Si Putih dari Semenanjung Iberia kembali menjadi pemilik Si Kuping Besar musim ini. Mengalahkan Si Merah dari kota keberangkatan kapal Titanic, Real Madrid melanjutkan dominasi klub LaLiga di Liga Champions dalam 5 gelaran terakhir. Ini bukan kebetulan semata, karena setidaknya ada tiga alasan tim Spanyol bisa sangat dominan di Liga Champions.
Persaingan liga domestik
Orang-orang bilang LaLiga adalah kompetisi yang menjemukan. Persaingan gelar juara sejak tahun 2000-an hanya didominasi Real Madrid dan Barcelona. Rentetan juara tersebut hanya sanggup diselangi Atlético Madrid dan Valencia, itupun tak pernah beruntun lebih dari semusim.
Namun, justru dari liga yang kata orang-orang tidak menarik tersebut nyatanya menjadi keuntungan tersendiri bagi Barcelona (di era Pep Guardiola dan masa kepelatihan Luis Enrique), serta Real Madrid racikan Zinedine Zidane.
Di LaLiga, Real Madrid dan Barcelona tidak banyak melakoni big match. Selain El Clasico, laga akbar lainnya paling-paling hanya melawan Atlético Madrid. Bahkan laga kontra Valencia dan Sevilla, meskipun di beberapa musim kedua tim tersebut tampil bagus, tidak bisa dibilang big match karena bukan halangan berarti bagi Real Madrid dan Barcelona.
Ini berbeda dengan Liga Primer Inggris, yang satu tim besar bisa menghadapi lima sesama raksasa di kompetisi domestik. Liverpool misalnya, punya jadwal partai besar melawan Manchester City, Manchester United, Tottenham, Chelsea, dan Arsenal. Tidak peduli seberapapun buruknya performa lawan, kalau mereka adalah klub dengan tradisi juara di Liga Primer Inggris, mereka tetaplah tim besar.
Memang dengan banyak melakoni big match bisa melatih mental dan kemampuan saat bertanding di Eropa, tapi efek sampingnya, bisa berdampak pada kelelahan dan kejenuhan. Kemenangan dapat meningkatkan mental bertanding, tapi itu hanya terjadi beberapa pekan. Sebaliknya jika terus menelan kekalahan, imbasnya bisa lebih parah.
Padahal untuk menjadi raja Eropa yang finalnya adalah gong liga-liga Benua Biru di bulan Mei, konsistensi adalah syarat mutlak. Ini juga yang salah satunya mendasari rekor buruk tim-tim Liga Primer Inggris melawan klub LaLiga. Dengan kalahnya Liverpool kemarin (27/5), berarti Inggris selalu dikalahkan Spanyol dalam empat pertemuan terakhir di final Liga Champions.
Komposisi skuat
Alasan yang kedua adalah tentang komposisi skuat. Baik Real Madrid maupun Barcelona merupakan dua tim yang susunan skuat utamanya sangat jarang berganti. Mereka bukan tipikal klub yang di satu musim mendatangkan banyak sekali amunisi, kemudian di musim lainnya kehilangan banyak pilar.
Mari kita mulai dari Barcelona yang juara di musim 2008/2009. Saat itu Pep Guardiola mengalahkan Manchester United dengan tiga pemain yang tiga musim sebelumnya mengalahkan Arsenal di Stade de France, yaitu Victor Valdés, Carles Puyol, dan Samuel Eto’o. Sementara itu Sylvinho, Xavi, dan Iniesta adalah pemain cadangan di final 2006.
Berbekal fondasi itulah Guardiola kembali menguasai Eropa di musim 2010/2011. Lagi-lagi melawan Manchester United, Barcelona asuhan Pep juara dengan skor 3-1. Kali ini skuat Blaugrana lebih superior, dengan tambahan David Villa dan Pedro Rodríguez di lini depan, sedangkan tiga komposisi gelandang sama persis dengan final di Olimpico, yaitu Sergio Busquets, Xavi, dan Iniesta.
