Iran hampir saja menciptakan kejutan besar di pertandingan terakhir grup B Piala Dunia 2018. Melawan Portugal, Team Melli nyaris menang atas juara Piala Eropa 2016 tersebut dan lolos ke babak selanjutnya. Sayang, Dewi Fortuna masih belum berpihak pada Iran, dan mereka harus rela pulang lebih awal dari Rusia setelah imbang dengan Portugal dengan skor 1-1.
Meskipun tersingkir, penampilan Iran berhasil merebut hati banyak orang. Mereka tak gentar atas reputasi Portugal sebagai jagoan dari Eropa dan berhasil memberikan perlawanan yang heroik. Namun, ada satu pemain Iran yang mendapat sorotan lebih ketimbang kawan-kawannya. Ia adalah sang penjaga gawang, Alireza Beiranvand.
Kiper berusia 25 tahun ini mampu mencuri perhatian karena penampilannya yang memukau dalam laga melawan Portugal. Puncak momennya tentu ia alami ketika menahan tendangan penalti dari pemain terbaik di dunia saat ini, Cristiano Ronaldo. Bagi seorang kiper, terlebih lagi yang mungkin hanya sekali dalam seumur hidup bertemu dengan pemain sekaliber Ronaldo, momen ini tentu amat membanggakan bagi Beiranvand, sekalipun negaranya harus tersingkir lebih awal. Tampak semakin layak bagi Beiranvand untuk merayakan kesuksesannya setelah mengetahui bahwa perjuangannya untuk menjadi pesepak bola sama sekali tidak mudah.
Ya, kisah hidup Beiranvand boleh dibilang sebagai kisah yang menginspirasi. Di usianya yang baru 25 tahun, sudah begitu banyak hal yang ia lalui, pekerjaan yang coba, hingga menjadi seperti sekarang ini, menjadi kiper utama negaranya di Piala Dunia.
Dilansir dari Guardian, Beiranvand lahir di daerah Sarabias, Lorestan, dari keluarga nomaden. Keluarga Beiranvand selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain sembari mencari uang sebagai penggembala kambing. Sejak kecil, sang kiper pun turut membantu keluarganya untuk menggembala kambing-kambing tersebut karena ia adalah anak tertua. Sebagai anak-anak, sepak bola selalu menjadi pelariannya dari kehidupannya yang keras. Hingga pada akhirnya, ia melihat sepak bola sebagai cara untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak.
Sayang, cita-cita Beiranvand untuk menjadi pesepak bola profesional ditentang oleh ayahnya. Sebagai mana orang yang konservatif, ayah Beiranvand melihat sepak bola bukanlah sebagai satu pekerjaan. Tak jarang, Morteza, nama ayah Beiranvand, mengomeli anaknya ketika kedapatan bermain sepak bola.
“Ayah saya tak menyukai sepak bola dan meminta saya mencari pekerjaan lain. Ia bahkan menyobek baju dan sarung tangan saya sehingga saya harus bermain tanpa sarung tangan.”
Pada akhirnya, tekad Beiranvand untuk menjadi pesepak bola tak bisa dikalahkan oleh siapa pun, termasuk ayahnya. Ia lari dari rumah dan pindah ke ibu kota Iran, Teheran, untuk mengejar mimpinya. Bukan berarti hidupnya lebih mudah di ibu kota. Ia memang berhasil bertemu dengan pelatih dari klub Naft Tehran, klub yang kelak akan menggunakan jasanya di masa depan. Ia berhasil membujuk pelatih tersebut untuk membiarkannya berlatih di tim junior. Namun, Beiranvand pun tetap harus menghidupi dirinya sendiri.
Berbagai pekerjaaan ia jalani, mulai dari mencuci mobil, menyapu jalanan, hingga menjadi pelayan restoran di jalanan. Ia juga pernah tinggal di tempat yang tidak seharusnya ditinggali, mulai dari di pabrik tempatnya bekerja, ruang ibadah klubnya, hingga di luar tempat latihan klubnya!
“Saya tidur di depan pintu klub dan ketika bangun, saya sadar ada beberapa koin yang ditaruh di dekat saya. Mereka mengira saya adalah seorang pengemis! Ya, tidak masalah karena toh akhirnya saya bisa makan enak setelah sekian lama.”
Perjalanannya di Naft Tehran pun tak mulus. Pada awalnya ia sempat ditolak sebelum diberi kesempatan. Ia pun sempat dipecat karena ketauan berlatih bersama klub lain dan mengalami cedera. Mencoba peruntungan di Homa FC, Beiranvand gagal karena pelatih di klub tersebut tak tertarik untuk merekrutnya. Untungnya, pelatih di Naft Tehran memberinya kesempatan kedua dan ia tak menyia-nyiakannya.
“Mungkin memang sudah menjadi takdir bahwa pelatih di Homa tak merekrut saya. Apabila saya bermain bagi mereka, mungkin saya tak akan menjadi seperti sekarang ini.”
Kesempatan kedua Beiranvand dimaksimalkan olehnya. Tampil luar biasa di tim U-23 Naft Tehran, ia kemudian dipanggil ke tim utama daan tak lama menjadi kiper. Di tahun 2014, Beiranvand memperpanjang kontraknya bersama Naft Tehran, namun akhirnya pindah ke Persepolis, salah satu klub terbaik di Iran, di tahun 2016. Di tahun 2017, ia berhasil memecahkan rekor tak kebobolan di Liga Iran, dan masuk ke dalam nominasi pemain terbaik FIFA. Apa yang terjadi di tahun 2018 bagi Beiranvand tentu telah kalian ketahui di awal tulisan ini.
Iran memang telah tersingkir dari Piala Dunia 2018, namun Beiranvand boleh berbangga hati lewat pencapaiannya. Tak hanya menghentikan tendangan penalti Ronaldo, ia juga hanya kebobolan dua gol dari tiga pertandingan, menjadikan Iran sebagai tim dengan jumlah kebobolan paling sediki di dalam grup yang dihuni Portugal dan Spanyol!
Mengenal karakter Beiranvand yang tak lelah berjuang, bukan tak mungkin ia akan mencari caranya sendiri untuk berkiprah di Eropa, dan menahbiskan namanya di jajaran kiper elit dunia. Namun, untuk saat ini, biarkanlah si penggembala kambing yang satu ini merayakan keberhasilannya menghentikan tendangan penalti Ronaldo.