Cerita

Bedah Semifinalis Liga Champions Eropa 2017/2018: Mimpi Liverpool untuk Trofi Keenam Liga Champions

Penulis yakin, tak banyak dari kalian yang meyakini bahwa Liverpool bisa melaju jauh hingga babak semifinal Liga Champions musim ini. Meskipun tergolong sebagai klub besar dan penuh sejarah di kompetisi ini, Liverpool telah lama tak mampu bersaing, terlebih di masa transisi beberapa tahun belakangan. Namun, bersama Jürgen Klopp, The Reds kini menyimpan asa untuk merengkuh trofi keenam mereka di Liga Champions.

Berbicara tentang sejarah, Liverpool memang merupakan klub Inggris paling sukses di Liga Champions. Terhitung, sudah lima kali mereka mengangkat trofi Si Kuping Lebar, yaitu di tahun 1977, 1978, 1981, 1984, dan tentunya di tahun 2005, ketika mereka berhasil membalikkan keunggulan AC Milan 3-0 di babak pertama.

Meskipun begitu, sejak tahun 2010, mereka baru dua kali menembus fase grup Liga Champions. Masa transisi tentunya menjadi alasan pertama, mengingat mulai menuanya andalan klub seperti Steven Gerrard serta Jamie Carragher, serta dibajaknya pemain-peman bintang seperti Xabi Alonso, Fernando Torres, hingga Luis Suarez. Kemunduran Liverpool di Liga Champions juga menandai redupnya performa klub-klub Inggris selama delapan tahun terakhir, dengan tak adanya klub Inggris yang mampu menembus final selain Chelsea di tahun 2012, ketika mereka menjadi juara.

Khusus untuk Klopp, ia tentunya menyimpan ambisi untuk sukses di kompetisi antarklub terbaik di Eropa ini setelah sempat lolos ke final bersama Borussia Dortmund, namun kandas di tangan Bayern München di tahun 2013 lalu. Laga semifinal nanti juga akan berlangsung spesial bagi Mohamed Salah, bintang baru Liverpool. Penyerang sayap asal Mesir ini akan menghadapi eks klubnya di musim lalu, AS Roma.’

 

kekesalan Klopp

Bedah taktik

Klopp mengadaptasi skema 4-3-3 untuk tim asuhannya saat ini. Boleh dibilang, Liverpool asuhannya memainkan salah satu sepak bola paling atraktif di Eropa. Berbekal kecepatan elektrik yang dimiliki Salah di sisi kanan, dan Sadio Mane di sisi kiri,  dihubungkan oleh Roberto Firmino yang berperan sebagai penyerang all-rounder, The Reds mengandalkan serangan balik nan cepat. Memiliki trisula yang begitu mengerikan di lini depan, tak heran Liverpool seringkali mengakhiri laga dengan gol yang banyak.

Meskipun begitu, tentunya mereka memiliki masalah yang perlu diperhatikan. Masalah tersebut adalah lini belakang mereka yang terbilang meragukan. Di fase grup, meski tergabung dengan klub medioker seperti Maribor dan Spartak Moskow, Liverpool kebobolan enam gol dari enam laga yang mereka jalani. Namun, masalah ini sepertinya sudah mampu diatasi oleh Klopp.

Masuknya Virgil van Dijk serta membaiknya penampilan sang kiper utama, Loris Karius, menjadikan mereka sebagai tim yang solid ketika bertahan. Di babak 16 besar serta perempat-final menghadapi FC Porto dan Manchester City, Liverpool hanya kebobolan satu gol.

Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Liverpool mengandalkan serangan balik yang cepat. Masalahnya, Roma yang menjadi lawan mereka di semifinal adalah klub yang menjadi musuh natural bagi mereka. Giallorossi adalah klub yang terhitung adaptif dan sulit ditebak, tak seperti City.

Eusebio Di Francesco mampu meracik taktik yang sesuai dengan musuh yang dihadapi, mulai dari skema empat bek seperti biasa, atau dengan tiga bek kala mengalahkan Barcelona. Tak hanya itu, Roma juga memiliki bek yang kuat dan kiper yang tangguh dalam diri Alisson Becker. Lini tengah Roma yang diisi oleh pemain dengan kemampuan defensif tinggi seperti Daniele De Rossi dan Radja Nainggolan juga tampak mampu menahan eksplosivitas Salah dan kolega.

 

ujian sebenarnya bagi Liverpool

Perjalanan ke semifinal

Pada dasarnya, hingga fase 16 besar, Liverpool tak menemui ujian yang berarti. Di fase grup, seperti yang disebutkan sebelumnya, mereka hanya berhadapan dengan klub semacam Maribor dan Spartak Moskow. Namun, ketika berhadapan dengan lawan yang sepadan dalam diri Sevilla, Liverpool tak sekalipun meraih kemenangan dalam dua pertemuan.

Di babak 16 besar, mereka berhadapan dengan salah satu raksasa Portugal, FC Porto. Meskipun terhitung sebagai klub dengan sejarah baik di Liga Champions, Porto bukanlah tim yang benar-benar sepadan dengan Jordan Henderson dan kolega. Lebih banyak dihuni oleh pemain muda tanpa bintang berpengalaman, terkecuali Iker Casillas, Porto dicukur dengan agregat 5-0.

Namun, prestasi mereka di babak perempat-final kala mengempaskan Manchester City patut diacungi jempol. Dengan skor agregat 5-1, meraih kemenangan di dua pertemuan, prestasi Klopp dan anak asuhannya tentu menjadi bukti bahwa mereka tak bisa dianggap remeh. Meskipun begitu, patut dicatat juga bahwa rekor Liverpool menghadapi City di Liga Primer Inggris musim ini juga baik. Apabila Mane tak mendapat kartu merah di pertemuan pertama, besar kemungkinan mereka tak kalah dengan skor mencolok.

Berbekal skuat yang mumpuni dan pelatih yang cerdas, mampukah Liverpool melaju ke final dan merengkuh trofi keenam mereka di Liga Champions?