Saya sesekali percaya, Piala Dunia 2014, adalah anomali bagi Argentina. Alejandro Sabella bukan juru taktik yang oke, skuat mereka juga tidak terlihat seimbang, tapi, mereka ada di grup yang mudah. Iran dan Nigeria bukan tandingan sepadan saat itu, plus debutan baru kala itu, Bosnia-Herzegovina, juga bukan lawan yang berat walau harus susah payah ditundukkan.
Skuat empat tahun lalu juga banyak membuat orang mengernyitkan dahi. Hugo Campagnaro (33 tahun), Martin Demichelis (33 tahun), Rodrigo Palacio (32 tahun, dan rambut belakang yang super aneh itu), hingga Maxi Rodriguez (33 tahun) dan Ricky Alvarez, yang, tidak pernah benar-benar tampil bagus bersama Internazionale Milano kala itu. Tapi, mereka lolos ke final, hampir juara, dan gagal.
Empat tahun berselang, di pagelaran akbar yang sama, di tempat yang berbeda, Jorge Sampaoli dan Argentina tidak belajar dari masa lalu. Pertanda kebusukan Argentina itu sebenarnya tampak nyata di Brasil, empat tahun silam. Argentina kala itu tidak pernah menang dengan selisih dua gol sejak laga pertama di fase grup (kontra Bosnia, menang 2-1) hingga babak semifinal (kala itu memenangkan adu penalti secara dramatis melawan Belanda). Ya, pragmatis, tapi pragmatis yang diwajarkan karena kemudian mereka mampu cetak gol dan yang paling penting satu hal: menang (dan masuk final).
Argentina di Rusia, empat tahun berselang, mencoba untuk tampil seperti itu. Mereka berantakan di fase kualifikasi CONMEBOL, mereka berantakan di laga uji coba (ingat ketika Alex Iwobi me-nutmeg Javier Mascherano dan memborong dua gol kemenangan Nigeria atas Argentina?), hingga sosok Sampaoli, salah satu murid terbaik Marcelo Bielsa, yang seakan tidak tahu apa yang terbaik bagi timnya.
Berikut beberapa contoh kebusukan Argentina tahun ini di Rusia. Pertama, mereka sadar sejak empat tahun silam, mereka hanya punya Sergio Romero sebagai ‘kiper terbaik’ di bawah mistar, tapi, Sampaoli lupa, ada Geronimo Rulli, yang tampil cukup prima musim lalu bersama Real Sociedad. Kedua, Marcos Acuna, Maximilliano Meza, hingga Eduardo Salvio dan Enzo Perez (yang dipanggil untuk menggantikan Manuel Lanzini), bukan nama-nama yang kamu pilih untuk mendampingi bahkan membantu Lionel Messi. Ketiga, dan demi Tuhan, apa yang membuat Sampaoli sampai merasa perlu memasang Nico Tagliafico, bek kiri murni, menjadi bek tengah di skema tiga pemain belakang kala melawan Kroasia, yang punya Mario Mandzukic dan Ante Rebic yang begitu kuat secara fisik dan duel udara?
Lionel Messi sebagai korban, bukan sebagai beban
Ya, Lionel Messi bermain luar biasa buruk di dua laga Argentina di Piala Dunia kali ini. Ia melepaskan banyak tembakan tak efektif di laga pertama kontra Islandia, termasuk satu penalti yang berhasil digagalkan, hingga klaim media dan pundit bahwa ia tak banyak berlari seperti pemain lain. Tapi, sebentar, sejak kapan Messi banyak berlari untuk tampil sempurna?
Kalau kamu penonton setia Barcelona, mereka punya sistem (juga kualitas pemain) yang membuat Messi tak perlu banyak berlari untuk tampil luar biasa. Laga El Clasico jilid pertama musim lalu yang berakhir untuk kemenangan Barcelona 3-0 atas Real Madrid, dihiasi oleh catatan unik La Pulga: hanya melakukan sprint selama 10 menit dari total 90 menit, tapi mampu mengirim satu asis dan menceploskan satu gol dari titik putih.
Memang, Argentina bukan Barcelona, tapi kita semua tahu, Argentina sangat punya kapabilitas untuk bermain setidaknya dengan sistem dan dengan kualitas pemain yang membuat Messi tampil selayaknya dia bermain bagi Barcelona. Ini logika sederhana, kamu tahu timnas negara kamu sangat Messi-dependence, lalu kenapa memasang badut-badut tolol seperti Meza dan Acuna (hingga Enzo Perez, astaga!), mengirim banyak crossing nir-faedah, ketika kamu punya Lionel Messi, salah satu dari dua pemain terbaik dunia di generasi ini?
Setidaknya, Argentina perlu belajar bermain seperti Portugal, yang, mengutip Fernando Santos, sang pelatih, yang sempat berujar bahwa timnya bermain dengan bertumpu kepada Ronaldo, tapi memiliki banyak poros untuk menopang sang megabintang agar tak sendirian menanggung beban. Rui Patricio jelas di atas level Willy Caballero, dan walau Jose Fonte dan Pepe tak lebih baik dari Nicolas Otamendi, tapi mereka punya William Carvalho hingga Bernardo Silva dan Goncalo Guedes, yang membuat ketajaman dan efektivitas Ronaldo di depan gawang bisa dioptimalkan. Sampai di sini, seharusnya kamu paham, sepak bola adalah perihal sederhana, yang rumit hanya isi kepala botak Sampaoli.
Ada pepatah lama Spanyol yang berujar, “A falta de pan, buenas son tortas”, yang kira-kira memiliki makna harfiah, “beggars can’t be a choosers”, atau sederhananya di Bahasa Indonesia bermakna, “kalau kamu seorang penuntut, kamu tidak bisa menjadi pemilih”. Di konteks nasib Messi bersama Argentina, pepatah itu terasa kuat mencengkeram nasib La Pulga.
Foto nanar Messi menatap trofi Jules Rimet di prosesi pengalungan medali selepas final empat tahun lalu di Brasil menyadarkan saya, ia begitu menginginkan trofi itu sampai-sampai ia sudi menukarkan gelar yang ia dapat di Barcelona demi satu trofi emas yang paling bergengsi di sepak bola itu. Trofi, yang tidak hanya melengkapi hidupnya, tapi, juga menyempurnakan kariernya.
Tapi, seberapa inginnya Messi dengan trofi itu, ia tak kuasa memilih cara untuk memenangkannya. Ia berada di tim Argentina, yang berpusat kepadanya, namun tak pernah benar-benar mampu bekerja dengan baik untuk menopang kualitas dirinya. Messi memang bukan kapten yang karismatik, ia tak menjadi pemimpin tim karena ia mampu memimpin tim seperti misalnya Cristiano Ronaldo atau Fabio Cannavaro. Ia dipilih memimpin Argentina, karena ia satu-satunya pemain terbaik Argentina di generasi ini.
Argentina memang sebusuk itu, dan bagi Messi, ya, dia tidak bisa memilih Andre Iniesta untuk main bersamanya di Argentina, bukan?