Editorial

Pantas atau Tidaknya Suatu Negara Lolos ke Piala Dunia Bukan Urusan Kita

Selain urusan dosa, pahala, dan perkara masuk surga, ada satu hal yang belakangan ini rutin diributkan manusia-manusia di linimasa daring saya: perkara kepantasan suatu negara lolos dan berlaga di Piala Dunia 2018.

Untuk satu atau dua hari, kehebohan perkara kepantasan ini masih bisa diabaikan. Ya untuk sekadar hiburan sehari-hari saya memandang orang-orang memperdebatkan hal-hal yang sebetulnya sama sekali tidak berdampak apapun di hidup mereka kecuali satu hal: memenuhi ego dan hasrat untuk membual.

Namun setelah beberapa hari, tepatnya sejak Panama takluk dengan skor akhir 6-1 atas Inggris, pembahasan soal kepantasan ini menjadi sesuatu yang menyebalkan. Menyebalkan karena, pertama, baik Panama maupun Arab Saudi (yang dihajar Rusia 5-0 di laga pembuka), sudah membuktikan diri layak untuk lolos dari benua mereka masing-masing dan kini berlaga di Piala Dunia. Kedua, pantas atau tidaknya kedua negara tadi yang sejauh ini tidak tampil ‘menghibur’ sampai ronde kedua Piala Dunia 2018 selesai, bukan urusan kita. Ketiga, sebagai warga negara Indonesia, ANDAI negara kita lolos ke Piala Dunia tahun ini, saya rasa kita akan jauh lebih busuk dari permainan Panama dan Arab Saudi. Maksud saya, Saudi saja, hanya kalah 0-1 dari Uruguay, sementara kita, delapan tahun lalu, pernah dihajar negara yang sama 1-7, di rumah kita sendiri.

Dibanding Arab Saudi yang sudah berpengalaman tampil di Piala Dunia, mari bahas Panama. Negara di Karibia ini jelas nama baru di pentas akbar seperti Piala Dunia. Bila sebelumnya CONCACAF hampir selalu didominasi Amerika Serikat (AS), Meksiko, dan Kosta Rika, hadirnya negara debutan dari wilayah ini tentu akan selalu menarik dinantikan.

Resistensi kemudian keluar dari beberapa jurnalis, salah satunya Grant Wahl, salah satu jurnalis sepak bola papan atas AS. Ketika Arab Saudi takluk dengan skor telak 0-5 atas Rusia, dia mempertanyakan kepantasan Saudi lolos ke Piala Dunia dibandingkan negaranya sendiri, AS.

Ini perbandingan yang menggelikan karena, pertama, Saudi dan AS tidak berada di satu konfederasi yang sama, jadi jelas, perbandingan kepantasan antara kedua negara bukan sesuatu yang apple to apple. Dan kedua, faktanya, Saudi membuktikan diri mampu lolos ke Piala Dunia 2018 dan tengah berada di Rusia saat ini, sementara AS, harus finis di bawah Honduras, dua strip di bawah Panama, dan hanya satu strip di atas juru kunci kualifikasi CONCACAF ronde kelima, Trinidad & Tobago. Sekali lagi, ini fakta, dan ini sangat sederhana untuk dipahami.

 

Sepak bola, selain romantis dan dramatis, sebenarnya dipenuhi dengan banyak hal yang sangat sederhana untuk bisa dipahami awam dan non-awam dengan baik. Panama, meski hanya mencetak sembilan gol di fase akhir kualifikasi CONCACAF, selisih gol pun hanya -1, tapi, mereka sukses lolos ke Piala Dunia 2018.

Apakah Panama pantas lolos? Oh, ya, tentu. Sistem klasemen dan penghitungan poin yang sudah disepakati membuat Panama sangat berhak dan sangat pantas untuk lolos ke Piala Dunia 2018, apalagi yang mau diperdebatkan?

Perkara mempertanyakan kepantasan adalah perkara pemenuhan hasrat dan ego manusia untuk memperjuangkan sesuatu yang mungkin belum bisa terpenuhi di hidup mereka sendiri. Ini sama halnya dengan melihat orang-orang di sekitar kita sudah kepalang sukses, sementara kita sendiri, mungkin, masih kepayahan untuk mengejar target kesuksesan hidup di usia yang mulai beranjak dewasa dan perlahan mulai menua.

Seringnya, kita tidak cukup jelas melihat sesuatu dengan sudut pandang yang baik dan objektif, mengingat sisi subjektif manusia selalu sangat menonjol ketika berbicara tentang pemenuhan ego dan hasrat yang terpendam. Sebagai suporter timnas Indonesia saja misalnya, saya kenyang dengan pengalaman seperti ini. Dulu, saya sering mempertanyakan kenapa Bahrain, yang pernah kita kalahkan di Piala Asia 2007 lalu, sudah beberapa kali hampir lolos ke Piala Dunia kendati harus kandas di babak play-off.

Tapi, menilai tentang pantas atau tidaknya sebuah negara lolos ke Piala Dunia tidak pernah menjadi hak kita. Mereka bertanding dan menentukan nasib dengan kaki-kaki mereka sendiri. Mereka memperjuangkan kepantasan berlaga di turnamen akbar seperti Piala Dunia dengan keringat (dan darah) mereka sendiri. Mengeluhkan dan mempertanyakan kepantasan orang-orang yang sudah berjuang sedemikian berat sejak awal tahun 2015 hingga akhir tahun 2017 tentang kepantasan mereka berlaga di Piala Dunia 2018 adalah perilaku yang membuat kalian terlihat seperti orang picik dengan pola pikir yang tak lebih luas dari lubang jamban.

Tentu, suatu saat nanti, saya menginginkan Indonesia lolos ke Piala Dunia. Dan ketika saat itu akhirnya tiba, saya tidak ingin orang-orang mempertanyakan kepantasan Indonesia bermain di Piala Dunia, terlepas akan seburuk apa penampilan timnas kesayangan kita nantinya di pagelaran akbar empat tahunan ini. Karena setidaknya, walau hancur lebur di putaran final nantinya, kita lolos ke Piala Dunia dengan kaki dan keringat kita sendiri, walau, ya, kita tidak tahu kapan mimpi itu bisa menjadi kenyataan.