Editorial

“Unai Siapa? Unai Emery!”

‘Bursa transfer’ pelatih Arsenal untuk musim depan saya ikuti seperti saya mengikuti berita politik di Indonesia: tak acuh, sekilas, dan hampir tanpa ekspektasi. Saya punya alasan, salah satunya, karena dalam tiga belas tahun masa edar saya sebagai penggemar Arsenal, saya tidak pernah merasakan rasanya berburu pelatih baru.

Semua isu pelatih, mulai dari nama besar seperti Massimiliano Allegri dan Carlo Ancelotti, nama belia nan potensial laiknya Julian Nagelsmann dan Domenico Tedesco, hingga eks pemain legendaris semacam Patrick Vieira dan Mikel Arteta, semuanya, hampir tidak pernah saya beri komentar. Semua berlalu, menjadi berita, rumor, hingga lesap dalam ingatan saya hanya sebatas isu belaka.

Sampai kemudian, Ivan Gazidis mengambil manuver, yang menurut saya pribadi, menunjukkan upaya nyata bahwa dengan ‘hilangnya’ Arsene Wenger dari power structure di hierarki Arsenal, pria botak ini adalah wajah baru Arsenal di era pasca-Wenger. Berita diapungkan, isu sekian minggu tenggelam begitu saja, nama Arteta yang begitu menimbulkan pro dan kontra di kalangan suporter selama beberapa hari, tiba-tiba lenyap. Muncul kemudian lelaki muda nan klimis, asli Spanyol dari region Basque, Unai Emery.

Unai Emery adalah lelaki muda? Oh, ya, tentu.

Emery ‘baru’ berusia 46 tahun, hanya satu tahun lebih tua dari ibu saya, sosok yang bagi saya, masih selalu terlihat muda walau sudah berusia kepala empat. Saya tidak akan bilang bahwa saya ‘mengenal’ karier Emery, walau saya sudah tahu ada pelatih dengan nama unik seperti Emery sejak ia mekar bersama Almeria. Saya tidak mengikuti kariernya di Valencia dan Spartak Moskow, sebelum kemudian ia menghentak Eropa bersama Sevilla.

Tiga gelar beruntun dari Liga Europa tentu membanggakan bagi Emery. Satu hal yang tidak bisa dilakukan Wenger dalam 22 tahun masa bakti di London, Emery bisa melakukannya tiga kali beruntun dalam tiga tahun. Betul, Liga Europa adalah kompetisi kasta kedua, kompetisi yang sangat terasa asing bagi Wenger dan Arsenal, yang hampir 17 tahun lebih (sebelum musim lalu) selalu memiliki panggung di Liga Champions Eropa.

Dan ketika nama Emery diresmikan sebagai pelatih baru Arsenal kemarin malam (23/5), diam-diam, saya menyemai harapan. Kamu tahu, seperti perasaan optimis yang selama puluhan tahun jarang kamu rasakan, tiba-tiba ia ada, menyeruak, dan membuat optimis.

Saya tahu Unai Emery. Tahu bagaimana wajah dan air mukanya. Tahu bagaimana rambut setengah panjang dan klimisnya membuatnya semakin mirip Matthew McConaughey. Dan tahu dengan pasti bagaimana ia saya ingat dengan jelas karena remontada di Camp Nou yang pedih itu. Emery bukan nama yang populer dibanding Allegri atau Don Carletto, tapi dengan situasi Arsenal saat ini, Emery adalah nama yang terasa pas. Ia seperti melengkapi kepingan…

Unai Emery dalam lingkaran reformasi Gazidis

Reformasi itu terasa nyata, sebagai upaya Gazidis untuk menggerus pesona Wenger, tidak hanya di ruang ganti, namun juga di tubuh tim dan manajemen secara keseluruhan. Huss Fahmy, Raul Sanllehi, hingga Sven Mislintat adalah tiga nama yang menjadi gerbong awal dalam upaya Gazidis melakukan reformasi di dalam tubuh manajemen Arsenal.

