Cerita

Relasi Erat dan Panjang antara Buruh dengan Sepak Bola Indonesia

Kedekatan antara dunia sepak bola dengan kaum buruh atau kelas pekerja memang begitu erat. Di Eropa sana, selain olahraga ini memang menjadi hiburan yang begitu berharga bagi kelompok buruh, beberapa klub juga nyatanya memiliki embrio dari para serikat buruh. Para pesepak bola yang tersohor pun pernah mengalami kehidupan sebagai buruh seperti Jamie Vardy, misalnya.

Lalu, bagaimana dengan yang terjadi di Indonesia? Apakah kemesraan antara kaum buruh dan sepak bola terjadi hampir serupa dengan yang terjadi di Eropa?

Sebelumnya, mari sedikit menyamakan pandangan terkait buruh. Secara sempit, makna buruh adalah mereka-mereka yang tidak memiliki modal (kapital) atau alat produksi dan mesti bekerja kepada mereka yang memiliki modal dan alat produksi. Dengan pengertian ini, bisa dilihat bahwa dari masa ke masa, sepak bola Indonesia begitu dekat dengan kaum buruh.

Di masa kolonial Belanda, olahraga sepak bola yang dimainkan oleh para bumiputera sering dianggap sebagai bentuk perlawanan karena ini adalah waktu di mana mereka bisa bertemu dengan para kompeni Belanda selain di medan pertempuran. Cerita terbentuknya klub Persib Bandung pada tahun 1933 sedikit banyak juga terkait fenomena yang sama. Dalam konteks ini para bumiputera adalah kaum buruh yang alat produksi serta modalnya dikuasai oleh pemerintah kolonial Belanda.

Adapula soal kisah yang tidak banyak diketahui. Sepotong cerita yang disebutkan oleh Harry J. Benda dan Ruth McVey dalam buku susunan mereka, The Communist Uprising of 1926-1927 in Indonesia, yang kemudian disadur oleh Zen RS dalam bukunya, Simulakra Sepak Bola, disebutkan bahwa sekitar tahun 1927, berdiri sebuah kesebelasan bernama LONA. Markas mereka berada di Pasar Pariaman, Sumatera Barat. Bisa diasumsikan bahwa LONA merupakan kesebelasan yang berisi para buruh pasar di Pariaman tersebut.

Soal LONA yang kemudian menjadi nama kesebelasan masih menyimpan misteri karena tidak ada penjelesan lebih lanjut terkait nama ini. Meskipun demikian, masih dalam buku Simulakra Sepak Bola karya Zen RS, disebutkan bahwa LONA ini namanya begitu dekat dengan nama kesebelasan Sutan Sjahrir ketika masih bersekolah di Bandung. LUNA yang diperkuat oleh Sjahrir ini merupakan kepanjangan dari Laat U Niet Overwinnen.

Di masa-masa selanjutnya, sepak bola dan kaum buruh begitu terkait, terutama di era Galatama. Klub-klub yang berbasis industri seperti Semen Padang, Petrokimia, atau Pardedetex, tak jarang memakai para pekerja mereka untuk turut bermain, atau yang biasanya terjadi sebaliknya, di mana para pesepak bola yang tampil mengesankan, diganjar pekerjaan di pabrik-pabrik tersebut.

Well, semua boleh berkilah bahwa para pesepak bola tersebut lebih banyak berkerja di bidang office work, tetapi pada akhirnya mereka tetaplah pekerja, yang modal dan alat produksinya dikuasai oleh pihak yang lebih superior.

Terkait buruh yang kemudian menjadi pesepak bola tersohor, jauh sebelum kisah Cinderella Jamie Vardy yang terjadi pada tahun 2013, sepak bola Indonesia sebenarnya sudah pernah ada fenomena yang hampir serupa. Adalah Hariono yang sempat berkerja sebagai buruh gudang sembari masih bermain di divisi bawah, hingga kemudian nasib menuntunnya untuk bermain di tim sebesar Persib Bandung dan berhasil membawa kesebelasan tersebut menjadi juara nasional.

Keterkaitan antara kaum buruh dan sepak bola nyatanya memang begitu erat. Bahkan boleh jadi Indonesia memiliki sesuatu yang berbeda ketimbang negara lain terkait kaum buruh mereka. Liga Pekerja Indonesia yang digelar biasanya jelang atau bertepatan dengan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei oleh Kementerian Ketenagakerjaan adalah kompetisi resmi bagi para buruh di seluruh Indonesia. Bahkan untuk edisi tahun 2018 ini, Menteri Ketenagakerjaan dengan gamblang berharap dari Liga Pekerja akan muncul bibit-bibit pesepak bola yang bisa membuat timnas Indonesia menjadi lebih tangguh lagi.