Suara Pembaca

Mengapa Harus Ada Psikolog Olahraga dalam Tim Sepak Bola?

Kekalahan Persib Bandung dari Sriwijaya FC (01/04/2018) meninggalkan luka mendalam bagi pendukung setia Persib. Siapa yang tak sedih melihat tim kesayangannya dibantai dengan skor 3-1?

Meski pertandingan bertajuk laga tandang, namun Viking dan Bobotoh juga banyak yang hadir untuk mendukung langsung di Palembang. Mereka menyaksikan secara langsung bagaimana Persib memulai pertandingan dengan meyakinkan, tapi kemudian justru mengakhiri pertandingan dengan menyedihkan.

Berulang kali, Fernando Soler, yang merupakan asisten pelatih Persib mengungkapkan bahwa masalah utama adalah mental. Hal ini pula yang menjadikan konsentrasi pemain Persib hancur di babak kedua hingga tak mampu mengejar ketertinggalan dari Sriwijaya. Konsentrasi para pemain turun drastis.

Baca juga: Fernando Soler dan Kebugaran Fisik Pemain Persib Bandung, Misteri yang Aneh

Lebih spesifik kita akan membahas tentang mental bertanding. Mental bukan hanya tentang konsentrasi, namun juga tentang emosi. Bagaimana para pemain panik menghadapi serangan bertubi-tubi dari lawan, konsentrasi yang menurun seiring menit permainan yang terus berjalan, cemas ketika tim dalam posisi tertinggal, atau ketegangan antar-pemain akibat permainan yang cepat dan cenderung keras.

Richard Butler dalam penelitiannya yang berjudul Sports Psychology in Action, berpendapat bahwa emosi merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan efek pada hasil kompetisi dengan mempengaruhi penampilan atlet, baik ketika latihan maupun bertanding. Meningkatnya stres saat pertandingan akan menyebabkan pemain bereaksi secara negatif, mulai dalam hal fisik maupun psikis, sehingga kemampuan olahraganya menurun. Mereka dapat menjadi tegang yang ditandai dengan denyut nadi meningkat, berkeringat dingin, cemas akan hasil pertandingan, hingga kemudian sulit berkonsentrasi.

Nampaknya, selama ini klub-klub di Indonesia belum memberikan perhatian khusus mengenai pengaturan emosi pemainnya. Pelatih biasanya hanya memberikan pola latihan yang dianggap mampu sekaligus merelaksasi pemain agar tidak jenuh dengan program latihan teknis saja. Contohnya, dengan bermain bola tangan atau mendengarkan musik untuk merelaksasi pemain sesaat sebelum bertanding.

Cara-cara seperti ini memang mudah dilakukan, tapi apakah sudah mengenai sasaran? Benarkah permasalahan mental pemain berasal dari faktor kompetisi saja?

Psikologi memiliki peran untuk membantu atlet melalui penerapan psikologi olahraga. Menurut APA (American Psychological Association), psikolog olahraga bukan hanya berperan dalam peningkatan performa atlet saja, melainkan juga untuk mengatasi tekanan persaingan antar atlet dalam tim, membantu pemulihan atlet pasca cedera, membantu atlet mengikuti latihan sesuai dengan program, serta agar atlet dapat menikmati olahraga.

Berbagai macam peran psikolog olahraga juga termasuk di dalamnya tentang membantu atlet memperbaiki mengatur emosinya, yang nantinya bukan hanya bermanfaat bagi atlet itu sendiri, melainkan juga bagi timnya. Psikolog olahraga juga dapat memberikan pelatihan mental, sehingga ia dapat meningkatkan kinerjanya.

Psikolog olahraga bukan hanya akan membantu pelatih dalam mengatasi masalah mental pemainnya, melainkan juga memberikan analisis dan diagnosa yang tepat tentang apa yang sebenarnya terjadi pada pemain. Mengapa si A mengalami penurunan performa atau mengapa tim harus kalah ditengah jadwal kompetisi yang ketat?

Psikolog olahraga bahkan berhak memberikan rekomendasi pada pelatih apabila ada pemain yang masih dalam masa pemulihan pasca-cedera, namun memaksa ingin tampil bermain. Sama seperti dokter yang memberikan rekomendasi pemain mana saja yang berada dalam kondisi 100% fit dan siap untuk dimainkan.

Mungkin klub-klub Indonesia harus belajar banyak dari Persebaya Surabaya yang sudah melengkapi coaching staff-nya dengan psikolog olahraga. Psikolog bukan hanya membantu pelatih dalam mengatasi masalah mental di lapangan saja, melainkan juga tentang masalah-masalah yang dapat muncul di luar lapangan. Misalnya, perselisihan antar pemain akibat jam bermain yang berbeda, selisih pendapat dengan keputusan pelatih maupun ofisial tim, memaksakan kehendak untuk tampil bermain dalam kondisi meriang, atau attitude yang mungkin dapat merugikan klub.

Jadi, jika biasanya lebih fokus tentang bagaimana cara memperbaiki apa yang sudah terjadi, hadirnya psikolog olahraga dalam tim dapat membantu mengantisipasi munculnya permasalahan mental yang jauh lebih buruk pada pemain. Sedari tim terbentuk pertama kali, psikolog dan pelatih dapat menyusun program team building yang disesuaikan dengan program latihan teknis.

Hingga berjalannya kompetisi pun psikolog masih tetap akan memberikan pendampingan pada pemain, sehingga permasalahan-permasalahan mental seperti yang dialami Persib dapat segera teratasi.

Author: Dianita Iuschinta (@siiemak)
Mahasiswi magister psikologi dan penggemar Juventus