Laga antara Maroko dan Iran sebagai pembuka Grup B adalah laga yang unik. Kenapa unik? Karena, pertama, ini pertemuan dua negara dengan aura Islam yang kental, dan dipimpin oleh Cuneyt Cakir, wasit asal Turki, negara yang juga sangat kental aura Islam. Tiga komponen penting dalam satu pertandingan ini semuanya bernuansa Islam, sesuatu yang agaknya akan sangat disukai oleh Yang Mulia Amien Rais.
Selain tampilan Herve Renard, mantan pelatih Cambridge United, yang sekilas mirip Ser Jaime Lannister, Maroko juga mempunyai skuat yang dipenuhi talenta dan kualitas teknik kelas satu. Hakim Ziyech, pemuda kelahiran Belanda, yang dikritik Marco van Basten karena memilih membela tanah leluhurnya, adalah sumber kreativitas Ajax Amsterdam musim lalu. Juga ada nama-nama beken seperti Medhi Benatia yang bersinar bersama Juventus, hingga wonderkid milik Schalke 04 kelahiran Prancis, Amine Harit. Dan tak lupa, pemuda jebolan La Fabrica milik Real Madrid, Achraf Hakimi, di lini belakang Singa Atlas.
Iran, di sisi lain, turun dengan kekuatan terbaiknya di laga pertama ini. Carlos Queiroz memasang langsung tiga penyerang terbaik mereka yang berlaga di Eropa, Karim Ansarifard, Alireza Jahanbakhsh, dan sang Iranian Messi, Sardar Azmoun. Alireza layak menjadi sorotan karena ia adalah top skor Eredivise musim lalu, sementara di kubu seberang, bercokol nama Hakim Ziyech sebagai top asis Eredivisie musim lalu, dan keduanya bertemu malam ini di laga pembuka Grup B.
Turun masing-masing dengan skema serupa, 3-4-3, kedua tim tampil dengan cara menyerang masing-masing, yang mengandalkan kelebihan keduanya. Maroko memanfaatkan lebar lapangan karena mereka memiliki Harit dan Nordin Amrabat, di mana sosok senior seperti Mbark Boussoufa dan Younes Belhanda, serta Ziyech menjadi kreator dan pemasok dari lini tengah. Skema ini beberapa kali sukses membuat Maroko mendapat peluang, salah satunya dari peluang terbuka Harit yang melepaskan satu tembakan on target ke gawang Iran, serta situasi bola liar di kotak penalti Iran yang sayangnya tidak berbuah gol.
Sementara Iran, walau lebih sporadis dan tidak menyerang dengan skema terstruktur serta rapi, memiliki ancaman yang nyata melalui kecepatan Alireza dan Azmoun, serta kreativitas sang pemain nomor 10, Ansarifard. Iran asuhan Queiroz juga mengancam dua kali melalui skema serangan balik lewat penetrasi Ansarifard dan Azmoun, yang keduanya tidak diimbangi dengan penyelesaian prima, sehingga tidak ada gol yang tercipta di babak pertama.
Babak kedua berjalan dengan tempo menurun, yang juga diikuti dengan intensitas serangan kedua negara yang ikut menurun di fase sepertiga akhir, plus ditandai dengan kecewanya saya terhadap ekspektasi tinggi terhadap magic feet dari Hakim Ziyech. Ziyech bermain seperti terbebani bahwa harapan seluruh Maroko ada di pundak dan kakinya.
Dua kali sepak pojok yang dikirimnya, tidak memberikan dampak signifikan. Ia juga menjadi kartu mati di proses build up ketika bola ada di lapangan tengah, yang membuat aliran bola ke dua sisi sayap menjadi terhambat. Ziyech jelas punya talenta, tapi, mungkin, bermain di Piala Dunia pertama menjadi beban yang agaknya membuat semua potensi itu menguap entah ke mana, barangkali tertinggal di dalam sepatu Adel Taarabt?
Tapi kemudian, Ziyech mengancam gawang Iran di menit ke-79 ketika tendangan voli kaki kirinya dari luar kotak penalti membuat kiper Iran, Alireza Beiranvand, harus menjatuhkan badan untuk menepis tendangan cantik pemain Ajax Amsterdam tersebut.
Selepas tendangan cantik Ziyech yang juga ditepis dengan cantik pula oleh Beiranvand, mantan pengantar pizza yang kini menjadi kiper nomor satu Iran, praktis, laga ini adalah laga yang membosankan. Semakin suram ketika di menit ke-86, salah satu bintang terbaik Iran, Alireza Jahanbakhsh, harus ditarik keluar karena cedera dan semakin memberi kesan, “dengan Jahanbakhsh di atas lapangan saja Iran kesulitan membuat peluang, apalagi tanpa dia kini…”
Tapi, kamu tahu, Piala Dunia selalu punya kejutan, bahkan di tengah laga yang berlangsung membosankan sekalipun. Masa tambahan waktu selama enam menit berubah menjadi neraka kelam bagi Singa Atlas ketika Aziz Bouhaddouz salah mengantisipasi umpan silang dari sisi kanan pertahanan Maroko dan memberi Iran gol gratis berupa bunuh diri, sekaligus tiga poin penting yang berharga.