
Sepak bola Italia mendapatkan kembali kehormatannya di kancah Eropa minggu ini ketika AS Roma melakukan comeback luar biasa dan Juventus hampir melakukannya juga 24 jam kemudian. Unggul 3-0, mereka seharusnya layak melanjutkan pertandingan ke babak tambahan dan sangat menyakitkan ketika semua itu harus berakhir lebih cepat karena sebuah penalti di 30 detik menjelang peluit panjang dibunyikan. Sayangnya, insiden penalti itu turut diikuti dengan momen yang tak kalah menyedihkan.
Wajar jika kalian bersimpati melihat Gianluigi Buffon mendapat kartu merah karena memprotes penalti yang masih bisa diperdebatkan itu di laga yang kemungkinan besar menjadi pertandingan terakhirnya di Liga Champions. Dia mungkin akan merenungkan kembali di pagi harinya, tentang apa yang dia perbuat malam sebelumnya dan sadar bahwa apa yang dikatakannya tentang Michael Oliver sudah kelewatan.
Saya merasa membandingkannya dengan kartu merah di pertandingan terakhir Zinedine Zidane di Piala Dunia adalah hal konyol. Mengatakan bahwa wasit seharusnya memakan keripik di bangku penonton adalah hal yang berbeda dari menyundul dada lawanmu. Saya merasa kemurkaan Buffon merupakan puncak perasaan yang sudah dipendam sejak Italia gagal lolos ke Piala Dunia dan akhirnya meledak di malam itu.
Orang-orang pun menggunakan insiden fifty-fifty untuk memenuhi narasi yang mereka inginkan di pelanggaran Medhi Benatia kepada Lucas Vasquez. Apakah itu sudah jelas penalti? Belum tentu, karena dilihat dari sudut yang berbeda, Medhi Benatia terlihat dapat meraih bola dan memantulkannya ke dada Lucas Vazquez. Dari sudut yang lain, dia terlihat menjatuhkan Vasquez untuk mendapatkan bolanya. Apakah hadiah penalti itu merupakan sebuah skandal? Tidak, karena saya pikir itu pelanggaran ketika melihatnya untuk pertama kali.
Presiden Juventus, Andrea Agnelli, menyerukan penggunakan VAR untuk Liga Champion. Namun, melihat reaksi dari penggemar, pengamat, dan juga mantan wasit mengenai insiden itu, tidak akan ada titik temu meski tayangan tersebut diulang seribu kali pun.
Baca juga: “Jika UEFA Tidak Punya Wasit Bagus, Kami Siap Bantu untuk Melatih Wasit Mereka”
Reaksi orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu. Posisi kalian tergantung bagaimana kalian melihat insiden tersebut dan kalian tidak mungkin melawan kubu kalian sendiri. Kalian tidak bisa bilang itu jelas penalti dan menganggap orang lain yang berkata sebaliknya menjadi penganut berat Juventus, serta menelan mentah-mentah konspirasi media yang memihak kepada Bianconeri lebih dari 100 tahun lamanya. Hal ini dianggap sama ketika kalian menganggap orang-orang yang mengatakan itu pelanggaran sebagai haters yang mencoba merusak kesuksesan klub asal Italia tersebut.
Ada sebuah ironi di dua kubu tersebut. Penggemar tim Serie A lainnya tertawa melihat Juventus yang menyebut para wasit merusak keberhasilan klub-klub Italia di Eropa dan marah karena keputusan penalti itu. Mereka tidak sadar bahwa mereka akan melakukan hal yang sama ketika dihadapkan masalah serupa.
Penggemar Juve mengeluh ketika lawannya mencari-cari alasan ketika mereka kalah dan keputusan wasit berpihak pada Juve, namun sekarang para penggemar tersebut melakukan hal yang sama. Real Madrid, dan sebelumnya Barcelona, adalah Juventus di Eropa, klub-klub yang dikira mendapat perlakuan khusus karena mereka tim kuat.
Memang sangat menyesakkan ketika kalian melakukan comeback lalu usaha kalian hilang begitu saja di 30 detik masa perpanjangan waktu. Wajar jika kalian marah karenanya dan menganggap pertandingan hebat itu tidak seharusnya berakhir demikian, karena ini adalah sepak bola.
Penerjemah: Budy Darmawan