Cerita

Parma: Plusvalenza, Bangkrut, dan Bangkit

Parma memang rumah bagi cerita asyik Alessandro Lucarelli, kapten tim yang telah berikrar untuk membawa Parma kembali ke Serie A, hingga akhirnya berhasil mewujudkannya. Tapi tidak hanya itu, Parma juga merupakan rumah dari para legenda lain.

Dari Gianfanco Zola hingga Fabio Cannavaro, dari Lilian Thuram hingga Juan Sebastian Veron, dari Faustino Asprilla hingga Gianluigi Buffon. Ketika klub ini dipastikan bermain di Serie A musim depan berkat keberhasilan menempati runner-up Serie B musim 2017/2018, para penggemar sepak bola Italia pun turut merayakannya dengan suka cita.

Il Ducali memenangkan Piala UEFA, Piala Winners, dan tiga Piala Italia selama periode emas mereka pada tahun 1990-an, namun ketika pengadilan menetapkan mereka bangkrut untuk kali kedua pada tahun 2015, mereka harus bermain di kompetisi Serie D. Kini, hanya tiga tahun sejak peristiwa tersebut, Parma pun kembali ke Serie A Italia. Dengan hasil ini, Parma menjadi satu-satunya klub Italia yang mampu meraih tiket promosi dari kompetisi tangga ke-empat hingga tangga teratas dalam tiga musim beruntun. Sulit dipercaya.

Baca juga: Skuat Legendaris Parma 1998/1999, Ketika Italia Begitu Berjaya di Eropa

Cerita kebangkrutan klub dari Emilia Romagna ini memang bukan hal yang aneh di Italia. Rangkaian mismanagement yang dilakukan oleh pemilik klub yang mengelola tim sepak bolanya dengan tidak mempertimbangkan aspek finansial mengakibatkan klub-klub yang awalnya memiliki nama besar pun tenggelam dengan cepat, ibarat perahu yang menghantam batu karang dan langsung hancur dengan cepat. Ingatlah bahwa ketika divonis bangkrut, Parma baru menjalani musim yang bagus dengan menempati peringkat ke-6 yang membuat mereka lolos ke Eropa.

Hal yang sama juga kurang lebih menimpa dua klub besar lainnya yang pernah mengalami kebangkrutan, yaitu Fiorentina pada tahun 2002 dan Napoli pada tahun 2004. Fiorentina, setahun sebelum dinyatakan bangkrut mampu memenangkan Piala Italia di bawah asuhan Roberto Mancini. Sementara Napoli juga berada di Serie B dan mampu bersaing memperebutkan tiket promosi ke Serie A sebelum dinyatakan bangkrut.

Fenomena ini memang agak berbeda dengan yang terjadi di sepak bola Spanyol, misalnya. Di negeri ini juga banyak klub yang mengalami kebangkrutan, namun prosesnya jika diibaratkan dengan kapal tadi, maka mereka tidaklah menabrak batu karang, melainkan tenggelam perlahan akibat adanya kebocoran kecil yang terus membesar dan tidak kunjung ditambal.

Klub-klub seperti Las Palmas, Racing Santander, Real Oviedo atau Extremadura yang mengalami nasib tersebut memang sudah lama dikenal sebagai klub papan bawah atau bermain di bawah divisi teratas. Kesulitan keuangan yang mereka alami juga turut dipengaruhi diskriminasi distribusi hak siar televisi yang terlalu mengarah ke klub-klub besar.

Jika dilihat dari komparasi tersebut, maka kekeliruan pengelolaan yang dilakukan para pemilik klub Italia memang lebih parah. Cerita kebangkrutan yang dialami Parma pada kali kedua tahun 2015 itu terjadi pada kepemimpinan Presiden Tommaso Ghirardi. Kala itu, manajemen menggelar strategi transfer pemain yang amat kontroversial. Mereka membeli banyak pemain-pemain muda dengan harapan bisa dijual dengan harga tinggi. Strategi yang dikenal dengan plusvalenza.

Strategi ini membuat Parma sempat diperkuat oleh 226 pemain, meski kebanyakan dari pemain-pemain itu kemudian dipinjamkan ke klub lain. Harapan dari digunakannya plusvalenza yang sebetulnya adalah bentuk dari creative accounting ini adalah keuntungan instan saat berhasil menjual pemain dengan harga yang lebih mahal ketimbang saat dibeli. Keuntungan ini diakui secara sekaligus, sementara pembelian secara akuntansi dikapitalisasi yang berarti dibebankan dalam beberapa tahun ke depan.

Tetapi sistem ini menimbulkan kerumitan dan rentan penggelapan. Laporan keuangan yang tersaji memperlihatkan keuntungan yang semu. Biaya amortisasi yang terlalu besar membebani laporan keuangan selama tahun-tahun selanjutnya, sementara keuntungan sudah langsung dinikmati pada tahun pertama. Alhasil pada saat dinyatakan bangkrut, Parma memiliki utang sebesar 218 juta euro, di mana 63 juta di antaranya adalah utang gaji pemain yang belum dibayarkan.

 

Parma berhasil menang

Kebangkitan dengan crowdfunding dan kepemilikan baru

Bagi Parma, kebangkrutan ini memang menjadi pukulan berat, namun bukan berarti akhir dari segalanya. Parma akhirnya kembali beroperasi pada tahun 2015 dengan nama Parma Calcio 1913 di bawah kepemilikan Nuovo Inzio, yang di belakangnya berkumpul pebisnis lokal.

Para pendukung tetap setia dan datang ke stadion, menjadikan kompetisi Serie D dan Serie C penuh warna dan passion yang kental. Rataan penonton yang tinggi, yaitu 10 ribu dari kapasitas Ennio Tardini yang berjumlah 22 ribu penonton ini, memang berperan dalam pemulihan kondisi keuangan klub.

Ditambah lagi, para pendukung juga memberikan uang kepada klub dalam bentuk crowdfunding. Hasil dari crowdfunding berjumlah 89 ribu euro ini kemudian membentuk Parma Partecipazioni Calcistiche Srl sebagai kendaraan dari kepemilikan oleh pendukung, dengan kontribusi 25% dari total kepemilikan saham.

Ketika kemudian Jiang Lizhang Desports group membeli mayoritas saham klub ini sebesar 60% pada tahun 2017, warna lokal dari klub tidak lantas dihilangkan. Para pengusaha setempat masih memiliki porsi kepemilikan sebanyak 30%, sementara pendukung memiliki sisanya sebanyak 10%. Dengan kebijakan transfer yang juga tidak jor-joran, Parma kini memang dikelola dengan hati-hati secara finansial, belajar dari kesalahan terdahulu.

“Parma akan kembali bangkit seperti raksasa yang berjalan ke tempat yang seharusnya di sepak bola Italia. Saya harap, kami bisa merayakan kompetisi Serie A dengan para pendukung,” ujar Lizhang pada saat membeli saham klub. Ajaibnya, hanya butuh waktu setahun bagi Lizhang untuk mewujudkan impian itu.

Memang sulit untuk menebak bagaimana nasib Parma nantinya di Serie A, mengingat kompeitisi ini memiliki level yang jauh berbeda dengan Serie B sekalipun. Sudah banyak klub-klub mapan yang menunggu sebagai lawan, dan mereka juga telah dikelola dengan lebih baik secara finansial. Catatan buruk klub-klub promosi yang langsung kembali terdegradasi pun bukan cerita baru.

Tetapi untuk saat ini, kita biarkan saja mereka berselebrasi, karena kebangkitan ini memang pantas mereka dapatkan!