Dalam sepak bola semua bisa terjadi, karena tidak ada yang tidak mungkin.
Sebagai penikmat sepak bola, kita mungkin sudah tidak asing lagi mendengar kalimat di atas. Ya, entah kapan pertama kali muncul dan siapa orang yang pertama kali memopulerkannya, kalimat tersebut bukanlah bualan semata karena sudah banyak momen penuh keajaiban yang terjadi dalam sepak bola, yang mungkin bagi sebagian orang hal tersebut mustahil atau sangat kecil kemungkinannya bisa terwujud, namun pada kenyataannya benar-benar terjadi.
Dari banyak momen-momen tak terduga dalam pertandingan sepak bola, salah satu momen yang membuat saya percaya dengan kalimat di atas adalah, final Liga Champions musim 2004/2005 antara Liverpool melawan AC Milan. Pada pertandingan itu saya mendukung Liverpool karena pemain favorit saya Steven Gerrard bermain di sana.
Dalam laga yang berlangsung di Atatürk Olympic Stadium, Istanbul, Turki, Liverpool sempat menemui jalan terjal untuk meraih trofi Liga Champions kelima mereka sepanjang sejarah. The Reds harus rela kebobolan tiga gol terlebih dahulu dari Milan lewat brace Hernan Crespo dan satu gol Paolo Maldini yang menutup babak pertama.
Jelas saja tertinggal dengan skor 3-0 menghadapi Milan yang pada laga tersebut bermain baik selama babak pertama bukanlah hal mudah. Bahkan saya cukup panik dan pasrah dengan apapun hasil akhirnya, karena bagi saya sangat sulit menghadapi lawan yang sudah unggul cukup banyak gol sementara para pemain Liverpool memasukki ruang ganti dengan kepala tunduk.
Akan tetapi, pada akhirnya Liverpool berhasil menjuarai final tersebut. Mereka sukses menyamakan kedudukkan lewat tiga gol yang tercipta dalam jarak waktu enam menit. Mulai dari sundulan Steven Gerrard (menit 54), sepakan keras Vladimir Smicer dua menit berselang, dan Xabi Alonso mencetak gol hasil rebound penaltinya yang sempat digagalkan Dida menit ke-60. Dan setelahnya, Anda tahu sejarahnya.
Tentunya, sangat wajar bila laga tersebut dijuluki sebagai Miracle of Istanbul, karena The Reds mampu membuat keajaiban dengan menjadi pemenang di akhir laga, meski sempat menjadi pecundang dalam 45 menit pertama. Oleh karena itu, pertandingan anatara Liverpool melawan Milan bukan sekadar pertandingan yang menghibur, namun juga menginspirasi setiap tim sepak bola yang terancam menderita kekalahan dalam sebuah pertandingan. Ketika mereka masih memiliki waktu untuk menyentuh ‘si kulit bundar’ maka artinya, mereka masih punya peluang untuk menang.
Kalimat “Dalam sepak bola semua bisa terjadi karena tidak ada yang tidak mungkin” juga saya harapkan tersimpan di benak para penggawa timnas Argentina di Piala Dunia 2018 kali ini, khususnya Lionel Messi. Seperti yang kita ketahui, nasib Argentina untuk lolos ke fase knock–out Piala Dunia 2018 berada di ujung tanduk, usai di partai kedua takluk 3-0 dari Kroasia.
Setelah wasit meniup peluit pertanda akhir pertandingan tersebut, Lionel Messi menjadi satu-satunya pemain yang terlihat langsung masuk ke ruang ganti dengan ban kapten yang masih melekat di lengannya, tanpa terlebih dahulu menyalami lawan maupun rekan-rekan timnya. Hal itu seolah menunjukkan begitu besar beban yang harus ia tanggung, sebab selain kapten tim, Messi juga merupakan pemain kunci Argentina di turnamen empat tahunan ini, sehingga saat timnya mengalami kekalahan, wajar bila Messi merasa sangat ‘terpukul’ karena ia harus menghadapi situasi sulit yang mengancam nasib timnya.
Tetapi, Messi sesungguhnya sudah tak asing dengan masalah seperti itu. Dengan klubnya, Barcelona, ataupun dengan timnas Argentina, El Messiah selalu berhasil melewati setiap rintangan yang ada. Dengan Barcelona, Messi pernah berhasil meloloskan Barca ke babak perempat-final Liga Champions 2016/2017, setelah menghadapi momen sulit di babak 16 besar.
Di babak tersebut Barcelona bertemu klub kaya raya Prancis, Paris Saint-Germain (PSG). Kalah telak 4-0 di leg pertama yang berlangsung di markas PSG, Barcelona wajib menang dengan selisih lima gol di leg kedua jika masih ingin berlaga di Liga Champions. Hasilnya? Barcelona berhasil menghancurkan PSG 6-1. Meskipun Messi hanya mencetak satu gol dalam laga tersebut, ia jelas sudah punya pengalaman untuk mengarungi kesulitan-kesulitan sejenis.
Sementara dengan tim nasional Argentina, momen sulit yang berhasil ia lewati tentu saja perjalan Argentina untuk lolos ke Piala Dunia di Rusia tahun ini. Hasil imbang 0-0 kontra Peru membuat langkah Gonzalo Higuain dan kolega menuju Rusia tertunda, sehingga mereka wajib mengalahkan Ekuador di partai pamungkas kualifikasi Piala Dunia zona CONMEBOL untuk tampil di Piala Dunia 2018.
Laga melawan Ekuador pun tidak berjalan mulus untuk tim Tango, karena baru 38 detik pertandingan dimulai, Argentina sudah kecolongan oleh gol pemain Ekuador, Romario Iborra. Akan tetapi, lagi, lagi, dan lagi, Messi menunjukkan magisnya dengan mencetak hat–trick untuk membalikan keadaan menjadi 3-1 bagi Argentina.
Kemenangan itu akhirnya membawa tim asuhan Jorge Sampaoli tersebut dipastikan tampil di Piala Dunia 2018 tanpa harus melewati babak play-off, karena Peru hanya bermain imbang 1-1 dengan Kolombia, sehingga tiket play-off harus diterima Peru.
Dengan segudang pengalamannya melewati setiap tantangan dan kesulitan, jelas tak ada waktu bagi Messi untuk meratapi kekalahan dari Kroasia, apalagi sampai memikirkan rencana untuk pensiun (lagi) karena nyatanya Argentina masih berpeluang lolos. La Albiceleste masih menyisakan satu laga pamungkas melawan Nigeria, bahkan dengan kemenangan Nigeria atas Islandia, peluang Argentina untuk lolos dari Grup D lebih besar, dengan syarat Argentina harus menang atas Nigeria, meski masih akan tergantung hasil dari laga Kroasia vs Islandia.
Messi juga tengah berulang tahun yang ke-31 pada 24 Juni hari ini dan tentu ia ingin memberikan kado bahagia bagi dirinya dan seluruh warga Argentina, yaitu kemenangan demi lolos ke babak 16 besar Piala Dunia 2018. Jadi tegakkan kepalamu Leo, karena Piala Dunia 2018 belum berakhir!