Inggris selalu dikaitkan sebagai tempat asal-mula lahirnya sepak bola modern, olahraga yang paling digemari oleh sebagian besar umat manusia di Bumi. Namun wajah sepak bola Inggris berubah di awal 1990-an akibat dari beberapa tragedi yang terjadi beberapa tahun ke belakangnya, mulai dari kericuhan di Heysel dan Hillsborough hingga kebakaran tribun di Bradford.
Krisis yang dihadapi negara yang pernah menjadi juara Piala Dunia 1966 ini berdampak pada menurunnya minat publik terhadap sepak bola. Namun, muncul lima sosok yang akan menjadi Mesias sepak bola Inggris, merekalah para filsuf modernisme sepak bola Inggris.
Bicara tentang filsafat, kebangkitan filsafat di Negeri Ratu Elizabeth juga terjadi di era modernisme, dimulai dari ide tentang pengetahuan dan kekuasaan, yang dicetuskan oleh Sir Francis Bacon (1561-1626) hingga kemunculan empat filsuf empirisme modern yakni Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), George Berkeley (1685-1753), dan David Hume (1711-1776), yang kemudian menjadikan empirisme sebagai tradisi pemikiran yang nginggris hingga kini. Ya, lima!
Jumlah yang eksak jika penulis ingin mencoba mencocokkannya dengan lima tokoh elite sepak bola Inggris yang pada 1990-an berkumpul dalam sebuah makan malam dan membahas tentang masa depan sepak bola Inggris. Kelima tokoh tersebut merupakan lima direksi dari lima klub besar di era tersebut, dipimpin oleh sosok David Dein (Arsenal), hadir di sana sosok Martin Edwards (Manchester United), Irving Scholar (Tottenham), Noel White (Liverpool), dan mendiang Philip Carter (Everton) yang sama-sama percaya bahwa suatu saat sepak bola Inggris dapat berjaya kembali.
Era Premier League, antara keadilan dan kekuataan uang
Di era kelam tersebut sepak bola Inggris menghadapi berbagai masalah, para penonton harus merindukan sosok-sosok berbakat seperti Paul Gascoigne atau David Platt, yang memilih melanjutkan kariernya di luar Inggris atau bobroknya kualitas stadion-stadion di Inggris yang menjadi muara beberapa tragedi yang terjadi di atas yang seolah mendukung posisi Football League, badan liga yang dibentuk FA pada saat itu, dalam keadaan kacau.
Makan malam kelompok yang dikenal dengan sebutan “The Gank of Five” ini dilakukan di markas London Weekend Television (LWT) atas undangan sang managing director, Greg Dyke, kemudian membuahkan sebuah ide brilian. Sebuah ide yang dianggap modern pada era itu yakni memisahkan diri dari Football League untuk membuat sebuah breakaway league atau liga tandingan yang kemudian menjadi cikal bakal Premier League.
Keinginan mulia “The Gank of Five” bukan tanpa alasan, mereka beranggapan bahwa selama ini mereka telah mengeluarkan banyak uang untuk menghidupi klub-klub lain secara tidak langsung di dalam kompetisi, namun tak mendapat keuntungan sepadan seperti dikutip dalam sebuah ulasan yang ditulis wartawan Irish Independent, Julian Bennett, pada tahun 2017.
David Dein dikutip dari wawancaranya kepada L’Équipe tahun 2015 lalu mengatakan bahwa mereka ingin mengembangkan sebuah liga yang lebih baik dengan aksesibilitas stadion lebih baik sehingga dapat menggaet lebih banyak penonton. “Kami ingin menciptakan pertunjukan terbaik di kota. Awal dan akhirnya semua adalah tentang sepak bola.”
Keinginan Dein untuk mengembalikan kembali hasrat publik terhadap sepak bola tak ubahnya seperti Bacon yang ingin menjawab segala kegundahan di zamannya. Filsuf yang lahir sezaman dengan sastrawan termasyhur Inggris, William Shakespeare, ini mengatakan bahwa masalah-masalah yang dihadapi manusia di era Rennaisance menuju kehidupan modern tak dapat diselesaikan dengan etika, hukum dan teologi, seperti yang sudah dilakukan oleh orang-orang Yunani, Romawi, dan para filsuf Abad Pertengahan. Bacon menghendaki ilmu pengetahuan sebagai puncak solusinya dan beratus tahun kemudian Dein, dibantu keempat rekannya dan juga LWT, seolah ingin mengatakan bahwa: “Today, money is power!”
