klub perlu mengatur ulang jadwal latihan dan segala rutinitasnya, lalu pemain juga harus bersiap melakoni laga tengah pekan dadakan agar liga bisa selesai tepat waktu. Padahal, saat itu timnas Indonesia tengah bersiap menuju gelaran Piala AFF 2018 yang jaraknya hanya dua bulan lagi.

Situasi ini memang mirip dengan peristiwa kematian pemain, yang juga membuat kompetisi harus dihentikan sementara waktu. Tapi itu tidak sama dengan dihentikan akibat kematian suporter, karena hal ini seharusnya bisa dicegah sejak dini.

Oke kalau menghentikan liga bisa menjadi titik balik menuju perdamaian suporter, tapi peluang untuk gagal kan juga ada. Oleh karenanya, jeda kompetisi tidak bisa dijadikan satu-satunya obat untuk menghilangkan atau minimal menekan angka kerusuhan suporter. Harus disiapkan obat-obat lain untuk membasmi perilaku buruk ini mulai dari akarnya sampai cabang-cabangnya.

Ingat, mereka yang luka-luka dan terenggut nyawanya sebagai suporter sepak bola, tidak hanya terjadi karena pertandingan, tapi juga karena perbedaan logat bahasa kedaerahan, plat nomor kendaraan, atribut kesebelasan, dan petasan.

Sepak bola Indonesia tidak selamanya bercitra buruk. Lihat saja di Asian Games 2018 yang lalu, kita bisa larut bersama dalam kebahagiaan, meskipun terdiri dari beragam perbedaan. Kita pernah berada di masa-masa itu, dan kita pasti bisa mengobarkan kembali semangat itu, berbekal keinginan bersama untuk bersatu.

Baca juga: Andaikan Asian Games 2018 Bisa Diperpanjang…

 

*Artikel ini diunggah ulang dengan beberapa pembaruan dari artikel meninggalnya Haringga Sirla.