Saya bangun dengan sebuah pesan WhatsApp dari Geraldine Fakhmi. Ia merujuk pada sebuah tautan tentang acara diskusi di kampus. Judulnya menarik, ‘Science meets Soccer’, dan bahasan utamanya adalah: rumput.
Secara spesifik, diskusi berpusat pada pertanyaan “rumput alami atau rumput artifisial?” Dua pembicara di diskusi itu adalah Bernd Leinauer (special professor turfgrass ecology di Wageningen University) dan Ronald Waterreus. Nama terakhir ialah mantan kiper PSV Eindhoven, ‘pada era ketika timnas Belanda masih ada di ranking atas FIFA’, mengutip master of ceremony.
Buat saya, diskusi siang tadi begitu menarik karena kita mengulas hal yang sebenarnya begitu penting di sepak bola tapi kerap dilupakan: rumput. Saya mengingat tesis saya, yang membahas tentang ombak di Mentawai. Keduanya, rumput dan ombak, seringkali dilupakan dalam diskusi tentang sepak bola dan surfing. Orang-orang, atau spesifiknya, kita, lebih tertarik pada praktik (budaya), bukan materiality yang mendasari praktik-praktik itu. Kita lebih suka berdebat kenapa sepak bola dihirup seperti agama dan bagaimana surfing dianggap keren. Rumput dan ombak? Lupakan. Mereka tak lebih dari objek, yang di atasnya manusia bisa bersenang-senang.
Waterreus membuka diskusi dengan kenyataan sederhana. Berdasarkan pengalamannya bermain sepak bola level profesional, ia menegaskan bahwa ‘sepak bola di lapangan alami dan lapangan artifisial adalah dua hal yang berbeda.’ Menurut dia, beberapa elemen yang berbeda adalah kecepatan bola, pantulan bola, dan fatigue (terkait risiko cedera).
Tentu saja, fakta ini sering luput dari amatan. Sebagai penonton bola, saya tak peduli apakah rumput di lapangan alami atau buatan. Sementara itu, di atas lapangan, pemain-pemain ‘berelasi’ dengan rumput secara praktikal dengan kaki-kaki dan tubuh mereka. Ketika saya tak mengerti apa-apa soal rumput, para pemain mengerti sepenuhnya karena mereka ‘berhubungan’ dengan rumput secara langsung.
Di bangku penonton, seorang profesor menjelaskan soal tekel. Di lapangan rumput, sliding tackle umumnya lebih halus dan leluasa. Sedangkan, di lapangan artifisial, tak seleluasa itu. Risiko cedera pun lebih besar, terutama di bagian ankle. Tapi ia mengakui bahwa bahasan tentang rumput alami atau artifisial selalu subjektif. Leinauer mengamini dan mengatakan bahwa bagaimana kita tumbuh memengaruhi persepsi kita tentang rumput.
“Tentu saya lebih suka rumput alami karena saya tumbuh besar bermain bola di atasnya, bukan rumput buatan. Ada elemen emosional dan pribadi di dalamnya,” kata dia. Sebagai profesor plant science, ia juga mengingatkan bahwa rumput artifisial mengandung berton-ton plastik, yang tentu saja non-degradable dan karenanya mengandung masalah dari segi lingkungan, walau bukan berarti rumput alami sepenuhnya tak bermasalah.
Dari segi finansial, rumput adalah bagian dari anggaran klub sepak bola. Konon, salah satu alasan kenapa rumput artifisial kian marak di Belanda adalah efisiensi anggaran. Rumput artifisial, setidaknya dalam jangka pendek, lebih hemat dibanding rumput alami. Kendati keduanya sama-sama perlu maintenance, anggaran untuk rumput artifisial lebih predictable.
Bagi klub-klub kecil dengan anggaran minim, hal ini penting. Itu yang dikatakan Waterreus. “Dengan menghemat anggaran pada rumput artifisial, mereka bisa mendatangkan satu bek kiri atau kiper baru,” ujar mantan kiper yang juga pernah merumput di New York Red Bulls ini.
Terakhir, soal rumput, Waterreus teringat pengalamannya di PSV. Ia bermain di sana ketika Phillips Stadion masih ‘terbuka’ pada empat sikunya. Setelah revonasi pada 2000-an, stadion sepenuhnya tertutup. Waterreus menceritakan bahwa orang-orang luput membahas soal rumput ketika merenovasi stadion.
Akibatnya, karena empat siku stadion tertutup, cahaya dan angin juga terhalang. Dampaknya, kualitas rumput menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Modifikasi lantas dilakukan klub untuk menjaga kualitas rumput. Cerita Waterreus menjadi pengingat bahwa rumput kerap dilupakan. Ia hilang dari bahasan, padahal di atasnya bola bergulir dan para pemain berlarian. Di penutup tesis, saya menulis: “there are many things in life that we often forget, marginalize, overlook, or underestimate – like waves (and grass)– but through them we actually can learn and understand.”
Author: Sarani Pitor Pakan
Mengimani sepak bola, sastra, dan perjalanan. Sedang numpang belajar di Belanda.