Di kancah sepak bola Prancis, nama Le Mans jelas tak sementereng Bordeaux, Lyon, Marseille, Monaco, atau bahkan Paris Saint-Germain (PSG). Akan tetapi, kesebelasan yang bermarkas di kawasan barat laut Prancis ini memiliki peran krusial buat karier seorang Didier Drogba.
Bareng klub liliput inilah, figur asal Pantai Gading tersebut mencicipi debut profesionalnya sebagai pesepak bola usai menimba ilmu di sejumlah akademi. Drogba sendiri menghabiskan waktu empat musim memperkuat Le Mans yang saat itu mentas di Ligue 2, kasta kedua dalam piramida sepak bola Prancis.
Pada musim panas 2001, Drogba yang menginginkan tantangan baru dan bertempur di level yang lebih tinggi, menyetujui tawaran klub papan bawah Ligue 1, En Avant Guingamp.
Investasi murah meriah Guingamp saat itu, 80 ribu euro, nyatanya sulit dijawab secara istimewa oleh Drogba pada musim perdananya. Kendati demikian, ia berhasil bangkit dan membuktikan kapasitasnya di musim kedua. Bermain di 39 pertandingan, lelaki setinggi 188 sentimeter ini sanggup membobol gawang lawan sebanyak 21 kali.
Catatan apik tersebut membuat klub raksasa Prancis, Marseille, jatuh cinta. Dana senilai 3,3 juta euro lantas dikeluarkan oleh manajemen Les Phoceens sebagai biaya transfer agar Drogba merapat ke Stadion Velodrome.
Berbeda dengan kisahnya di Guingamp, Drogba yang jauh lebih matang ketimbang sebelum-sebelumnya, langsung cemerlang di musim pertamanya berseragam putih khas Marseille. Bermain di lebih dari 50 partai pada seluruh kompetisi, Drogba sukses menggelontorkan 32 gol.
Kendati gagal membawa Marseille finis di papan atas Ligue 1, Drogba bersama rekan-rekannya semisal Fabien Barthez, Mathieu Flamini, dan Steve Marlet, berhasil membawa klub dari selatan Prancis itu lolos ke final Piala UEFA (kini Liga Europa). Namun nahas, di partai puncak tersebut, Marseille harus mengakui ketangguhan Valencia yang disebut oleh Rafael Benitez.
Aksi-aksi mengagumkan Drogba bareng Les Phoceens, lantas memantik atensi klub-klub Eropa lainnya. Salah satu figur yang terpikat dengan kemampuan Drogba adalah Roman Abramovich, bos anyar Chelsea. Tak main-main, pihak The Blues rela merogoh kocek senilai 24 juta paun guna membajak sang pemain ke London Barat.
Namun seperti yang kita ketahui bersama, kepindahan Drogba ke Chelsea malah mendatangkan sebuah kisah yang luar biasa. Kemampuannya sebagai mesin gol semakin terlihat jelas. Oleh para pembesut The Blues, ia selalu jadi pilihan utama di sektor depan. Entah sebagai lone striker maupun bertandem dengan sosok lainnya.
Berbekal teknik olah bola dan visi bermain hebat, Drogba berevolusi jadi seorang penyerang yang sulit dikawal oleh para pemain belakang. Terlebih, Drogba melengkapi itu dengan tenaga besar, kecepatan, dan keseimbangan tubuh yang luar biasa. Sejumlah bek kelas dunia macam Gerard Pique, Carles Puyol dan Nemanja Vidic bahkan mengakui jika menempel Drogba di sepanjang pertandingan adalah tugas yang amat sukar dilakukan.
Skill lengkap Drogba sebagai predator ganas juga membuatnya lihai dalam mencetak gol di berbagai situasi. Ia jago duel-duel udara, gesit, dan presisi memanfaatkan umpan mendatar serta jempolan buat mengeksekusi bola-bola mati. Hal tersebut menjadikannya teror menakutkan dalam situasi apapun. Jangan pula kaget bila dalam rentang 2004 hingga 2012, Chelsea jadi salah satu klub dengan lini depan paling beringas di Inggris, Eropa bahkan dunia.
Kendati sempat hijrah ke beberapa klub seperti Shanghai Shenhua dan Galatasaray (di mana ia tetap tampil sebagai penyerang tajam), Drogba akhirnya pulang lagi ke Stadion Stamford Bridge di musim 2014/2015.
Secara keseluruhan (dalam dua periode memperkuat Chelea), lelaki kelahiran Abidjan ini tampil di 381 partai pada seluruh ajang dan mengemas 164 gol dan 86 asis. Rekor tersebut membuatnya jadi pencetak gol terbanyak keempat The Blues sepanjang sejarah, di bawah nama-nama seperti Frank Lampard, Bobby Tambling, dan Kerry Dixon.
Cerita mengagumkan Drogba di London Barat juga disempurnakannya lewat jejeran silverwares yang kini mengisi almari trofi Chelsea. Total, ia menyumbang 14 trofi sekaligus, masing-masing berupa empat titel Liga Primer Inggris, Piala FA dan Piala Liga, dua Community Shield plus sebiji gelar Liga Champions.
Selepas berkelana di Benua Biru, Drogba yang semakin gaek memutuskan buat pindah ke Kanada guna memperkuat Montreal Impact yang tampil di Major League Soccer (MLS). Namun per tahun 2017 lalu, ia resmi membela kesebelasan United Soccer League (USL), Phoenix Rising. Tak sekadar bermain karena Drogba juga berstatus sebagai pemilik klub.
Satu-satunya aib dalam karier emas Drogba sebagai pesepak bola barangkali cuma ketidakmampuannya mengantar tim nasional Pantai Gading beroleh titel juara. Padahal, Drogba bersama penggawa lain seperti Emmanuel Eboue, Toure bersaudara, Kolo dan Yaya, dan Didier Zokora dianggap sebagai generasi emas Les Elephants.
Meski sudah pensiun dari ajang internasional per tahun 2014 lalu, Drogba masih tercatat sebagai top skor sepanjang masa Les Elephants dengan koleksi 65 gol dari 104 penampilan sampai detik ini.
Di usianya yang mencapai kepala empat tepat di hari ini, Drogba mungkin tinggal menunggu waktu buat mengumumkan diri pensiun sebagai pesepak bola profesional. Walau demikian, namanya pasti bakal abadi sebagai juru gedor kelas dunia yang efektif dan klinis. Bukan hanya oleh suporter Chelsea, tapi juga mereka yang mencintai sepak bola.
Many happy returns, Didier.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional