Suara Pembaca

86 Tahun PSIS Semarang: 8angkit dan Berjuan6!

PSIS Semarang merupakan klub kebanggaan masyarakat ibu kota Jawa Tengah yakni Kota Lumpia, Semarang. Mahesa Jenar, julukan klub yang diambil dari kisah “Nagasara dan Sabukinten” karya S.H. Mintardja ini, berdiri pada tanggal 18 Mei 1932 setelah dua tahun PSSI lahir di Indonesia. PSIS merupakan tim yang konsisten bermain dan menghasilkan pemain berkualitas sejak era Perserikatan hingga kompetisi tahun 2018 di bawah operator PT. Liga Indonesia Baru sekarang.

Mahesa Jenar juga pernah merasakan juara di era Perserikatan pada tahun 1987. Ketika itu, PSIS berhasil menumbangkan Persebaya dengan skor 1-0 pada tanggal 11 Maret 1987 lewat gol dari Syaiful Amri, di bawah asuhan pelatih asal Semarang yang saat ini masih aktif dengan dunia sepak bola Tanah Air, Sartono Anwar.

Lalu, lahirlah generasi emas PSIS pada waktu itu dan muncul nama penggawa hebat macam Saiful Amri, Budi Wahyono, dan sang man of the match di final Perserikatan 1987, Ribut Waidi. Permainan apik Ribut Waidi di PSIS pun membuat namanya dipanggil ke skuat timnas SEA Games 1987. Istimewanya, Ribut Waidi menjadi penentu kemenangan timnas atas Malaysia di final SEA Games 1987 dan untuk pertama kali mengantarkan Indonesia meraih medali emas di pesta olahraga se-Asia Tenggara tersebut.

Di tahun berikutnya, tepatnya tahun 1988, PSIS juga masih menjadi tim kuat. Hal itu dibuktikan dengan adanya tragedi sepak bola gajah yang melibatkan Persebaya untuk menghindari PSIS dengan sengaja kalah 0-12 dari Persipura, padahal pertandingan dilangsungkan di kandang Persebaya. Satu dari banyak sekali noda hitam di sejarah sepak bola Indonesia.

Setelah era Perserikatan selesai, munculah kompetisi Liga Indonesia. Divisi Utama menjadi kasta tertinggi saat itu dan PSIS di era awal Liga Indonesia hanya menjadi tim penghuni papan tengah. Tetapi penantian untuk merasakan rasanya menggenggam piala kembali, akhirnya terjadi pada tahun 1999. PSIS, di bawah nakhoda pria asal Semarang, Edi Paryono, berhasil juara Liga Indonesia untuk pertama kalinya dengan gol tunggal Tugiyo yang sukses mengalahkan Persebaya 1-0 pada tanggal 9 April 1999 di final “usiran” karena harus dilangsungkan di Stadion Klabat, Manado.

Gelar juara tersebut yang sampai saat ini dikenang dengan satu bintang di atas logo PSIS di jersey mereka. Setelah meraih juara, ada beberapa pemain PSIS yang mendapat panggilan timnas Indonesia seperti I Komang Putra, Agung Setyabudi, Ali Sunan, dan sang legenda yang ikonik, Tugiyo.

Uniknya, setelah menjuarai liga di tahun 1999 tersebut, PSIS harus terdegradasi di akhir kompetisi tahun 2000. Namun, pada waktu itu PSIS hanya “mampir ngombe” di Divisi I. Juara Divisi I langsung mereka raih di tahun 2001 dan mengembalikan mereka saat itu juga ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Pada tahun 2001 juga terbentuklah organisasi suporter PSIS yang sampai saat ini masih terus eksis dan terkenal sangat fanatik, Panser Biru.

Kembali di kasta tertinggi sepak bola Indonesia, PSIS seperti harus adaptasi kembali untuk mencapai urutan teratas di tabel peringkat kompetisi. Proses adaptasi tersebut kemudian terlihat di tahun 2005, di bawah asuhan Bambang Nurdiansyah.

Dengan skuat yang saat itu diisi oleh nama macam Emannuel “Cachi” De Porras, Esaiah Pello Benson, serta nama lokal macam Indriyanto Nugroho, Maman Abdurrahman, dan Harry Salisbury, pelatih yang akrab disapa Banur itu berhasil membawa PSIS meraih juara ketiga di kompetisi Liga Indonesia 2005.

Baca juga: Harry Salisbury, Sang Dewa Kaki Kiri di Stadion Jatidiri

Harapan untuk membawa pulang gelar juara ke Semarang kembali hampir menemui hasil di tahun 2006. Pada saat itu, PSIS diarsiteki sang mantan bek tangguh Mahesa Jenar, Bonggo Pribadi, yang menggantikan Sutan Harhara di tengah kompetisi.

PSIS sendiri kala itu di Divisi Utama tahun 2006 berhasil finish di urutan 3 wilayah barat dan lolos ke babak 8 besar. Di babak 8 besar, PSIS berhasil menjadi runner-up grup sehingga berhak lolos ke semifinal bersama Persik Kediri, dan menyingkirkan sang pemuncak Wilayah Barat, Arema Malang dan kuda hitam asal Kalimantan, Persiba Balikpapan. PSIS berhasil mencapai final setelah pada partai semifinal mengalahkan tim penuh kejutan, Persekabpas Pasuruan, yang kala itu ditangani mantan pelatih PSIS musim lalu, Subangkit, lewat gol tunggal Imral Usman.

Sayang seribu sayang, di partai final yang digelar di Solo, yang hanya berjarak sekitar 90 kilometer dari Semarang, PSIS harus mengubur mimpinya untuk menambah bintang di atas logo mereka setelah kalah melalui babak extra time dengan skor 1-0 atas Persik Kediri, lewat gol tunggal sang predator ulung Liga Indonesia yang hingga kini masih aktif bermain, Cristian “El Loco” Gonzales.

Praktis setelah era 2006, PSIS mulai mengalami penurunan dalam segi prestasi. Di kompetisi Liga Indonesia tahun 2007, PSIS yang pada waktu itu kembali mendatangkan sang anak hilang, Julio Lopez, gagal mencapai prestasi yang diharapkan oleh para pencinta sepak bola Semarang. PSIS hanya finish di urutan 10 Wilayah Barat dan gagal masuk ke zona yang berhak lolos ke Indonesia Super League (ISL) pada format kompetisi baru tahun berikutnya.

Setelah kompetisi selesai saat itu, PSIS mulai ditinggal pemain berkualitasnya semacam Khusnul Yakin, M. Ridwan, hingga Maman Abdurrahman. Nasib apik sebenarnya menaungi PSIS setelah PSIS bersama PKT Bontang ditetapkan untuk menggantikan Persiter Ternate dan Persmin Minahasa karena tidak lolos verifikasi menjadi klub ISL oleh operator liga kala itu.

Namun, persiapan yang kurang optimal ditambah dengan aturan keuangan yang sudah tidak memperbolehkan dana APBD menghidupi klub sepak bola, PSIS menjadi juru kunci di ISL tahun pertama dan membawa PSIS degradasi ke Divisi Utama bersama Deltas Sidoarjo, Persita Tangerang, dan PSMS Medan.

Partisipasi PSIS di kasta kedua sepak bola Indonesia setelah degradasi terbilang biasa saja. Dengan nama besar yang dimiliki, PSIS gagal menunjukkan permainan terbaiknya. Di babak penyisihan grup kasta kedua, sebenarnya PSIS selalu berhasil memuncaki grup dari tahun ke tahun karena mayoritas lawannya klub-klub yang berada di Jawa Tengah tidak setangguh Mahesa Jenar.

Namun, setiap kali PSIS sukses mencapai babak 16 besar ataupun 8 besar, tergantung format yang ditetapkan setiap tahunnya, PSIS gagal bersaing dengan klub kasta kedua lainnya. PSIS stuck berada di kasta kedua hingga tahun 2017. Sebenarnya, PSIS hampir berhasil lolos dari babak 8 besar di tahun 2014, sayangnya skandal sepak bola gajah ketika melawan PSS Sleman dalam partai tanpa penonton yang dilangsungkan di Sasana Krida Akademi Angkatan Udara, mengubur mimpi indah tersebut.

Setelah liga vakum karena PSSI sedang dalam masa hukuman FIFA pada tahun 2015 sampai 2016, PSIS kembali menunjukkan tajinya di kompetisi resmi Liga 2 tahun 2017 dengan predikat sebagai juara 3 kompetisi Liga 2 dan lolos ke Liga 1 tahun 2018 bersama tim yang penuh sejarah, PSMS Medan dan Persebaya Surabaya.

86 tahun usia PSIS Semarang saat ini dan kini telah kembali ke rumah lama mereka, kasta tertinggi sepak bola Indonesia. Ayo semakin bangkit dan berjuang demi mewujudkan mimpi pencinta sepak bola Semarang, bahwa PSIS mampu kembali menjadi raja sepak bola Indonesia seperti era Ribut Waidi dan Tugiyo.

Perlu diingat, anthem Panser Biru akan sebuah Kerinduanuntuk PSIS agar dapat meraih impian dan cita-citamu selalu menjadi pemacu semangat suporter. Dan, anthem Semarang Extreme, Tugu Muda di Dada, mengingatkan bahwa warga Semarang akan selalu bangga akan klub kebanggaan Kota Lumpia ini. Selamat ulang tahun sang kesatria, Mahesa Jenar!