Tribe Ultah

Samuel Eto’o, Mesin Gol Legendaris dari Benua Hitam

Miskin, terbelakang, dan beraneka predikat negatif seringkali dicatut sebagai representasi bangsa Afrika yang mayoritas berkulit legam. Cap-cap semacam itu membuat penduduk benua hitam senantiasa dipandang sebelah mata oleh mereka yang gemar bertindak rasis.

Tak ingin dianggap seperti itu terus menerus, bangsa Afrika pun berjuang hingga titik darah penghabisan buat membuktikan diri bahwa mereka sama hebatnya dengan manusia lainnya. Salah satu alat yang dipergunakan untuk itu adalah sepak bola.

Terletak di kawasan tengah Afrika, Kamerun adalah negara yang mahsyur akan kehebatan sepak bolanya. Segudang prestasi membanggakan berhasil mereka ukir di banyak turnamen kelas wahid seperti Piala Afrika, Piala Dunia, dan Piala Konfederasi.

Lebih jauh, Kamerun juga ahli menelurkan pesepak bola dengan skill mumpuni. Satu nama yang pastinya mustahil lekang dari pikiran para pencinta sepak bola tentulah Samuel Eto’o Fils.

Menimba ilmu sepak bola dari Kadji Sports Academy di tanah kelahirannya, potensi Eto’o belia menarik atensi pemandu bakat klub raksasa asal Spanyol, Real Madrid.

Berbeda dengan perjalanan Roger Milla, legenda sepak bola Kamerun, yang lama berpetualang di Prancis, Eto’o justru awet bermain di Spanyol meski kesulitan menembus tim utama Madrid.

Alasannya simpel saja, di akhir 1990-an dan awal era 2000-an, Los Blancos dipenuhi para penyerang kelas dunia dengan kemampuan eksepsional. Misalnya saja Nicolas Anelka, Predrag Mijatovic, Fernando Morientes, Raul Gonzalez, dan Davor Suker.

Kondisi itu membuat manajemen Madrid lebih sering meminjamkan Eto’o ke klub-klub lain di Negeri Matador selayaknya Leganes, Espanyol, dan Real Mallorca.

Pada tim yang disebut belakangan, nama Eto’o akhirnya melambung lantaran sanggup bertransformasi jadi mesin gol nan hebat. Berkat performa itu, Mallorca sepakat untuk menebus Eto’o dari Madrid di bursa transfer musim panas 2000 silam.

Ketajaman dan konsistensi Eto’o dalam urusan mencetak gol bikin sosoknya diintai oleh klub-klub papan atas Eropa. Terlebih, ia mampu membawa Los Barralets menggondol Piala Raja Spanyol di musim 2002/2003.

Uniknya, kesebelasan yang mendambakan Eto’o dan siap membajaknya dari Stadion Son Moix adalah rival bebuyutan Madrid di La Liga, Barcelona. Usai melakukan proses negosiasi yang cukup panjang, Eto’o berhasil didaratkan ke Stadion Camp Nou jelang bergulirnya musim kompetisi 2004/2005 via mahar senilai 24 juta euro.

Seperti yang sama-sama kita ketahui, Eto’o pun sanggup meraih banyak silverwares kala berseragam El Barca. Dalam kurun lima musim, pria kelahiran Douala ini mengecup delapan gelar juara yakni tiga titel La Liga, satu Piala Raja Spanyol serta masing-masing dua Piala Super Spanyol, dan Liga Champions.

Prestasi itu sendiri disempurnakan Eto’o dengan gelontoran gol yang seolah tak ada habisnya. Berdasarkan data Transfermarkt, Eto’o yang turun di 198 partai pada seluruh ajang mampu mengepulkan 130 gol. Bila dirata-ratakan, rasio gol Eto’o menembus angka 0,65 per pertandingan. Sungguh brilian!

Namun di musim panas 2009, sebuah berita menggegerkan hadir darinya. Manajemen Barcelona secara mengejutkan bersepakat dengan pihak Internazionale Milano guna membereskan proses ‘tukar guling’ yang melibatkan dirinya dan Zlatan Ibrahimovic.

Pindah ke Italia nyatanya bukan akhir cerita dari figur sekelas Eto’o. Bareng I Nerazzurri yang ketika itu jadi kekuatan utama Serie A, sosok setinggi 180 sentimeter ini juga bergelimang kesuksesan. Pasalnya, ada enam trofi juara yang berhasil dikantonginya selama berkostum biru-hitam.

Walau dirinya semakin dicintai tifosi Inter, masa bakti Eto’o di Stadion Giuseppe Meazza tidak berlangsung lama, cuma dua musim, sebelum akhirnya hijrah ke klub Rusia, Anzhi Makhachkala, di tahun 2011.

Konon, alasan Eto’o mau berkelana ke Eropa Timur adalah tawaran upah dari Anzhi yang menembus 20 juta euro per musim. Fulus dalam jumlah gemuk itu membuatnya secara resmi jadi pemain dengan bayaran tertinggi di kolong langit pada kancah sepak bola.

Namun sedikit tragis bagi sang juru gedor hebat, peristiwa itu jadi momen awal redupnya karier Eto’o. Bersama Anzhi, sosok pengoleksi 118 caps dan 56 gol serta sepasang titel Piala Afrika bersama tim nasional Kamerun tersebut kesusahan buat mengembalikan kapasitasnya sebagai salah satu penyerang terbaik dunia.

Ia menjelma bak seorang nomaden yang terus berpindah-pindah klub, mulai dari Chelsea, Everton, Sampdoria, Antalyaspor, sampai kini merumput bareng Konyaspor di Liga Super Turki. Kendati begitu, tak ada prestasi mengilap yang sukses ia bukukan dengan nama-nama di atas. Mujur bagi Eto’o, hal itu tidak membuat pandangan para penikmat sepak bola perihal aksi-aksi hebatnya luntur begitu mudah.

Apa yang sudah diperbuat Eto’o sampai hari ini adalah bukti riil mengenai usaha kerasnya mengubah stigma negatif yang kerap dialamatkan kepada orang-orang asal benua hitam. Apalagi selama ia berkarier sebagai pesepak bola profesional, pria yang hari ini tepat berusia 37 tahun itu sering jadi sasaran rasisme. Namun untuk bangsa Afrika, Eto’o merupakan bintang, panutan sekaligus pahlawan.

Bon anniversaire, Eto’o!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional