Musim ini PSIM Yogyakarta mematok target lolos ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Masuknya investor baru membawa angin segar bagi klub yang memiliki sejarah panjang di kancah sepak bola Tanah Air tersebut.
Bambang Susanto yang merupakan pengusaha asal Jakarta berniat mengembalikan kejayaan, dan kembali mencatat prestasi dalam catatan sejarah klub berjuluk Laskar Mataram itu.
Ketahanan finansial, ditambah dukungan kalangan pandemen PSIM (pendukung PSIM), menjadi modal. Dengan dana yang dikucurkan, kekuatan telah dibangun. Pemain-pemain top eks Liga 1 semisal Ngurah Nanak, Raphael Maitimo, hingga Cristian Gonzales didatangkan ke Tanah Istimewa. Juga kembalinya Hendika Arga Permana membawa harapan.
Semua modal yang ada, materi pemain, ketahanan finansial, dukungan masyarakat Yogyakarta, hingga kemungkinan kembali ke rumah, Stadion Mandala Krida, rasanya cukup untuk melambungkan harapan Warisane Simbah segera kembali ke kasta tertinggi. Untuk bergabung dengan rekan-rekan lama sesama pendiri federasi.
Namun PSIM pernah memiliki kenangan buruk gagal promosi yang tentu tidak ingin kembali terjadi. Kenangan yang pastinya tidak mudah dilupakan.
Pada masa puncak kejayaan pembinaan pesepak bola lokal DIY yang menghasilkan nama-nama lokal Maryono, Siswadi Gancis, Triyono, Susilo Harso, Saiful Bahri, Sugito, Nyoman Arba Wibawa, dan Edi Prapto, PSIM pernah gagal promosi.
Bukan karena kalah bersaing, tapi bisa dibilang klub asal Kota Pelajar ini harus mengalah atas klub ibu kota. Kala itu, klub yang berdiri 1929 tersebut berhasil menjadi runner-up Divisi 1 1985 dan seharusnya secara otomatis naik kasta keDivisi Utama.
Namun secara mengejutkan PSSI tiba-tiba mengumumkan regulasi adanya pertandingan play-off promosi-degradasi, sehingga langkah PSIM Yogyakarta tertahan.
“Harusnya tahun itu kita (PSIM) masuk jajaran tim elite Indonesia karena finis sebagai runner-up Divisi I saat itu. Tapi, karena Persija kena degradasi maka dibuat aturan baru ada pertandingan promosi-degradasi seperti play-off, padahal seharusnya runner-up otomatis naik Divisi Utama,” ungkap Susilo, pemain PSIM kala itu. mengutip KRJOGJA.com.
Korban upaya menyelamatkan Persija Jakarta
Seperti tertulis dalam buku Gue Persija, tahun 1985 menjadi mimpi buruk bagi Persija dalam catatan sejarah keikutsertaan mereka di kompetisi antarperkumpulan sepak bola. Tim ibu kota itu seperti kehabisan stok pemain andalan dan merombak total seluruh skuat musim sebelumnya.
Hasilnya, Macan Kemayoran tersungkur di posisi terbawah klasemen Wilayah Barat. Dengan hasil tersebut seharusnya Persija langsung terdegradasi ke kasta di bawahnya. Berganti dengan mereka yang berhak promosi ke kasta tertinggi.
Seolah ingin menyelamatkan Persija Jakarta, secara tiba-tiba PSSI mnggelar babak 6 kecil yang mempertemukan tim-tim terbawah masing-masing wilayah. Sayangnya cara ini tidak berhasil menyelamatkan Persija.
Baca juga: Inikah Era Baru Sepak Bola Yogyakarta?
Tidak kehabisan akal, secara mengejutkan PSSI lagi-lagi mengubah aturan secara kontroversial. PSSI membatalkan degradasi Persija dan Persema untuk kemudian menggelar babak play-off promosi-degradasi. Selain diikuti Persija dan Persema, play-off ini diikutu juara dan runner-up Divisi 1, Persiba Balikpapan dan PSIM Yogyakarta.
Pada pertandingan di Stadion Bima Pertamina Cirebon, Persija akhirnya terselamatkan, sedangkan nasib PSIM Yogyakarta adalah sebaliknya.
PSIM gagal promosi dengan generasi permain binaan lokal terbaiknya. Bersama Persema, PSIM kembali ke Divisi 1. Bukan karena tidak dapat bersaing, tapi karena banyak hal aneh yang mengiringi.
“Pada pertandingan tersebut sangat menyedihkan tim kita dikerjai wasit yang seharusnya menang lawan Balikpapan karena dapat penalti. Namun, sama wasit malah dikalahkan karena keputusan berubah tidak jadi penalti yang membuat pemain kita tidak konsentrasi, lalu tahu-tahu ada pemain Balikpapan bawa bola. Mas (Siswadi) Gancis lengah karena masih protes keputusan, lawan bisa cetak gol. Kita dikerjai habis-habisan saat itu,” masih ungkap Susilo, dari sumber yang sama.