Dunia

Yang Bola yang Berpesta!

Tak terasa 2019 sudah memasuki separuh jalan. Sejumlah liga-liga di Eropa telah habis musim sementara di belahan bumi lainnya kompetisi tengah bersiap memasuki paruh musim.

Meski demikian, segera datang lima kompetisi antarnegara untuk memanjakan para pencinta sepak bola. Tak biasanya, musim panas kali ini “yang bola, yang berpesta!”.

Mengkreasi ulang judul film garapan sutradara legendaris Sumandjaja, “Yang muda, yang bercinta” yang rilis di tahun 1970-an, bulan Juni nampaknya memang benar-benar membuat para pencinta sepak bola dimabuk kepayang bak Sony (yang diperankan sastrawan W.S. Rendra) yang jatuh cinta pada pujaan hatinya Titiek (yang diperankan aktris senior Yati Octavia.)

Bayangkan, kita dimanjakan oleh suguhan Piala Dunia Wanita, Copa America, Piala Afrika, Piala Emas, dan tentu saja babak semi-final UEFA Nations League. Dua dari lima kompetisi ini bahkan mengalami pergeseran jadwal dari yang biasanya dihelat di awal tahun yakni Piala Afrika dan Copa America.

Baca juga: Sudah Saatnya Zaha

Pada pertengahan Juli 2017 lalu CAF (Konfederasi Sepak Bola Afrika) resmi mengumumkan pergeseran jadwal Piala Afrika 2019 yang dilangsungkan di Mesir ke musim panas. Piala Afrika edisi ke-32 sepanjang sejarah ini pun juga mengalami penambahan kontestan dari 16 menjadi 24 peserta.

Piala Afrika 2019 sendiri sudah mengalami dua masalah yakni perubahan tuan rumah dan pergeseran jadwal. Kamerun yang sejatinya menjadi tuan rumah sebelumnya mengundurkan diri pada bulan November karena keterlambatan infrastruktur, pemberontakan Boko Haram, dan perang saudara antara wilayah-wilayah yang mayoritas berbahasa ibu bahasa Inggris dan bahasa Prancis.

Setelah menunjuk Mesir sebagai tuan rumah di awal 2019, rencana awal kompetisi yang digelar pada 15 Juni-13 Juli kembali digeser berkaitan dengan akhir bulan Ramadan dan tentu saja Idulfitri.

Sementara pada pertemuan tahunan FIFA di Kigali, Rwanda, Oktober tahun lalu, badan tertinggi sepak bola dunia tersebut juga mengabulkan keinginan CAF menggelar Piala Afrika 2023 di periode waktu yang sama yakni musim panas. Uniknya pergantian periode turnamen serupa juga dibahas di pertemuan tersebut yakni soal status Copa America.

Copa America 2019 yang akan dilangsungkan di Brasil akan menjadi Copa America terakhir yang digelar di tahun ganjil. CONMEBOL dan FIFA menyetujui rencana Copa America yang akan dirancang sejalan dengan Piala Eropa per 2020 nanti, di musim panas dengan jumlah peserta bertambah menjadi 16 negara.

Baca juga: Mane dan Salah, Mengenalkan Islam Lewat Sepak Bola

https://www.instagram.com/p/BySfX_zAKb9/

Selain pembahasan perubahan jadwal dua kompetisi antarnegara tersebut, pertemuan tahunan di Kigali yang dipimpin langsung Gianni Infantino juga mengonfirmasi penambahan jumlah uang juara untuk kampiun Piala Dunia Wanita Prancis 2019.

Total hadiah akan menjadi USD 30 juta atau dua kali lipat dari jumlah yang dianggarkan pada Piala Dunia Wanita Kanada 2015.

24 negara yang berlaga di Prancis masing-masing akan mendapat uang sebesar USD 11,5 juta untuk persiapan selama turnamen, sementara klub-klub yang melepas pemain mereka akan diganjar kompensasi dengan total USD 8,5 juta.

Baca juga: Bernd Leno Sang ‘Der Retter’

Uang hadiah Piala Dunia Wanita Prancis 2019 juga naik menjadi USD 4 juta, dua kali lipat dari yang diterima timnasita Amerika Serikat saat menjuarai Piala Dunia Wanita Kanada 2015.

