Nikola Kalinic, penyerang Kroasia yang bermain di AC Milan, membuat sensasi ketika tim pelatih Kroasia memutuskan untuk memulangkannya lebih cepat dari ajang Piala Dunia 2018. Kalinic dipulangkan karena menolak untuk masuk sebagai pemain pengganti pada pertandingan perdana Kroasia melawan Nigeria.
Sang pemain sendiri beralasan bahwa ia kurang fit akibat nyeri yang dideritanya di punggung. Kalinic pun menjadi pemain ke-8 yang dipulangkan dalam sejarah Piala Dunia setelah Willie Johnston (Skotlandia) mengalaminya pada tahun 1978.
Selain Kalinic dan Johnston, ada beberapa nama yang dipulangkan oleh masing-masing negaranya di ajang Piala Dunia, dan uniknya sebagian besar dari mereka merupakan pemain-pemain terkenal. Ulreich “Uli” Stein (Jerman) dipulangkan pada tahun 1986. Lalu Diego Maradona (Argentina) dan Stefan Effenberg (Jerman) juga mengalami nasib yang sama pada tahun 1994. Sementara pada era 2000-an, Roy Keane (Republik Irlandia) dan Zlatko Zahovic (Slovenia) dipulangkan pada tahun 2002, dan Nicolas Anelka (Prancis) dipulangkan pada tahun 2010.
Fakta bahwa Piala Dunia yang merupakan ajang terbesar dalam dunia sepak bola memang membuat banyak pemain rela melakukan apa saja untuk bisa berada di turnamen itu. Bersinar di Piala Dunia akan membuat tim dan para pemainnya tercatat dalam tinta emas sejarah yang tidak akan dilupakan orang sepanjang masa. Status sebagai legenda akan tersemat otomatis apabila memenangkan kejuaraan ini.
Karena itulah amat mengherankan ketika mereka yang sudah berada di kejuaraan itu bersama negaranya, namun malah mengacaukan keadaan yang membuat mereka dipulangkan.
Doping dan ‘sumbu pendek’ sebagai kunci kegagalan
Penyebab dari dipulangkannya para pemain ini bermacam-macam. Gagal dalam tes doping menjadi salah satu sebab, sementara alasan lainnya adalah berseteru dengan pelatih atau dengan pendukung.
Johnston dan Maradona dipulangkan karena gagal dalam tes doping. Pada Piala Dunia 1978, Johnston gagal dalam tes doping karena meminum obat untuk menyembuhkan alergi rhinitis yang dideritanya sebelum pertandingan melawan Peru. Sementara tahun 1994, Maradona gagal dalam tes doping karena mengonsumsi efedrin, salah satu substansi yang dilarang FIFA. Kejadian ini sungguh tragis mengingat kejuaraan ini merupakan Piala Dunia terakhir bagi Si Anak Emas.
Selain dari dua nama di atas, penyebab dipulangkannya para pemain dari Piala Dunia adalah faktor emosi dan ego yang tidak dapat ditahan, alias mereka yang memiliki ‘sumbu pendek’. Walaupun mungkin pada saat itu pemain-pemain ini merasa egonya terpuaskan, kelak suatu saat mereka akan menyesali reaksi berlebihan yang mereka tunjukkan. Ya, emosi memang hanya akan menang sesaat, dan penyesalan akan selalu datang belakangan.
Pada tahun yang sama dengan insiden yang melibatkan Maradona, Jerman juga memulangkan salah satu gelandang terbaiknya yaitu Effenberg. Federasi sepak bola Jerman saat itu menindak tegas sang gelandang setelah ia membuat gesture tidak baik kepada penonton usai ditarik keluar dalam pertandingan melawan Korea Selatan.
Berti Vogts, pelatih Jerman saat itu juga menyebut bahwa bukan kali itu saja Effenberg menempatkan tim pada kesulitan. Gelandang yang saat itu bermain di Fiorentina ini juga sempat memanaskan kondisi ruang ganti ketika Jerman mengikuti kejuaraan Piala Eropa 1992, dua tahun sebelumnya.
Pertengkaran dengan pelatih dialami oleh Stein, Keane, Zahovic, Anelka, lalu terakhir Kalinic. Stein pada tahun 1986 menyebut Franz Beckenbauer, pelatih Jerman saat itu sebagai ‘bahan tertawaan’, dan hal ini tidak hanya membuatnya dipulangkan, tetapi juga mengakhiri karier internasional pemain yang berposisi sebagai penjaga gawang itu.
Hal serupa juga dilakukan Keane, Zahovic dan Anelka. Kebetulan, ketiga pemain ini berstatus sebagai bintang pada masing-masing tim di kejuaraan. Keane dan Zahovic merupakan legenda sepak bola Irlandia dan Slovenia yang banyak berjasa bagi negara, sementara Anelka merupakan sosok pemain senior yang diharapkan menjadi pemimpin bagi rekan-rekannya.
Sikap yang ditunjukkan para bintang lapangan ini jelas tidak patut dicontoh. Sepak bola merupakan permainan tim, karena itu egoisme dan sikap megalomania memang semestinya tidak boleh diberikan tempat. Untuk tampil baik dalam kejuaraan seakbar Piala Dunia, sebuah tim tidak sekadar membutuhkan kemampuan teknis para pemainnya, tetapi juga kondisi tim yang harmonis.
Kondustifnya ruang ganti terbukti menjadi salah satu kunci keberhasilan bagi negara-negara yang pernah tercatat sebagai pemenang Piala Dunia. Contohnya yang terjadi pada Prancis tahun 1998, di mana kekompakan begitu terjalin di antara skuat yang multikultur. Hal yang sama juga dialami Italia pada tahun 1982 dan 2006 yang mengusung semangat yang sama setelah sepak bola dalam negeri mereka dilanda skandal besar.
Sebaliknya, tim yang tidak memiliki kesatuan dalam skuatnya akan sulit berprestasi. Setidaknya hal ini terbukti, dari seluruh negara yang pemainnya dipulangkan lebih awal tadi, tidak ada satu pun dari mereka yang akhirnya keluar sebagai jawara Piala Dunia.