Sejarah dunia mencatat bahwa dataran Rusia pernah menjadi mimpi buruk bagi warga Prancis. Sang penakluk legendaris, Napoleon Bonaparte, harus menyerah kepada tentara Rusia pada perang yang berlangsung sejak musim panas hingga musim dingin 1812. Di Piala Dunia 2018, Didier Deschamps dituntut untuk menghindari rasa malu yang sama.
Padahal, Napoleon membawa lebih dari 600 ribu Grande Armée (tentara terbaik Prancis) dalam invasi yang bermula dengan menyeberangi Sungai Neman tersebut. Deschamps memang hanya membawa 23 armée, tapi tantangan yang dihadapinya bukan berupa pasukan Tsar Alexander I, melainkan 31 peserta Piala Dunia lain dan ekspektasi jutaan publik Prancis.
Deschamps sadar betul akan tantangan yang dihadapinya. Publik belum lupa tragedi Piala Eropa kala mereka ‘dirampok’ Portugal di rumah mereka sendiri, Stade de France. Maka, pria yang berada di sisi Zinedine Zidane ketika memenangi Piala Dunia 1998 ini memperoleh tugas tak main-main: mengembalikan trofi emas itu ke tanah Prancis, 20 tahun setelah memenanginya untuk pertama kali.
Memusatkan timnya di sebuah hotel yang terletak 50 kilometer dari kota Moskow, Les Bleus memulai perjalanan mereka di Rusia 2018 dengan tiga poin. Namun, Deschamps tak terhindar dari kritik. Kemenangan 2-1 atas Australia di Kazan jauh dari meyakinkan. Beberapa kalangan bahkan berpendapat pemilihan pemain pelatih berusia 49 tahun cukup memalukan.
Bahkan mantan rekan setim Deschamps di skuat 1998, Christophe Dugarry, juga tak ketinggalan mengkritik tim Prancis. Secara rata-rata usia, skuat Les Bleus ini adalah yang termuda berlaga di Piala Dunia sejak turnamen pertama pada 1930. Menurut Dugarry seperti dikutip Sports, kekurangan skuat negaranya melawan Australia terlihat jelas sebagai masalah kurang tanggapnya pelatih, bukan kurangnya kualitas para pemain di lapangan.
Deschamps memutuskan untuk memasang dua bek tengah, Benjamin Pavard dan Lucas Hernandez, di posisi bek sayap. Ini berarti Prancis menurunkan empat bek tengah melawan lawan yang notabene kualitasnya lebih rendah. Sebagai dua pemain yang bukan bek sayap natural, Pavard dan Hernandez terlihat kekurangan inisiatif menciptakan ruang bagi para pemain depan. Padahal, seharusnya Deschamps bisa mengenang 20 tahun lalu, betapa terbantunya skuat 1998 berkat performa energik Lilian Thuram dan Bixente Lizarazu.
Ada cibiran yang mulai berkembang di Prancis sejak Deschamps menyatakan ‘perang’ dengan Karim Benzema dan Mathieu Valbuena, dua pemain yang berseteru pada tahun 2015. Banyak yang menuding bahwa Deschamps lebih menyukai ‘drama’ untuk membumbui setiap keputusannya sebagai pelatih kepala. Ia mungkin terobsesi konsep ‘manajemen konflik’ yang selama dua dekade terakhir dikembangkan para ahli manajemen sumber daya manusia.
Menjelang bergulirnya Piala Dunia 2018, ia lagi-lagi membuat keputusan kontroversial dengan mengabaikan Adrien Rabiot, gelandang yang tampil gemilang di Paris Saint-Germain. Keputusan ini tak hanya menumbuhkan bibit permusuhan dengan Rabiot, tapi juga publik Paris yang mencurigai pemain idola mereka tak dipanggil karena ‘darah Marseille’ yang mengalir di dalam tubuh Deschamps.
Lebih lanjut, Deschamps ditengarai haus sorotan dan penghargaan, karena selama lebih dari lima belas tahun karier kepelatihannya, ia belum pernah diapresiasi sebagai seorang pelatih kelas dunia. Torehan sebagai runner-up Liga Champions 2003/2004 bersama AS Monaco dan juara Ligue 1 2009/2010 bersama Marseille seolah terlupakan.
Jika ditarik lebih jauh ke belakang di masa bermainnya, pria kelahiran Bayonne ini memang nyaris selalu berada di bawah bayang-bayang rekan senegaranya yang lain. Ketika merengkuh trofi Piala Dunia 1998, publik dunia tentu saja lebih mengingat Zidane atau Emmanuel Petit sebagai pencetak gol ketiga Prancis. Semasa di Juventus dan Chelsea, ia juga berada di bawah bayang-bayang Zidane dan Marcel Desailly.
Zidane bahkan kembali menebar ancaman untuk mengambil alih kursi panas Deschamps. Pria yang baru saja mengundurkan diri setelah tiga kesuksesan berturut-turut di Liga Champions tersebut mulai sering dihubung-hubungkan dengan posisi pelatih kepala Les Bleus. Maka, seperti halnya Napoleon yang mengirim pasukan berani mati ke Rusia, Deschamps tak punya pilihan selain merebut trofi emas.
Di laga kedua melawan Peru, ia membuat beberapa keputusan yang lagi-lagi berpotensi mengundang perdebatan. Salah satu penyerang dengan daya gedor terbaik di skuatnya, Ousmane Dembele, dicadangkan untuk memberi kesempatan pada Olivier Giroud. Dembele baru dimasukkan di babak kedua, tapi digunakan untuk mengganti pencetak gol tunggal mereka, Kylian Mbappe.
Memang hak Deschamps sebagai pelatih untuk menentukan susunan pemainnya sendiri. Namun, sampai kapan ia ingin terus ‘berperang’ melawan publik Prancis dan pendukungnya sendiri? Les Bleus memang telah memastikan diri lolos ke 16 besar. Namun, jika sang pelatih tak hati-hati, kehancuran Napoleon di Rusia bisa terjadi kepadanya.