Meski demikian dilansir dari Association Press FIFPro, selaku badan yang menaungi para pesepak bola profesional, menganggap langkah tersebut masih jauh dari tujuan kesetaraan untuk seluruh pemain yang berlaga di Piala Dunia, terlepas dari apa jenis kelamin mereka.

Bayangkan saja di Piala Dunia Rusia 2018 lalu total hadiah yang diberikan FIFA mencapai USD 400 juta dengan rincian uang yang diberikan kepada tiap peserta sebesar USD 48 juta dan klub-klub mendapat total USD 209 juta untuk kompensasi melepas para pemainnya. Jumlah ini naik 12 persen dari total anggaran di Piala Dunia Brasil 2014.

Sementara Piala Emas CONCACAF yang diadakan di Amerika Serikat, Kosta Rika, dan Jamaika, mengalami penambahan jumlah peserta dari 12 menjadi 16 negara. Uniknya CONCACAF sendiri mengubah format kualifikasi Piala Emas, dan menghadirkan satu kompetisi serupa UEFA Nations League yakni CONCACAF Nations League. Bermuda dan Guyana menjadi debutan Piala Emas 2019.

Terakhir tentu adalah final UEFA Nations League yang baru saja merampungkan partai finalnya Senin (10/6) dini hari dan Portugal keluar sebagai juara perdana kompetisi liga bagi negara-negara di benua Eropa ini.

UEFA Nations League berpengaruh banyak dalam format kualifikasi Piala Eropa 2020 yang akan jadi gelar terakbar karena tidak mengenal istilah negara tuan rumah, melainkan seluruh pertandingannya digelar di beberapa kota yang ditunjuk oleh UEFA dan tersebar di hampir seluruh kawasan Eropa.

Baca juga: Mengenal UEFA Nations League, Kompetisi Liga bagi Negara-Negara Eropa

Semakin terlihat Eropa-sentris

Jika menengok kembali ke kasus Piala Afrika dan Copa America, nampaknya keputusan ini tak lepas dari magnet sepak bola dunia yang berpusat di Eropa. Misalnya pada kasus Piala Afrika lalu, tim-tim Liga Primer Inggris sedikit banyak dirugikan kala pemain pilarnya absen untuk berlaga di Gabon dari 14 Januari hingga 5 Februari.

Leicester City misalnya, The Foxes di awal tahun 2017 lalu harus kehilangan tiga pilar utama mereka yakni Riyad Mahrez, Islam Slimani (Aljazair), dan Daniel Amartey (Ghana) yang menurut harian Inggris, The Telegraph, membuat langkah mereka kian sulit mempertahankan gelar yang tahun sebelumnya digapai.

Selain itu beberapa bintang Benua Hitam lain seperti Sadio Mane (Liverpool/Senegal), Mohamed Elneny (Arsenal/Mesir) dan Eric Bailly (Manchester United/Pantai Gading) juga harus menepi sebentar dari hingar-bingar liga sepak bola terbaik di dunia ini.

Baca juga: Sadio Mane, Anak Imam Masjid yang Jadi Bintang di Liga Primer Inggris

Untungnya pada perayaan 100 tahun Copa America yang jatuh di tahun 2016 lalu beberapa klub Eropa dapat bernapas lega usai pelaksanaan kompetisi empat tahunan ini digelar di musim panas. Bayangkan apa jadinya Lionel Messi yang harus absen untuk Barcelona di musim dingin atau PSG yang kehilangan Edinson Cavani.

Hal ini jelas meninggalkan kesan bahwa kompetisi antarnegara pun semakin Eropa-sentris, karena pada akhirnya Piala Afrika dan Copa America harus tunduk pada jadwal kompetisi UEFA yang sistemnya semesteran ala tahun ajaran baru murid-murid sekolah.

Kini tinggal Piala Asia 2023 yang rencananya dilaksanakan di Cina tapi belum terlihat tunduk pada agenda Eropa-sentris FIFA. Namun hal itu belum dapat dipastikan mengingat turnamen yang kualifikasinya dimulai pada 6 Juni 2019 ini belum merilis tanggal resmi.

 

Apakah semua akan Eropasentris pada akhirnya?

Ah, yang penting kita kenyang nonton bola, ‘kan Tribes?