Analisis

Bedah Semifinalis Liga Champions: AS Roma Bukan Sekadar Romantada

AS Roma, sebuah kesebelasan klasik dari Serie A dengan nilai historis tinggi, berhasil melaju ke semifinal Liga Champions 2017/2018. Hampir tak ada yang memprediksi mereka bisa melaju sejauh ini, tapi I Giallorossi membuktikan, kalau ada kemauan pasti ada jalan.

Keberhasilan melaju ke semifinal ini adalah yang pertama kalinya bagi Roma sejak musim 1983/1984. Di ajang yang masih memakai format lawas dan belum berganti nama jadi Liga Champions itu, Il Lupi dapat mencapai partai puncak, tapi harus merelakan gelar juara melayang ke tangan Liverpool akibat kalah adu penalti.

Setelahnya, kiprah mereka di pentas tertinggi kompetisi antarklub Eropa sangat memprihatinkan. Roma baru beraksi lagi di ajang ini pada musim 2001/2002, dan mentok di babak 16 besar yang saat itu masih dibagi ke empat grup. Di musim berikutnya pencapaian mereka tidak berubah.

Pada awal tahun 2000-an, pencapaian terbaik Roma adalah perempat-final di musim 2006/2007 dan 2007/2008. Uniknya, di dua musim tersebut Roma selalu disingkirkan Manchester United, dengan agregat 3-8 dan 0-3. Roma bahkan sempat tidak lolos di musim 2009/2010, dan berturut-turut dari 2011/2012 sampai 2013/2014.

Begitu juga di tiga musim ke belakang, yang menjadi momen kembalinya Roma ke Liga Champions setelah cukup lama vakum. Roma hanya mentok di penyisihan grup musim 2014/2015, tersisih di 16 besar dari Real Madrid pada 2015/2016, dan musim lalu gagal mentas ke fase grup karena dikalahkan Porto di babak play-off.

Jadi, bisa dibilang musim ini selain menjadi kejutan tersendiri, lolosnya tim asuhan Eusebio Di Francesco ke semifinal adalah pembuktian dari era baru Roma. Tanpa Francesco Totti, bertumpu pada dua pemain buangan Manchester City, dan di bawah kepemimpinan Daniele De Rossi, I Giallorossi siap memburu trofi bergengsi.

 

AS Roma akan menghadapi Qarabag

Bedah taktik

Eusebio Di Francesco menerapkan formasi 4-3-3 sebagai pakem utama dalam mengarungi kompetisi, baik Serie A maupun Liga Champions. Namun, eks pelatih Lecce dan Sassuolo itu tidak hanya terpaku pada skema tersebut. Ia tidak enggan mengganti formasi dan komposisi tim sesuai lawan yang dihadapi.

Ketika menghadapi Barcelona di leg kedua misalnya, Di Francesco memakai formasi 3-5-2, kemudian saat melawan Lazio akhir pekan lalu, Di Francesco berani menerapkan formasi 3-4-2-1 yang baru pertama kali dipakainya musim ini, untuk meredam agresivitas Ciro Immobile dan kolega. Di dua laga tersebut Roma meninggalkan pakem 4-3-3 untuk menyesuaikan situasi dengan lawan yang dihadapinya.

Selain 4-3-3, formasi 4-2-3-1 jadi yang terbanyak kedua dimainkan Di Francesco bersama Roma musim ini. Di formasi tersebut Radja Nainggolan ditempatkan lebih ke depan sebagai gelandang serang, yang diapit dua sayap cepat, bisa Cengiz Ünder, Diego Perotti, atau Stephan El Shaarawy.

Namun apapun formasi yang digunakan, ada dua pemain outfield yang tidak bisa diganggu gugat keberadaannya, yaitu Aleksandar Kolarov dan Edin Džeko, dua mantan pemain Manchester City.

Peran keduanya sangat krusial musim ini. Kolarov dengan sumbangan 3 gol dan 8 asis dari seluruh kompetisi, dan Džeko menjadi mesin gol yang sudah menggetarkan jala lawan 21 kali di semua ajang sampai pertengahan April musim 2017/2018.

Kombinasi keduanya juga menjadi ciri khas permainan Roma, yang memanfaatkan lebar lapangan untuk diakhiri dengan umpan silang atau umpan terobosan. Di lini depan, Džeko yang dipasang sendirian sangat mumpuni untuk memanfaatkan suplai-suplai bola tersebut, baik menggunakan kaki ataupun kepalanya.

Kalaupun skema open-play gagal membuahkan hasil, Roma masih punya rencana cadangan yaitu eksekusi bola mati. Musim ini di Liga Champions dari 15 gol yang dicetak Roma 4 di antaranya dari bola mati, dan di Serie A ada 11 gol bola mati yang dicetak dari total 50 gol hingga giornata 32.

 

Perjalanan ke semifinal

Jalan yang ditempuh Roma menuju ke final tidak enteng. Mereka tergabung di Grup C bersama Atlético Madrid, Chelsea, dan Qarabag. Salah satu grup tricky di Liga Champions musim ini, tapi di sinilah Roma mulai membalikkan prediksi. Dari yang awalnya tidak dijagokan lolos ke fase gugur, justru mengakhiri klasemen di posisi teratas.

Roma bahkan hanya sekali kalah, yakni di kandang Atlético Madrid dengan skor 2-0, dan membuat Chelsea kemasukan 6 gol dari 2 pertemuan, masing-masing dengan skor 3-3 di Stamford Bridge dan 3-0 di Olimpico.

Berlanjut ke babak 16 besar, Roma lagi-lagi mendapat jalan terjal. Menghadapi Shakhtar Donetsk di leg pertama, Alisson Becker dan kolega yang lebih diungulkan justru keok 1-2. Namun, satu gol tandang itu menjadi sangat krusial, dengan kemenangan 1-0 di Olimpico yang meloloskan Roma ke perempat-final.

Di babak 8 besar inilah kemudian heroiknya penampilan Roma muncul. Kalah telak 1-4 di Camp Nou melawan Barcelona, Roma dapat mengejar agregat dan akhirnya lolos berkat keunggulan gol tandang.

Satu gol tandang sekilas tidak ada artinya jika yang didapat adalah kekalahan besar di kandang lawan. Namun justru berkat satu hal kecil itulah AS Roma dapat mencetak sejarah. Menembus semifinal pertamanya dalam 34 tahun terakhir, dan berkesempatan membalas dendam mereka ke Liverpool di final Olimpico 1984.