Tulang punggung Barcelona yang kita kenal dengan skema permainan Tiki-Taka itu pula, plus beberapa regenerasi posisi seperti Marc-André ter Stegen, Jordi Alba, Ivan Rakitić, Neymar, dan Luis Suárez, yang mengalahkan Juventus 3-1 di Olympiastadion pada final 2015.
Kemudian untuk Real Madrid, sejak ditangani Zidane komposisi skuat mereka tidak banyak berubah, atau sudah formasi default kalau merujuk pada istilah di gim sepak bola. Bahkan ada lima pemain yang selalu bermain di empat final terakhir sejak 2013/2014. Mereka adalah Sergio Ramos, Dani Carvajal, Luka Modrić, Karim Benzema dan Cristiano Ronaldo.
Apalagi jika rentang waktunya dipersempit jadi hanya tiga musim terakhir, perbedaannya hanya ada di Isco dan Gareth Bale yang bergantian jadi andalan di lini depan. Sisanya adalah muka-muka yang sama. Terutama di final Liga Champions 2017 dan 2018, starting line-up Real Madrid sama persis, tidak ada yang berubah.
Kekuatan finansial
Inilah faktor ketiga, yang juga memengaruhi jarangnya perubahan di komposisi the winning team Real Madrid dan Barcelona. Dengan menjadi salah dua klub terkaya saat ini, mereka bisa leluasa menentukan pilihan target di bursa transfer, tanpa perlu khawatir kehilangan pemain kuncinya.
Kalian bisa melihat riwayat daftar jual-beli pemain Real Madrid dan Barcelona dalam 10 tahun terakhir, mereka sangat jarang diterpa isu transfer pemain kunci diminati klub A, pemain pilar dirumorkan pindah ke klub B. Sebaliknya, justru Real Madrid dan Barcelona yang menjadi rantai makanan teratas dalam perburuan pemain.
Tercatat hanya Neymar saja, pemain bintang yang berhasil “dicuri” dari genggaman sang raksasa LaLiga. Selebihnya, tidak ada rumor lain tentang kepindahan pemain kunci Barcelona atau Real Madrid ke klub lain. Kalaupun ada, itu mungkin hanya terjadi di Master League atau Football Manager.
Untuk nama-nama yang angkat kaki semisal Iker Casillas, Javier Mascherano, Victor Valdés, David Villa, Sami Khedira, atau Iniesta, mereka pergi karena memang wes wayahe alias sudah waktunya, antara faktor usia atau penurunan performa. Hal yang sama juga berlaku untuk Cristiano Ronaldo.
Silakan bandingkan dengan klub-klub raksasa di Liga Primer Inggris atau Serie A. Manchester United selalu dihantui kepindahan David de Gea, Chelsea selalu waspada jika Eden Hazard tiba-tiba hengkang, dan Juventus tak pernah lepas dari isu kepergian Paulo Dybala.
Selama beberapa musim ke depan, jika situasi seperti ini tak berubah, kemungkinan klub LaLiga (baca: Real Madrid dan atau Barcelona) masih tetap merajai Liga Champions. Namun, bukan berarti tak ada klub lain yang bisa menjadi saingan berat keduanya.
Berdasarkan tolok ukur tiga faktor di atas, dengan hanya mengambil salah dua atau ketiganya sekaligus, Manchester City dan Juventus bisa dikategorikan sebagai dua kandidat terkuat pemutus dominasi Real Madrid dan Barcelona.
Lalu bagaimana dengan Paris Saint-Germain (PSG) dan Bayern München? Bayern perlu diuji lebih dulu dengan Niko Kovač-nya, sedangkan PSG punya lebih banyak pekerjaan rumah: Mencari kiper yang lebih kompeten, menyiapkan penerus Thiago Silva, dan memagari Neymar selama mungkin.