Cerita

Michael Carrick, Ia yang Panas di Kening dan (akan) Dingin Dikenang

Gelandang Manchester United, Michael Carrick, resmi memutuskan untuk gantung sepatu di akhir musim kompetisi nanti. Seperti yang dilansir oleh laman resmi klub, pemain berusia 36 tahun tersebut sudah merasa cukup dengan seluruh pencapaian yang berhasil ia raih sepanjang kariernya. Ditambah Carrick juga merasa bahwa kondisi fisiknya sudah tak fit, yang kemudian menjadi faktor utama dan semakin memantapkan keputusannya untuk pensiun.

Kau yang panas di kening, kau yang dingin dikenang,” begitu satu bait yang merupakan potongan puisi di buku Tidak Ada New York Hari Ini karya M. Aan Mansyur. Seperti yang diketahui bahwa puisi ini juga populer karena menjadi bagian dalam film layar lebar, Ada Apa Dengan Cinta 2.

Bait tersebut boleh jadi merupakan yang paling sesuai untuk menggambarkan sosok seorang Michael Carrick. Bagaimana situasi sepanjang 19 tahun karier sepak bola profesionalnya, diiringi dengan panas dan dingin seperti yang muncul dalam karya Aan Mansyur.

Fenomena yang paling jelas terlihat adalah ketika ia memperkuat timnas Inggris. Carrick dianggap begitu sial karena berada satu generasi dengan Frank Lampard dan Steven Gerarrd. Kemampuan hebat Carrick kemudian tertutupi oleh sinar kebintangan dua gelandang legendaris milik Chelsea dan Liverpool itu. Ia bernasib sama dengan nama-nama lain seperti Scott Parker dan Gareth Barry.

Ketika masih bergabung di tim muda West Ham United di awal kariernya, bukan Carrick yang dianggap akan menjadi pemain yang menonjol di masa mendatang. Kala itu banyak pihak lebih memfavoritkan Joe Cole untuk menjadi pemain besar. Padahal saat itu Carrick juga berperan penting ketika tim muda West Ham berhasil menjadi juara di Piala FA usia muda pada tahun 1999.

Setelah kesuksesan tersebut, ketika Carrick naik ke tim utama The Hammers, ia juga kesulitan. Saat itu ada bintang muda lain yang tengah menanjak kariernya, Frank Lampard. Menjadi semakin sulit karena Carrick dan Lampard bermain di sektor yang sama, posisi gelandang tengah. Carrick menjadi pilihan kedua sampai akhirnya Lampard hengkang ke Chelsea pada tahun 2001.

Pada tahun 2003, Carrick kemudian hengkang ke Tottenham Hotspur. Padahal di saat yang sama, pemain yang akrab disapa Carras ini juga mendapatkan tawaran dari tim-tim lain seperti Arsenal, Everton, dan klub yang kemudian ia bela, Manchester United.

Di Tottenham, Carrick lagi-lagi mendapatkan perlakuan yang juga kurang lebih sama dengan yang terjadi di West Ham. Ia bukan sorotan utama, bahkan para penggemar mempertanyakan mengapa klub mendatangkan Carrick sebagai suksesor Gustavo Poyet yang sudah berada di senja kariernya.

Kabarnya kedatangan Carrick sebenanrya lebih sebagai bagian dari ego klub untuk mengalahkan rival sekota, Arsenal, yang juga ikut memburunya, selain untuk menambah kuota pemain lokal Inggris untuk skuat Tottenham saat itu. Karena itulah sebabnya mengapa manajer Tottenham saat itu, Jacques Santini, tidak terlalu memperhatikan Carrick. Nasibnya baru berubah ketika Martin Jol memegang tampuk kekuasaan di tim asal London Utara tersebut.

Kemampuan Carrick kemudian sampai ke pengamatan seorang Sir Alex Ferguson. Tepat setelah United melepas kapten legendaris mereka, Roy Keane, pada musim kompetisi 2005/2006, Sir Alex kemudian mendaratkan Carrick ke Old Trafford. Yang terjadi setelahnya, sudah tercatat dalam sejarah.

Carrick benar-benar membuat panas di kening. Para penggemar United pun harus mengakui bahwa mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengetahui dan menghargai kemampuan hebat seorang Michael Carrick yang bahkan mendapatkan pujian langsung dari seorang maestro seperti Andrea Pirlo dan Xavi Hernandez. Bahkan Pep Guardiola juga menyebut Carrick sebagai salah satu gelandang bertahan terbaik yang pernah ia lihat permainannya secara langsung.

Pihak luar, atau dalam hal ini adalah penggemar tim lain dan publik sepak bola secara global, juga mengalami panas di kening alias keruwetan untuk memahami kualitas seorang Michael Carrick. Selain para penggemar United, tentu pihak lain menganggap Carrick hanya memiliki operan yang bagus, tidak lebih dari itu.

Hal inilah yang kemudian membuat Carrick akan menjadi begitu dingin untuk dikenang. Kemampuan hebatnya agak diabaikan oleh lingkup sepak bola secara luas. Bahkan setelah pensiun nanti, para penggemar United pun sepertinya lebih senang mengingat Roy Keane dengan determinasinya di lapangan, atau visi luar biasa dari seorang Paul Scholes, tetapi seluruh pencapaian dan sumbangsih yang ia berikan kepada klub dalam 12 tahun terakhir tentu akan diingat dengan cara yang juga manis.

Michael Carrick, ia yang membuat panas di kening, dan (akan) dingin dikenang.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia