Editorial

Karena Memang Tidak Mudah Menaklukkan Romawi

Sedikit yang percaya AS Roma akan menjungkalkan prediksi khalayak dan memulangkan Barcelona dengan penuh rasa malu dari Olimpico. Dengan bekal kekalahan mencolok 4-1 di Spanyol, optimisme itu nyaris tak nampak, sebelum Edin Dzeko menyambut umpan panjang Daniele De Rossi dan membuka skor di menit ke-6.

Kemenangan Roma terasa gemilang bukan hanya karena ini salah satu comeback termanis yang pernah mereka buat di kompetisi Eropa, namun juga karena Barcelona, adalah tim yang musim lalu menghancurkan Paris Saint-Germain dengan skor 6-1 usai dihajar habis dengan empat gol tanpa balas di laga perdana. Sebagai pemanis tambahan, ini juga kali kedua sepanjang sejarah berdirinya klub berjuluk Il Lupi ini, mereka mampu mentas di semifinal Liga Champions sejak terakhir di musim 1983/1984.

AS Roma memang sangat mewakili semangat dan warisan kuat budaya hingga sejarah panjang Romawi, dibandingkan misal, dengan sang rival sekota, Lazio. Giallorossi (merah-kuning) misalnya, memang cara mengejawantahkan secara paripurna semangat itu, dibandingkan dengan Lazio yang berwarna dominan biru (Biancocelesti), berlogo elang (bukan serigala), dan jauh dari kesan Romawi.

Roma, dengan Capitoline dan Remus-Romulus di logo resmi klubnya, secara aklamasi mendeklarasikan diri bahwa di Kota Abadi, hanya mereka yang mewarisi sejarah hebat bangsa Romawi yang agung, penguasa lembah Palatine dan Aventine, yang kemudian mendominasi Semenanjung Italia dan sebagian besar Eropa.

Sedikit banyak, sejarah itu yang kemudian diulangi dengan sempurna kemarin malam di Olimpico. Begawan sepak bola dari Catalan dengan dipimpin Sang Raja, Lionel Messi, dan jenderal genius, Andres Iniesta, datang tak hanya dengan bekal keunggulan tiga gol, namun juga status sebagai yang belum terkalahkan di Semenanjung Iberia musim ini. Tapi kamu perlu tahu, Romawi, tidak pernah mudah ditaklukkan, bahkan ketika ‘ajal’ menjemput kekaisaran mereka dan membawa mereka ke jurang kehancuran.

Syahdan, di awal sejarah republik Romawi, sekitar abad ketiga Sebelum Masehi, Roma menerima banyak serangan tak hanya dari sekutu di sekitar Italia, namun juga lawan klasik mereka dari Yunani. Ada satu pertempuran, yang kemudian dikenang sebagai salah satu yang paling ikonik, bukan hanya karena kegemilangan taktik perang serdadu Romawi, namun juga karena di perang tersebut, Romawi menunjukkan bahwa bangsa mereka bukan bangsa yang mudah ditaklukkan, walau harus berkali-kali jatuh dan kalah di medan laga.

Komandan perang terbaik Yunani kala itu, Pirrhos dari Epiros, datang membawa titah Raja Yunani untuk merebut wilayah Italia dari bangsa Romawi. Enam tahun lamanya mereka berperang, berkali-kali Romawi dihancurkan dalam pertempuran, namun tak jua mereka tunduk dan menyerah kalah. Di tahun keenam pertempuran, Pirrhos kemudian memaklumatkan kalimat, yang kemudian menjadi fragmen untuk menunjukkan kedigdayaan bangsa Romawi, “Jika sekali lagi kami menang di sini (Roma), kita tetap akan dihancurkan oleh Romawi.”

Enam tahun lamanya, Yunani menyerbu Roma, bahkan sukses membunuh tiga dari lima jenderal perang terbaik Romawi kala itu. Dan sejarah jua yang mengingat, pertempuran dengan banyak pengorbanan tersebut tentu saja dimenangkan Romawi, tak hanya dengan darah dan keringat, namun juga dengan kebanggaan yang secara teguh mereka pegang sebagai suatu bangsa yang tidak akan pernah mudah ditaklukkan. Yunani diusir pergi dari Italia, dan Romawi, seperti yang dicatat sejarah kemudian, melebarkan ekspansinya ke seluruh Eropa hingga Semenanjung Afrika, sebelum menancapkan dominasi terbaik mereka di Konstantinopel (kini Istanbul).

Roma memang terlihat rentan, dan itu diakui sendiri oleh kaisar-kaisar terdahulu mereka sebelum Hadrian membangun tiga lapis tembok yang melindungi Konstantinopel. Juan Jesus, Kostas Manolas, hingga Federico Fazio, bukan tiga bek terbaik dunia yang kepada mereka kamu pasrahkan pertahanan terkuatmu untuk mengadang La Pulga, satu dari sedikit pemain di dunia yang bisa membuat perubahan besar di lapangan hanya dalam hitungan detik.

Skor 4-1 di Camp Nou adalah tanda bahwa AS Roma, seperti Romawi, bukan tak bisa dikalahkan. Tapi dikalahkan dan ditaklukkan adalah dua hal berbeda. Dan di Olimpico, kemarin malam, De Rossi, sang pewaris takhta Re di Roma, memimpin anak buahnya memulangkan orang-orang Iberia ke habitat mereka dengan kepala tertunduk sembari mengagungkan maklumat yang populer itu, Civis Romanus, we are a proud Roman citizen.