Gustavo Hernan Ortiz memang menyandang predikat sebagai eksekutor bola mati berkelas dengan kaki kirinya. Akan tetapi, PSIS Semarang juga memiliki dewa lain yang memiliki kaki kiri mematikan, bahkan menetap di Stadion Jatidiri lebih lama dari legiun asing asal Argentina itu.
Kecil-kecil cabe rawit, biarpun berbadan mungil tapi selalu membawa timnya melejit. Mulai dari Persijatim Jakarta Timur, PSIS Semarang, Persib Bandung, Persija Jakarta, hingga Persitara Jakarta Utara, mereka adalah klub-klub yang beruntung dapat menikmati kualitas seorang Harry Salisbury.
Tingginya hanya 171 sentimeter, badannya tidak kekar, dan berkepala botak. Sekilas, perawakannya tidak terlihat seperti pesepak bola, bahkan suporter Persebaya menjulukinya Upin-Ipin saat Harry bergabung dengan Bajul Ijo. Namun, jika dirinya sudah berada di lapangan dan mengenakan seragam kesebelasan yang dibelanya, ia akan menjelma menjadi dewa.
Akurasi umpan silang dan eksekusi bola matinya sangat mematikan, terutama saat bermain di PSIS Semarang. Bersama Muhammad Ridwan yang beroperasi di sisi kanan, kombinasi keduanya di sektor sayap meroketkan Mahesa Jenar di Liga Indonesia 2005 dan 2006. Daya ledak Harry dan Ridwan melengkapi trio bek tengah kuat, yaitu Maman Abdurrahman, Fofee Kamara, dan Zoubairou.
Salah satu gol terbaik Harry Salisbury dapat Anda saksikan di video ini:
https://www.youtube.com/watch?v=Ht-MWv2EdMY
Gol yang luar biasa, sangat apik. Di Liga Indonesia, tidak banyak pemain yang sanggup mencetak gol dari tendangan bebas dalam sudut sempit seperti itu dan pemain bernomor punggung 17 ini merupakan salah satu yang berhasil. Terlebih, gol itu ia cetak ke gawang Joice Sorongan, kiper legendaris dengan segudang pengalaman. Mencetak gol lewat open play ke gawang Joy (sapaan akrab Joice) saja sudah susah, apa lagi lewat bola mati. Namun, Harry dapat melakukannya dengan sempurna.
Momen terbaik Harry lainnya adalah ketika bermain melawan Persekabpas Pasuruan di semifinal Liga Indonesia 2006. Dalam pertandingan yang berakhir 1-0 untuk kemenangan PSIS itu, Subangkit yang saat itu melatih Persekabpas, sudah mewanti-wanti anak asuhnya untuk mewaspadai ancaman Harry.
Dalam konferensi pers saat ditunjuk sebagai nakhoda anyar PSIS tahun 2016 lalu, Subangkit menceritakan pengalamannya ketika menghadapi Harry malam itu.
“Dia kecil tapi berbahaya, terutama saat mengeksekusi bola mati. Saat semifinal waktu itu, saya tekankan kepada pemain kami untuk mewaspadai pemain itu. Saat itu, PSIS juga mempunyai materi yang bagus-bagus”, ujarnya seperti dikutip dari Tribun Jateng.
Sobat karib Maman Abdurrahman
Sebagai pemain yang memiliki nama besar, Harry Salisbury justru bersifat rendah hati. Semasa bermain ia jarang terlibat kontroversi dan selalu bersemangat menunjukkan performa terbaik di atas lapangan. Oleh karena itulah ia menjadi sosok yang tak terlupakan bagi beberapa pemain tenar lain, seperti Maman Abdurrahman.
Layaknya Zlatan Ibrahimović dan Maxwell, Harry dan Maman selalu bersama sejak memulai karier profesionalnya. Selama delapan tahun secara beruntun mereka selalu memperkuat tim yang sama, mulai dari Persijatim hingga meraih kejayaan di PSIS. Bahkan ketika PSIS dilanda krisis finansial yang membuat mereka kehilangan pemain-pemain bintang seperti Modestus Setiawan dan I Komang Putra, Maman dan Harry memutuskan untuk pindah ke klub yang sama, Persib Bandung, walau hanya dalam waktu singkat.
Hanya setahun keduanya membela panji Maung Bandung. Faktor finansial disebut-sebut menjadi penyebab keduanya berpisah. Kesebelasan asal ibu kota Jawa Barat itu kabarnya tak kunjung melunasi gaji Harry, bahkan ia sampai melayangkan surat ke PT. Liga Indonesia terkait persoalan itu. Manajer Persib, Umuh Muchtar, kemudian dikabarkan melunasi hak pemainnya tersebut menggunakan dana pribadi.
Ketika Maman masih bertahan di musim keduanya bersama Pangeran Biru, Harry kembali ke kota kelahirannya, membela Persija Jakarta, sekaligus menjadi rival Maman untuk yang pertama kalinya sepanjang hidupnya. Setelah pengabdiannya pada Macan Kemayoran selesai, pemain kelahiran 15 April 1977 ini kemudian hijrah ke Persitara Jakarta Utara.
Kini, sang dewa kaki kiri telah menyelesaikan masa baktinya di lapangan hijau, setelah belasan tahun lamanya. Ia sekarang hidup tenang dengan istri beserta tiga orang anaknya, Keano Athallah, Rayhan Hannan, dan Keisha Salisbury, sembari mengasuh SSB miliknya, Bina Taruna Cibubur.
Meski belum pernah menjuarai Liga Indonesia, Harry Salisbury tetap merupakan salah satu legenda yang meninggalkan kenangan manis di pentas sepak bola nasional. Seorang pemain kidal dengan daya magis luar biasa yang selalu membuat Stadion Jatidiri bergemuruh lewat magis kaki kirinya.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.