Diskusi mengenai kurangnya prestasi tim nasional Inggris di kancah internasional memang menjadi diskusi yang menarik karena berbagai teori konspirasi yang menyelimutinya. Dari tidak adanya jeda musim dingin, klub-klub Inggris sudah tak lagi memproduksi pemain lokal, sampai ke masalah psikologi karena kegagalan mereka di masa lampau. Beberapa di antara alasan tersebut bisa dibilang cukup rasional dengan beberapa argumen valid yang dapat mendukung teori itu.
Teori yang paling menarik datang dari para pemainnya sendiri. Beberapa hari yang lalu, Jermain Defoe mengungkapkan bahwa saking bosannya dia saat berada di tempat peristirahatan tim, pemain yang saat ini bermain untuk Bornemouth itu menonton DVD pernikahan Wayne Rooney bersama sang empunya acara. Tentu muncul sebuah tanda tanya ketika dirimu merasa sangat bosan di ajang terbesar sepak bola ini. Apakah alasan motivasi yang menyebabkan kegagalan mereka?
Namun ternyata, ada satu pemain lagi yang memiliki pandangan lain mengenai kegagalan timnya di kancah internasional. Salah satu mantan beknya, Rio Ferdinand, tahun lalu mengklain bahwa timnya kurang memiliki hubungan persahabatan yang baik dengan satu sama lain.
“Di suatu tahun, kami harus bersaing dengan Liverpool untuk memperebutkan gelar juara liga, di tahun lainnya kami harus bersaing dengan Chelsea. Alasan itu membuat saya tidak pernah terbuka kepada Frank Lampard, Ashley Cole, John Terry, atau Joe Cole yang bermain untuk Chelsea, ataupun Stevan Gerrad dan Jamie Carragher yang berseragam Liverpool,” kata Rio seperti dikutip dari TalkSport.
“Saya tidak terbuka karena takut mereka akan mengambil sesuatu dari saya dan menggunakannya saat kembali ke klub masing-masing, untuk membuat mereka menjadi lebih baik. Saya tidak ingin bergumul dengan mereka. Namun saya tidak sadar sikap tersebut melukai Inggris saat itu. Saai itu, saya terlalu berobsesi untuk menang bersama Manchester United, itu saja,” sambungnya.
Berbeda dengan teori-teori yang ada sebelumnya, kalian tentu bisa melihat sebuah realita yang benar-benar terjadi. Dengan berkembangnya sepak bola di dunia dan juga uang yang mengitarinya, klub-klub Eropa tentu semakin didesak untuk memenangkan gelar juara, mendominasi liga, dan mengalahkan rival-rival mereka. Contohnya bisa kita lihat di Spanyol. Sejarah antara Spanyol dan Catalonia ikut turun ke dalam pertandingan. Begitu juga dengan El Clasico yang semakin penting bagi para penggemar dan juga para pemainnya sendiri.
Jika kalian sering menonton saluran YouTube terkenal seperti Arsenal Fan TV, kalian bisa melihat betapa tidak sukanya beberapa penggemar terhadap ajang internasional dan bagaimana mereka tidak terlalu peduli terhadap timnas Inggris.
Bagi beberapa orang, sebuah institusi yang mewakili komunitas mereka lebih berperan penting terhadap kehidupan mereka dibanding dengan sebuah institusi yang mewakili mereka secara keseluruhan. Hal ini nampaknya juga berlaku kepada pemain yang selalu diingatkan bahwa sepak bola sekarang adalah bisnis dan mereka mewakili identitas yang dipegang para penggemarnya. Inggris masih belum memiliki prinsip seperti Jerman yang menggunakan prinsip Mannshaft, atau prinsip identitas negara secara keseluruhan.
Meski masalah rivalitas tidak hanya terjadi di Inggris saja, kasus mereka ini terbilang lebih unik. Pada bulan November yang lalu, Gerrard pernah berbicara mengenai Philippe Coutinho, yang sangat senang menyambut latihan bersama timnas Brasil selama 10 hari.
“Saya pikir di Inggris hanya ada hubungan saling menghormati dibanding hubungan erat antar-sesama. Coutinho tidak sabar untuk berlatih selama 10 hari dengan timnas Brasil, sesuatu hal yang tidak kalian rasakan dengan timnas Inggris,” tutur mantan pemain Liverpool itu.
Kalian memang tidak bisa menghilangkan rivalitas secara instan ketika para pemain berkompetisi setiap harinya di liga yang sama, berbeda dengan Spanyol, Prancis, Jerman, ataupun Italia yang mengirimkan pemainnya ke berbagai kompetisi di Eropa. Mereka semua paling tidak memenangkan satu Piala Dunia dalam 20 tahun belakangan. Berlatih bersama timnas menjadi kesempatan mereka untuk sementara keluar dari ketatnya persaingan di liga.
Tentunya bukan sebuah hal yang berlebihan jika mengatakan bahwa gaya permainan mereka mencerminkan rekor buruk Inggris di kancah internasional. Ketika Brasil memainkan permainan yang indah yang mengutamakan senang-senang dan juga kemenangan, Inggris hanya memikirkan cara untuk menang. Hal itu membuat mereka tidak boleh melakukan kesalah sekecil apapun. Ini juga bisa menjadi alasan mengapa mereka lemah saat adu penalti.
Kali ini nampaknya ada sedikit harapan untuk Inggris. Selain karena taktik yang diterapkan oleh Garet Southgate, kebangkitan beberapa pemain lokal di Manchester City dan Tottenham Hotspur juga menjadi sebuah harapan. Raheem Sterling pastinya mendapat sebuah ilmu berharga dari Pep Guardiola, sementara itu Dele Alli dan Harry Kane tentunya mendapat pengaruh besar dari gaya kepelatihan Mauricio Pochettino.
Sekelompok pemain muda ini diharapkan mampu membawa perubahan terhadap timnas Inggris. Masalah pemilihan filosofi atau formasi bukan menjadi masalah utama yang harus dihadapi Southgate, tetapi masalah keharmonisan tim, baik di lapangan maupun di ruang ganti, harus diutamakan oleh dirinya.