Kolom

Gustavo Hernan Ortiz: Penguasa Lini Tengah PSIS Semarang

PSIS Semarang baru saja merayakan hari jadinya yang ke-85. Berbicara tentang kesebelasan asal ibu kota Jawa Tengah ini, kita tidak bisa melupakan salah satu sosok sentral yang berkuasa di lini tengah mereka kala menjadi runner-up Liga Indonesia 2006.

Rambut gondrongnya diikat rapi ke belakang. Larinya tidak kencang tapi ia gesit melewati lawan. Ia seringkali membuat keajaiban dengan umpan terobosannya dan pembawaannya terkesan sebagai pemberi kuasa atas gol yang dicetak timnya. Itu belum termasuk mukjizat yang ia miliki sebagai eksekutor tendangan bebas.

Dia bernama Gustavo Hernan Ortiz. Pemilik nomor punggung 10 di PSIS Semarang dari tahun 2005 hingga 2006.

Umpan-umpan Ortiz mulai menjajah sepak bola Indonesia ketika ia didatangkan oleh Sutiyoso ke Persija Jakarta pada tahun 2004. Pada saat itu, Sutiyoso yang menjabat sebagai Pembina Persija Jakarta sekaligus Gubernur DKI Jakarta, mengutus manajer Persija, IGK Manila, untuk berburu pemain dan pelatih di Argentina.

Hasilnya, sang manajer datang dengan membawa Ortiz beserta penyerang yang kelak menjadi tandem sehatinya, Emanuel De Porras. Tak butuh waktu lama, duo Argentina tersebut langsung nyetel dengan Persija. Namun sayang, meskipun Persija meraih posisi tiga di akhir klasemen Liga Indonesia 2004, Sutiyoso tidak puas dan memutus kontrak para warga Argentina, termasuk pelatih Carlos Maria Garcia Cambon.

Ortiz kemudian melanjutkan kariernya di PSPS Pekanbaru pada putaran pertama Liga Indonesia XI. Di putaran kedua, Ortiz hijrah ke Persita Tangerang.

Tandem sehati De Porras

Semusim setelah berpisah dengan De Porras, Ortiz mengungkapkan keinginannya untuk kembali bermain satu tim dengan eks rekannya di Persija itu. Bak gayung bersambut, manajemen PSIS Semarang mengontrak Ortiz pada Januari 2006. Keinginannya untuk bereuni dengan De Porras pun terwujud.

Dalam penuturan Ortiz, De Porras yang pindah ke PSIS setelah dilepas Persija memang sering menghubunginya dan mendorongnya untuk bergabung dengan PSIS. Reuni tersebut membawa harapan besar pagi pendukung Mahesa Jenar karena dua pemain ini bermain apik kala membela Persija, salah satunya dengan menjuarai turnamen Piala Emas Bang Yos 2004.

Harapan publik Semarang terbukti menjadi kenyataan. Umpan-umpan terukur Ortiz didukung dengan tajamnya De Porras berbuah juara tiga Liga Indonesia 2005, peringkat tiga Piala Emas Bang Yos 2005, dan menjadi finalis setahun setelahnya. Puncaknya, pemain bertinggi 173 sentimeter itu membawa PSIS meraih runner-up Liga Indonesia 2006.

Baca juga: PSIS Semarang: Misi Besar Mahesa Jenar demi Jawa Tengah

Akan tetapi pemberitaan negatif tentang Ortiz merebak usai kegagalan PSIS menjadi kampiun Liga Indonesia 2006. Ortiz bersama De Porras dikabarkan bersikap tidak profesional dengan pulang ke negaranya begitu pertandingan final usai digelar dan baru akan kembali ketika kompetisi tahun 2007 dimulai. Padahal kontrak mereka baru berakhir pada Desember 2006. Yoyok Sukawi selaku manajer PSIS pun mengambil tindakan tegas dengan memutus kontrak keduanya.

Sebuah kerugian besar bagi PSIS mengingat Ortiz yang mencetak sepuluh gol di musim kompetisi 2006 merupakan top skor klub bersama De Porras. Posisi Ortiz kemudian digantikan Ebi Sukore, namun prestasi PSIS musim itu menurun tajam. Tanpa kreativitas Ortiz, tim asuhan Bonggo Pribadi hanya mampu finis di peringkat 10 Wilayah Barat dan tersisih di babak kedua penyisihan Copa Indonesia.

Akhir era kekuasaan Ortiz di Indonesia

Ortiz memang ditakdirkan untuk memiliki jiwa pemenang dalam dirinya. Usai diputus kontraknya oleh PSIS, ia bergabung dengan Persisam Putra Samarinda dan turut membawa Elang Khatulistiwa menjadi juara Divisi Utama 2008/2009. Di babak final, gol tunggal Aldo Barreto membuat Persema Malang bertekuk lutut.

Musim selanjutnya, Ortiz tidak bermain di Indonesia. Ia baru kembali pada musim 2010/2011 untuk membela klub Liga Primer Indonesia (LPI), Jakarta 1928 FC, sebelum mengakhiri kariernya di Indonesia bersama Persibo Bojonegoro pada 2011.

Gustavo Hernan Ortiz, meskipun hanya memiliki karier singkat di Indonesia, namun keajaibannya dalam mengatur tempo permainan berhasil membuat publik sepak bola tanah air terkesan. Pemain kelahiran Buenos Aires ini tak diragukan lagi merupakan salah satu gelandang asing terbaik yang pernah bermain di Liga Indonesia.

Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.