Singkat cerita “perkumpulan” Dein bertambah anggota, klub-klub yang ditargetkan seperti Aston Villa, Newcastle United, Nottingham Forest, Sheffield Wednesday, dan West Ham United memutuskan untuk bergabung. FA yang saat itu berseteru dengan pihak Football League kemudian meloloskan rencana “The Gank of Five” dan menugaskan Rick Parry dan perusahaan Ernst & Young untuk menakhodai rencana besar ini.
Tak hanya sampai di situ, langkah besar lainnya adalah menggaet penonton dari televisi, komoditi andalan yang dipakai para penonton di era itu jika tak sempat datang ke stadion. Ada tiga stasiun televisi yang mengajukan proposal pada liga baru tersebut, mereka adalah ITV, BBC, dan Sky Sports, dengan penekanan bahwa ketiganya perlu mempertimbangkan hak siar yang adil bagi seluruh kontestan.
Di akhir kisah perebutan hak siar liga dimenangkan oleh Sky, yang dipimpin taipan asal Australia, Rupert Murdoch. Murdoch mengucurkan dana sebesar 304 juta paun selama lima musim. 20 Februari 1992, English Premier League, resmi digulirkan, menjadi liga kasta tertinggi menggantikan Division One yang kini menjelma menjadi Championship Division.
Dikutip dari wawancara Barry Silkman, seorang agen pemain di era tersebut, hari itu menjadi titik balik di mana sebuah olahraga berubah menjadi sebuah bisnis. “Dalam semalam, seorang pemain yang awalnya adalah pekerja yang baik berubah menjadi pekerja yang kaya-raya,” sebagaimana dilansir dalam Irish Independent.
Empiria semu, sisi lain industri Premier League
Penulis sendiri sangat terpengaruh pada pemikiran empirisme, sebuah pemikiran yang menganggap bahwa pengetahuan yang sahih harus bersumber dari pengalaman (empeiria). Bahkan salah satu filsuf favorit penulis yakni John Locke, mencetuskan teori tabula rasa yang memiliki makna kurang lebih bahwa manusia lahir di dunia sebagai sebuah kertas kosong dan pengalaman hidup adalah rangkaian goresan, warna, kata dan gambar yang akan mengisi kertas tersebut. Namun, pengalaman apa yang hendak ditawarkan sepak bola modern Inggris dalam balutan industri Liga Primer?
Dengan branding liga yang telah ditonton oleh hampir seluruh pasang mata dari London hingga New York, dari Sapporo hingga Tasmania, dihuni klub-klub berkekuatan finansial yang luar biasa dan pemain-pemain berlabel bintang. Situs Transfermarkt, mencatat bahwa Premier League memiliki harga pasar total sebesar 6,69 miliar euro. Harga fantastis untuk sebuah tontonan olahraga, bukan?
Dein bahkan terang-terangan mengatakan bahwa Premier League kini lebih popular ketimbang NBA dan NFL, “Mereka (NBA dan NFL) adalah olahraga besar, tetapi mereka masih harus melakukan banyak cara jika ingin menyamai level kami,” ujarnya pada L’Équipe seraya membenarkan bahwa NFL menjadi salah satu inspirasi Dein membenahi sepak bola di Inggris.
Dein nampaknya menjadi pengikut setia Locke, terlebih dalam urusan etika. Locke memiliki pandangan bahwa manusia harus memiliki etika yang memuja kenikmatan, hal-hal yang kita sebut ‘baik’. Kemewahan Premier League sendiri memang memberi kenikmatan tak terhingga bagi para penonton, terlebih para sponsor.
Namun, di tengah irasionalitas, pasar yang melanda sepak bola global saat ini di mana cita-cita “The Gank of Five” dahulu yang ingin menekankan kesetaraan bagi seluruh kontestan liga? Meski kerapkali menyajikan kejutan, tiap akhir pekan sudah hampir pasti tim dengan kekuatan finansial yang lebih baik mampu mengalahkan tim-tim semenjana dengan mudah, dan di akhir musim dapat diprediksi menjadi juara.
Bahkan, ada gelontoran dana yang dikeluarkan Vichai Srivaddhanaprabha dalam gelar juara Leicester City di musim 2015/2016 lalu yang tak begitu saja bisa dilupakan. Empiria semu ketika di beberapa negara Premier League semakin tak bisa dijangkau dengan gratis, karena semua pasti ada harganya.
Pengalaman menonton sepak bola yang seperti apa ketika masih ada beberapa protes yang terjadi seperti di Anfield dan Emirates Stadium ketika para owner memperlakukan suporter sebagai konsumen. Bagaimana dengan para suporter layar kaca yang terpisah ribuan kilometer dari stadion kandang klub favoritnya, pengalaman menonton sepak bola apa yang mereka dapatkan?