Hasil hitung cepat Pilkada Serentak 2018 di Litbang Kompas, menunjukkan perolehan suara Edy Rahmayadi dan Musa Rajekshah mencapai 58,94% dari 94,33% suara yang masuk, sampai pukul 16:40 WIB hari ini (27/6). Dengan perhitungan yang kurang lebih akan berbeda tipis dengan real count, hampir dipastikan Edy Rahmayadi jadi gubernur Sumatera Utara selanjutnya.
Pertanyaannya, siapa yang akan menggantikan Pak Edy sebagai Ketua Umum PSSI?
Situasi tersebut mengundang tanda tanya, pasalnya Edy Rahmayadi dalam masa kampanyenya saja “melepas” jabatannya sebagai Ketua Umum PSSI dengan mengambil cuti. Lalu bagaimana jadinya PSSI jika Ketua Umumnya menjadi pemimpin provinsi? Mari kita simak peraturannya di Statuta PSSI.
Dalam Statuta PSSI Bab VI pasal 41 ayat 6 tentang Calon Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum, tertulis bahwa:
“Apabila Ketua Umum secara permanen atau sementara berhalangan dalam melaksanakan tugas resminya, Wakil Ketua Umum akan mewakilinya sampai dengan Kongres berikutnya. Kongres ini akan memilih Ketua Umum yang baru, jika diperlukan.”
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka yang berhak memimpin PSSI jika Edy Rahmayadi telah dilantik sebagai Gubernur Sumatera Utara nanti adalah wakil Ketua Umum PSSI, yang sekarang dipegang oleh Joko Driyono. Pria yang akrab disapa Jokdri itu memang sudah menjalankan tugas Ketua Umum PSSI, ketika diangkat jadi Pelaksana Tugas Ketua Umum PSSI setelah Pak Edy cuti.
Joko Driyono nantinya kemungkinan akan memegang kendali di PSSI sampai digelarnya Kongres Luar Biasa untuk memilih Ketua Umum, setelah Edy Rahmayadi dilantik jadi Gubernur Sumatera Utara. Kongres memilih Ketua Umum boleh diselenggarakan lebih cepat sebelum waktunya (tahun 2020 ketika masa jabatan Pak Edy habis), karena tidak mungkin PSSI terus dijalankan oleh wakil Ketua Umum sampai 2020.
Atau, justu nantinya Joko Driyono yang akan dilantik sebagai Ketua Umum PSSI selanjutnya. Hal ini mengingat Jokdri adalah orang yang sangat berpengalaman di sepak bola Indonesia, yang secara profil sudah sangat memenuhi persyaratan calon Ketua Umum PSSI.
Untuk menempati kursi nomor satu di PSSI, calon Ketua Umum harus mendapat suara minimal 67% atau 2/3 dari total suara sah di Kongres. Jika harus dilakukan dua putaran, cukup diperlukan suara terbanyak mutlak (50%+1). Apabila ada lebih dari dua calon, calon yang memperoleh jumlah suara terendah disisihkan dari pemungutan suara kedua, sehingga hanya tertinggal dua calon. Begitu peraturan yang tertera di Statuta PSSI.
Tugas yang belum tuntas
Meski secara statuta sudah jelas siapa yang seharusnya menggantikan Edy Rahmayadi, tapi pergantian Ketua Umum PSSI nantinya tidak lepas dari banyak pertanyaan. Sebab, di masa jabatannya, masih banyak tugas Edy Rahmayadi yang belum tuntas saat mengurus sepak bola Indonesia.
Ketika Edy Rahmayadi dilantik jadi Ketua Umum PSSI, pemerintah melalui Deputi IV Kemenpora, Gatot S. Dewa Broto, merumuskan 11 poin permasalahan sepak bola Indonesia yang harus segera diselesaikan PSSI.
Poin-poin tersebut di antaranya adalah pentingnya integrasi, komitmen memberantas pengaturan skor, memberantas kerusuhan suporter, menggalakan pembinaan usia muda, melakukan transparansi keuangan, dan persiapan Asian Games baik untuk tim nasional maupun sebagai tuan rumah.
Dari poin-poin tersebut, mayoritas masih banyak yang terbengkalai sampai beliau cuti. Bahkan tak perlu repot-repot menyorot tugas utama Pak Edy di PSSI, karena janji untuk mengusut meninggalnya seorang suporter Persita Tangerang, Banu Rusman, sampai detik ini belum menemui titik terang.
Almarhum Banu meninggal akibat kerusuhan di laga PSMS Medan kontra Persita Tangerang di laga terakhir Grup B Liga 2 2017. Saat itu Pak Edy mengeluarkan pernyataan yang berjanji akan mengusut tuntas pangkal kerusuhan suporter yang menyebabkan tercabutnya nyawa Banu.
“Saya akan usut tuntas persoalan kericuhan saat pertandingan PSMS dan Persita, yang bersalah pasti dihukum. Saya tegaskan yang bersalah pasti dihukum.”