Cerita

Olympique Marseille dan Rekor Buruk di Final Liga Europa

Lewat perjuangan mahaberat yang menguras energi dan emosi, Olympique Marseille akhirnya sukses melaju ke final Liga Europa 2017/2018 setelah mengandaskan perlawanan FC Salzburg di sepasang partai semifinal via agregat 2-3. Keberhasilan itu sendiri dirayakan oleh para pemain, pelatih, manajemen dan suporter Les Phoceens dengan suka ria. Pasalnya, pencapaian ini adalah yang pertama bagi kesebelasan top Prancis itu dalam sepuluh tahun terakhir.

Para serdadu layaknya Luiz Gustavo, Lucas Ocampos, Dimitri Payet, dan Florian Thauvin sangat pantas beroleh pujian karena performa mereka sunggu eksepsional. Akan tetapi, keberadaan sosok Rudi Garcia di bangku pelatih juga tak boleh diabaikan begitu saja. Berkat sentuhan magisnya, Les Phoceens dapat mengeluarkan potensi terbaiknya pada musim ini.

Sebagai satu-satunya klub Negeri Anggur yang pernah memeluk gelar Liga Champions, Marseille bukan tim sembarangan sehingga dapat dipandang sebelah mata oleh lawan-lawannya. Meremehkan mereka tentu bisa mendatangkan bencana yang akan terus disesali.

“Kami sudah memperlihatkan kekuatan terbaik di laga kedua semifinal. Keberhasilan ini adalah bukti kerja keras dan keinginan kuat kami buat melaju ke partai puncak. Semua elemen yang ada di tubuh Marseille layak beroleh pujian”, papar Garcia seperti dilansir via laman resmi Les Phoceens.

Walau sudah memastikan satu tempatnya di laga puncak, Marseille tetap harus berhati-hati. Selain lawan yang mesti dihadapi adalah klub tangguh bernama Atletico Madrid, kesebelasan yang bermarkas di Stadion Velodrome ini juga memiliki rekor buruk setiap kali mentas di final Liga Europa (dahulu Piala UEFA).

Sepanjang sejarah, Les Phoceens telah dua kali melenggang sampai pertandingan final. Torehan pertama mereka bukukan di Piala UEFA 1998/1999. Sementara yang kedua diukir pada Piala UEFA 2003/2004.

Terhunus oleh Parma

Bermain di Stadion Luzhniki pada 12 Mei 1999, Marseille yang ketika itu diasuh Rolland Courbis serta berisikan nama-nama berkualitas macam Laurent Blanc, Florian Maurice, dan Robert Pires kudu bersua dengan Parma besutan Alberto Malesani yang punya Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, dan Hernan Crespo dalam skuatnya.

Laga itu sendiri diramalkan para pengamat akan berjalan seru lantaran masing-masing kubu memiliki ketangguhannya tersendiri. Terlebih, klub-klub yang dikalahkan Les Phoceens dan I Gialloblu pada fase sebelumnya bukanlah tim kacangan.

Marseille membekap Sigma Olomouc (Republik Ceko), Werder Bremen (Jerman), AS Monaco (Prancis), Celta Vigo (Spanyol), dan Bologna (Italia). Sedangkan Parma berturut-turut membungkam Fenerbahce (Turki), Wisla Krakow (Polandia), Rangers (Skotlandia), Girondins Bordeaux (Prancis), serta Atletico Madrid (Spanyol).

Namun sayangnya, apa yang terjadi di atas lapangan justru tak sesuai dengan ekspektasi. Selama laga tersebut, Les Phoceens malah terlihat inferior di hadapan I Gialloblu. Dominasi Parma sendiri diejawantahkan lewat tiga gol dari Crespo, Paolo Vanoli, dan Enrico Chiesa yang menyayat jala Stephane Porato tanpa bisa dibalas sekalipun. Alhasil, percobaan Marseille untuk beroleh gelar Eropa keduanya sepanjang sejarah klub gagal terealisasi.

Dihajar Valencia

Kesempatan kedua untuk menggapai titel Piala UEFA/Liga Europa datang lagi kepada Marseille pada tanggal 19 Mei 2004. Bertanding di Stadion Ullevi, Les Phoceens mesti berhadapan dengan utusan Spanyol yang dikomandoi Rafael Benitez sebagai pelatih. Mengandalkan nama-nama seperti Fabien Barthez, Didier Drogba, dan Mathieu Flamini, Jose Anigo yang berstatus sebagai entraineur jelas tak ingin mengulangi kesalahan Courbis lima tahun sebelumnya. Pada babak-babak sebelumnya, mereka sukses mengandaskan Dnipro Dnipropetrovsk (Ukraina), Liverpool (Inggris), Internazionale Milano (Italia), dan Newcastle United (Inggris).

Akan tetapi, Valencia yang bermodalkan David Albelda, Ruben Baraja, sampai Vicente Rodriguez dalam skuatnya bukanlah tim semenjana yang dapat diremukkan dengan enteng. Terlebih, nama-nama seperti AIK Solna (Swedia), Maccabi Haifa (Israel), Besiktas (Turki), Genclerbirligi (Turki), Celtic (Skotlandia), dan Villarreal (Spanyol) jadi lawan yang mereka hempaskan sebelumnya.

Benar saja, selama 90 menit pertandingan, Marseille dibuat kerepotan oleh Valencia. Khususnya setelah Les Phoceens bermain dengan sepuluh orang seusai Barthez dihadiahi kartu merah.

Gol dari sepasang penggawa Los Che yaitu Vicente dan Miguel Angel Mista, akhirnya jadi pembeda di laga tersebut. Valencia sukses beroleh gelar Liga Europa/Piala UEFA perdananya sepanjang sejarah sedangkan Marseille harus gigit jari sekali lagi.

Mengacu kepada rapor di atas, klub arahan Garcia kudu bersikap waspada sebelum bertempur di final Liga Europa 2017/2018 nanti mengingat kualitas prima yang dimiliki Los Colchoneros. Sekali saja Marseille salah mengambil langkah, tim racikan Diego Simeone itu bisa melontarkan hukuman tak terduga.

Pada tanggal 16 Mei 2018 serta mengambil tempat di Stadion Parc Olympique Lyonnais di kota Lyon, para penikmat sepak bola dunia akan menjadi saksi bagi perjalanan Les Phoceens di pertandingan paling esensial pada Liga Europa 2017/2018.

Akankah mereka sukses memutuskan rekor buruknya di partai final ajang tersebut atau malah jatuh ke lubang yang sama untuk ketiga kalinya?