Mungkin tidak banyak Milanisti yang mengingat sosok Ray Wilkins. Ia tidaklah sepopuler David Beckham, sesama mantan pesepak bola Inggris yang pernah memperkuat AC Milan. Sebelum era Beckham, Wilkins-lah yang lebih dulu berkarier di luar negeri dan mengecap kesuksesan. Selama tiga musim memperkuat Rossoneri, Wilkins telah melakukan banyak hal penting. Ketika tulisan ini dibuat, sang pria Inggris sedang koma dan menjalani masa kritis di rumah sakit akibat serangan jantung.
Kisah Wilkins, 61 tahun, di Milan, sebetulnya cukup menarik. Kedatangannya ke kota mode tidak direncanakan, meski kemudian ia dikenang sebagai sosok gelandang yang begitu penting bagi Milan pada kurun waktu 1984-1987.
34 tahun silam, Giuseppe Farina yang saat itu menjadi Presiden Milan begitu gerah dengan kondisi timnya. Sebagai klub yang baru pulih dari skandal judi Totonero, Rossoneri memang masih tertinggal dari Juventus, Roma, Internazionale Milano, atau Napoli yang kala itu begitu dominan di Serie A Italia. Karena itu, Farina mencoba mendatangkan pemain baru untuk mengangkat performa Milan.
Liga Italia saat itu lebih maju ketimbang Liga Inggris. Pada era itu, para maestro seperti Diego Maradona, Michel Platini, dan Zico saling berhadapan dalam satu liga. Belum lagi nama-nama seperti Liam Brady dan Trevor Francis. Farina pun mencoba meniru langkah para rivalnya itu dengan mengincar gelandang paling berbakat asal Inggris yang bermain di Manchester United, Bryan Robson.
Farina sendiri yang kemudian terbang ke Manchester untuk menemui Martin Edward, Presiden Manchester United saat itu. Ketika menyampaikan maksudnya, Edward tidak langsung mengiyakan. Ia bertanya kepada Ron Atkinson yang kala itu menjadi pelatih United. Atkinson pun mencoba mengintervensi transfer dengan menyarankan banderol tinggi tiga juta paun agar Milan mundur. Pada saat itu, tiga juta paun adalah angka yang amat fantastis untuk membeli pemain, dan Farina tidak menyanggupi.
Tetapi, Farina tidak pulang dengan tangan hampa karena Edward menyodorkan satu nama, yaitu Ray Wilkins, yang juga berposisi gelandang seperti Robson. Ditambah lagi, harga Wilkins hanya setengahnya dari Robson. Farina pun setuju untuk membayarnya dengan metode cicilan. Lagipula, Wilkins bukanlah sosok yang terlalu asing karena Farina telah melihat sendiri penampilannya pada Piala Winners 1983 ketika United bertanding melawan Juventus. Wilkins pun mendarat di Milan bersama dengan sesama kompatriotnya, penyerang Mark Hateley yang datang dari Portsmouth.
“Mereka (United) telah mempersiapkan Gordon Strachan untuk menggantikan saya. Karena itu saya pun tidak ragu untuk pindah ke Milan,” kenangnya. “Usia saya saat itu 27 tahun dan telah mengantongi 50 caps bersama tim nasional Inggris, jadi saya merasa tidak akan terlalu banyak bertemu dengan hal baru,” lanjutnya.
Tak disangka, duo Inggris ini membawa perubahan positif bagi Milan. Wilkins, berperan sebagai deep-lying playmaker, mampu menjadi kreator di lini tengah Milan bersama Agostino Di Bartelomei dan pemain muda Alberigo Evani, sementara Hateley dengan permainannya yang agresif memberikan darah di lini depan Milan bersama Pietro Paolo Virdis. Umpan-umpan akurat, kecerdasan taktik, dan visi yang baik dari Wilkins benar-benar memberi perbedaan. “Mereka membawa kualitas dalam tim, semestinya mereka datang lebih cepat,” ujar Franco Baresi, sang kapten kesebelasan.
Masa-masa indah pun tidak selamanya hadir. Kondisi keuangan Milan di bawah Farina tidaklah baik, hingga pada akhir kepemimpinannya meninggalkan begitu banyak utang. Hingga kemudian, datanglah seorang pengusaha media bernama Silvio Berlusconi membeli klub. Lalu sisanya adalah sejarah.
“Presiden Farina adalah orang yang baik, namun memang sulit untuk mengurus sebuah klub sepak bola andai tidak tinggal di kota yang sama. Farina saat itu tinggal di Afrika Selatan. Berlusconi? Andai klub Anda dibeli oleh seorang raja media, maka jelas klub tersebut berada di tangan yang tepat,” demikian komentar Wilkins terkait akuisisi itu.
Wilkins hanya bertahan setahun saja di bawah kepemimpinan Berlusconi dan pelatih Nils Liedholm. Setelah Berlusconi menunjuk Arrigo Sacchi sebagai pelatih, Wilkins pun hengkang. Sacchi lebih memilih sosok Carlo Ancelotti untuk menjadi kreator permainan. Selain itu, ambisi besar Milan membuat mereka lebih memilih untuk mengisi slot pemain asing dengan trio Belanda Ruud Gullit, Marco van Basten, dan kemudian menyusul Frank Rijkaard. Wilkins bersama Hateley pun dipandang sebagai surplus.
Memang cukup disayangkan karena pemain dengan kualitas seperti Wilkins tidak tergabung dalam tim impian Milan yang kemudian gaya permainannya begitu menginspirasi sekaligus memenangkan banyak gelar. Akan tetapi, jasa Wilkins amat besar karena ialah yang menjembatani dua era yang begitu bertolak belakang bagi Milan.
Ia yang berjasa mengangkat Milan dari fase medioker. Total, Wilkins memperkuat Milan dalam 73 laga Serie A dan mencetak dua gol. Ia juga membawa Milan lolos ke Piala UEFA dan final Coppa Italia.
Setelah meninggalkan Milan, Wilkins tidak langsung ke Inggris, melainkan ke Paris Saint-Germain, meski hanya sebentar. “Saya hanya bermain di tim cadangan, di mana pertandingan hanya ditonton oleh satu orang bersama dengan anjingnya,” ujar Wilkins. Selanjutnya, Wilkins kembali ke Inggris dan Skotlandia memperkuat kesebelasan seperti Rangers FC, Hibernian, Queens Park Rangers, lalu mengakhiri karier di Leyton Orient di usia 41 tahun.
Bersama Rangers, ia mengecap kesuksesan dengan merebut sembilan gelar liga secara beruntun. “Pengalaman memperkuat Milan amat berharga. Saya amat berkembang baik secara fisik, terlebih taktik. Karier saya yang berumur panjang menjadi buktinya,” tutup Wilkins.
Selepas gantung sepatu, Wilkins masih tidak bisa terlepas dari sepak bola untuk memulai karier manajerial dan menjadi pengamat sepak bola di stasiun televisi. Ia sempat kembali ke klub tempat pertamanya berkarier, yaitu Chelsea untuk menjadi asisten pelatih Gianluca Vialli. Sosoknya pun dekat dengan The Blues hingga kini, namun yang pasti Rossoneri juga memiliki memori yang berkesan akan sosok Wilkins.
Bertahanlah, Wilkins! Semoga lekas sembuh!
Author: Aditya Nugroho (@aditchenko)