Kemunculan klub dari instansi di luar sepak bola melanda Indonesia beberapa tahun terakhir. Jika Kepolisian RI memiliki Bhayangkara FC yang menjadi juara Liga 1 2017 lalu, nasib PS TNI Rakyat atau PS TIRA milik Tentara Nasional Indonesia bisa dibilang sial. Hampir terdegradasi musim ini, banyak pekerjaan rumah PS TIRA untuk menyambut musim depan.
Pekerjaan rumah PS TIRA yang pertama adalah belum kuatnya akar identitas klub di kompetisi sepak bola Indonesia. Berbanding terbalik dengan Bhayangkara FC yang kini sudah matang baik di dalam maupun di luar lapangan. Usai membeli lisensi Persiram Raja Ampat, klub yang kini bermarkas di Bantul, Yogyakarta itu sempat berganti nama dari PS TNI menjadi PS TIRA Bantul.
Memang pergantian tersebut masih lebih sedikit dibanding polemik pergantian nama Bhayangkara FC yang berusaha menanggalkan identitas ‘ke-Surabaya-an’, dan Jakarta sebagai rumah baru pun siap menyambutnya. Tapi perpindahan PS TNI dari Stadion Pakansari, Bogor, ke Stadion Sultan Agung di Bantul malah menimbulkan banyak pertentangan.
Baca juga: Limbungnya PS TNI
PS TIRA belum memiliki basis suporter yang kuat sehingga berani membuat keputusan untuk pindah ke Yogyakarta dengan atmosfer sepak bola yang fanatik. Namun sayang alih-alih mendapat simpati, laga kandang Young Warriors di stadion berkapasitas 30.000 itu tak mampu memikat animo yang tinggi.
Kembali ke Pakansari musim 2019, meski dengan kapasitas yang tak jauh beda dengan Sultan Agung, mungkin menjadi opsi menumbuhkan kembali animo penonton. Pun mereka dapat dengan optimal memanfaatkan basis ‘suporter’ tentara dari Jakarta dan sekitarnya seperti yang dilakukan Bhayangkara FC.
Hal ini pun diamini Kusmanto Harapan, salah satu petinggi PS TIRA yang mengklaim telah menjalin kerja sama dengan Pemkab. Bogor selama 30 tahun ke depan sebagaimana dilansir dari Goal.com.
Tentunya ini adalah angin segar tersendiri di tengah fakta PS TIRA tak diterima di Bantul. Apalagi baru-baru ini kerusuhan suporter di Piala Indonesia yang melibatkan pemain PS TIRA dan PSIM Yogyakarta juga memperkeruh suasana.
Siasat memoles Young Warriors menjadi ksatria tangguh
Kemunculan PS TIRA di kompetisi sepak bola Indonesia lekat dengan melimpahnya pemain muda yang didapatkan dari lingkungan internal TNI. Strategi serupa juga dilakukan Bhayangkara FC yang menarik para pemain dari karier pendidikan Kepolisian.
Mayoritas skuat PS TIRA di musim 2018 diisi pemain muda berbakat karena hal ini, baik mereka yang sudah bergabung ke kesatuan tertentu seperti Pandi dan Abduh Lestaluhu, atau mereka yang memang bercita-cita sebagai tentara seperti Ganjar Mukti.
Skuat yang ‘hijau’ namun matang ini juga sempat dinakhodai sosok Rudy Eka Priyambada, tapi gagal memenuhi ekspektasi manajemen dan digantikan sosok sarat pengalaman yakni Nil Maizar yang memegang kemudi tim hingga akhir musim.
Bicara tentang Nil Maizar, kepastian dirinya menukangi PS TIRA musim depan juga belum jelas karena pria kelahiran Payakumbuh 48 tahun silam ini sedang bersiap mengikuti Pemilu Legislatif 2019.
Potensi kehilangan Nil Maizar juga bukan satu-satunya masalah yang mereka hadapi. Aleksandar Rakic yang menjadi top skor Go-Jek Liga 1 2018 juga tengah dipantau oleh sejumlah klub, salah satunya ‘tetangga’ mereka yang baru saja promosi, PSS Sleman.
Maka sembari mengokohkan akar mereka kembali di Bogor, menjaga para pemain andalan untuk tidak keluar klub juga menjadi pekerjaan rumah PS TIRA di musim depan. Sebab jika skuat tak mumpuni, selain kehilangan dukungan bukan tidak mungkin mereka tidak akan bertahan lama di kasta tertinggi sepak bola Indonesia.
Menarik dinanti apakah Young Warriors hanya jadi jargon belaka atau benar-benar terwujud cita-cita para ksatria yang gagah berani di lapangan hijau meraih prestasi musim depan.