Gazidis tahu, Wenger menua, ia semakin bebal, dan tak baik mempertahankan situasi canggung itu untuk waktu yang lama. Fahmy datang untuk menggerus kuasa Wenger di penanganan kontrak pemain, satu hal yang begitu terasa di tahun-tahun terakhir Wenger, terutama di kontrak lima pemain British core Arsenal, yang hanya menyisakan Aaron Ramsey dan Jack Wilshere di skuat masa kini.

Sanllehi dan Mislintat datang untuk pelan-pelan mengikis kuasa Wenger dalam proses rekrutmen pemain dan bursa transfer. Melepas Olivier Giroud demi Pierre-Emerick Aubameyang bukan tipikal transfer Arsenal dan Wenger. Semua pendukung Arsenal tahu, Giroud bukan pemain yang akan dijual oleh Wenger selama ia masih berkuasa di Emirates Stadium. Tapi ketika kemudian ia hijrah ke Chelsea dengan penuh haru dan perpisahan yang emosional, kamu akan sadar dengan nyata, ada pergeseran kekuatan di tubuh manajemen Arsenal.

Dan Emery, ia adalah kepingan terakhir reformasi Gazidis. Sejak awal, Arsenal menunjukkan hal itu, bahkan di media sosial. Mengumumkan Emery sebagai ‘our new head coach’ dibanding ‘our new manager’ menunjukkan bahwa perubahan era itu nampak nyata dan terasa membawa angin yang menyegarkan.

Nuansa baru, semangat reformasi yang pernah dirasakan bangsa Indonesia sejak 1998 yang gelap dan mencekam di sejarah sosial politik negeri ini, seketika terasa di Arsenal saat Emery datang dan resmi diumumkan sebagai pelatih baru.

 

Unai Emery, sang gembala di masa reformasi Arsenal

Unai bukan nama depan yang populer di Basque. Ander dan Xabier jadi nama depan pria yang paling populer di lima tahun terakhir, sesuai data yang tercantum di euskalkazaeta.com. Hampir tidak ada pesohor Spanyol dari region Basque yang bernama depan Unai namun memiliki reputasi mencolok, hal yang uniknya, dimiliki oleh Emery.

Dalam kamus bahasa Basque, Unai memiliki makna sebagai ‘shepherd’, yang dalam Bahasa Indonesia kurang lebih bermakna sebagai gembala. Dan di konteks kontraknya bersama Arsenal, nama itu bermakna penting.

Ia datang di masa reformasi, di mana skuat Arsenal saat ini adalah warisan sepenuhnya dari Arsene Wenger. Ia mungkin akan memanggil Lucas Perez, nama yang kerapkali diabaikan Wenger, namun untuk menangani reformasi di tubuh skuat Arsenal, Emery terasa sebagai nama yang pas.

Arsenal bukan seperti apa yang ia hadapi di Paris Saint-Germain. Gazidis (dan Stan Kroenke) bukan sosok yang ambisius dan bisa dengan mudah menggelontorkan 200 juta euro lebih untuk satu orang pemain. Tekanan di Arsenal besar, sangat besar bahkan, tapi orang tahu, Wenger tidak mewariskan trofi di musim terakhirnya, sesuatu yang membuat ekspektasi harusnya tidak setinggi ketika Sir Alex Ferguson pensiun dari Manchester United dengan trofi Liga Primer.

Di Sevilla, ia terbiasa bekerja bersama Monchi dengan bujet minimal. Di Paris, ia terbiasa dengan pemain berkualitas dan geliat taktiknya terasa sangat nyata dengan sentuhan yang menggairahkan. Sangat intensif, pressing, dua bek sayap yang aktif naik ke atas dan sangat ofensif, hingga permainan atraktif yang memikat mata. Betul bahwa ia hancur lebur 6-1 di Barcelona, tapi ingat, ia juga menang empat gol tanpa balas atas lawan yang sama di Paris.

Betul, reformasi bisa gagal, Emery bisa mengikuti jejak David Moyes yang jadi olok-olok di Manchester. Tapi begini, 26 tahun saya hidup, 13 tahun saya habiskan untuk PlayStation dan 13 tahun sisanya saya habiskan untuk Arsenal. Dan untuk fase baru setelah 13 tahun lamanya, saya merasa nyaman meletakkan harapan kepada Unai Emery, semoga kamu juga, jika kamu suporter Arsenal, tentu saja.