Musim West Bromwich Albion seakan berjalan seperti mimpi buruk. Sempat tampil mengesankan di awal-awal Liga Primer Inggris musim ini, The Baggies kemudian mesti mendapati kenyataan bahwa mereka mesti berjuang habis-habisan untuk bertahan di Liga Primer Inggris. Sejauh ini West Brom berada dalam tren yang positif dan sosok yang penting di balik hal tersebut adalah manajer pelaksana tugas, Darren Moore.
Sejak menjabat pada 2 April 2018, Moore berhasil membawa Chris Brunt dan kawan-kawan tampil mengesankan. Dalam lima pertandingan, rataan kemenangan West Brom di bawah Moore berada di angka 60%, hasil dari tiga kemenangan dan dua kali bermain imbang. Menjadi spesial karena lawan-lawan yang dihadapi Moore bukanlah tim sembarangan.
Pada pertandingan keduanya sebagai manajer West Brom, Moore berhasil menaklukkan Manchester United di kandangnya sendiri. Di partai selanjutnya, mereka berhasil menahan imbang Liverpool meskipun sudah tertinggal terlebih dahulu. Yang terbaru West Brom yang masih berada di bawah arahan Moore berhasil menang atas Tottenham Hotspur melalui gol di menit akhir yang dicetak oleh Jake Livermore.
Moore jelas melakukan pekerjaan yang sangat bagus di klub yang bermarkas di Stadion The Hawthorns ini. Bahkan seandainya mampu memaksimalkan laga pamungkas melawan Crystal Palace, Moore akan membuat West Brom tetap bertahan di Liga Primer Inggris. Apabila benar-benar terjadi, tentu ini merupakan sebuah fenomena yang luar biasa.
Panutan terkini manajer berkulit hitam di sepak bola Inggris
Darren Moore menjadi fenomena bukan saja karena keajaiban yang ia buat di West Brom. Permainan bertahan terorganisir yang diusung Moore membuat West Brom bisa terus merangkak dalam upaya mereka untuk tetap bertahan di Liga Primer Inggris. Fakta bahwa Moore adalah seseorang berkulit hitam membuat pencapaian ini adalah sesuatu yang menakjubkan.
Inggris boleh mendaku sebagai negara modern yang memiliki tingkat toleransi tinggi. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, hal itu hanya terjadi di tingkat permukaan saja. Memang kita sudah sering melihat para pemain berkulit hitam di sepak bola Inggris, tetapi rasanya soal manajer berkulit hitam adalah sesuatu yang amat jarang ditemui. Pertanda diskriminasi rasial dalam pekerjaan masih benar-benar terjadi di Inggris.
Dalam sejarahnya, memang orang-orang kulit berwarna membutuhkan waktu untuk bisa mendapatkan tempat di sepak bola. Olahraga ini secara modern pertama kali dimainkan di Inggris pada tahun 1863. Tetapi pemain berkulit hitam baru benar-benar diperbolehkan ikut bermain dua dekade kemudian. Tepatnya pria keturunan Ghana, Arthur Wharton, bermain untuk Preston North End pada 1886. Sebelumnya memang ada nama-nama seperti Robert Walker dan Andrew Watson, tetapi Wharton adalah pemain berkulit hitam pertama yang tampil di kompetisi profesional.
Soal manajer pun serupa. Tercatat Liga Primer Inggris baru memiliki manajer kulit hitam pertama mereka pada tahun 2008, yaitu ketika Paul Ince ditunjuk sebagai manajer Blackburn Rovers. Prestasi ini juga melengkapi prestasi lain yang dibuat Ince sebagai pemain berkulit hitam pertama yang menjadi kapten timnas Inggris. Jauh sebelum Ince, sebenarnya ada nama Tony Collins yang menangani Rochdale sekitar tahun 1960-an, bahkan sempat membawa tim asuhannya tersebut ke final Piala Liga. Tapi lagi-lagi karena Rochdale tidak bermain di kompetisi tertinggi, sejarah tersebut kemudian agak diabaikan.
Soal penghargaan pun demikian. Chris Hughton yang merupakan manajer Brighton adalah manajer berkulit hitam pertama yang meraih penghargaan bulanan manajer terbaik Liga Primer Inggris. Penghargaan ini baru diberikan pada tahun 2018 atau tepatnya 26 tahun setelah Liga Primer Inggris pertama kali dimainkan.
Fenomena yang terjadi sejak era Andrew Watson, Tony Collins, hingga kini Darren Moore, menandakan bahwa memang masih ada diskriminasi terhadap mereka-mereka yang memiliki kulit berwarna. Mereka baru benar-benar disorot dan diapresiasi ketika melakukan hal-hal yang luar biasa hebat. Selebihnya, kualitas mereka lebih banyak tertutupi.
Moore menjadi panutan, sebab para manajer, pelatih, dan komunitas kulit hitam di Inggris sana berharap ia bisa menjadi semacam beacon of hope. Pengharapan serupa juga diberikan kepada Hughton yang kini menangani Brighton. Fenomena ini sekali lagi menunjukan bahwa diskriminasi rasial masih terjadi di balik sepak bola Inggris yang terkenal dengan gemerlapnya tersebut.