Kolom

Juan Roman Riquelme, seperti Memegang Satu Remote untuk Menonton Banyak Acara di Televisi

Juan Roman Riquelme, ia pernah ada, masih ada, dan akan selalu ada. Sulit menepikan pesona Riquelme walau ia sudah resmi menepikan diri dari lapangan hijau sejak 25 Januari 2015. Memori tentangnya tidak pernah menyoal soal kesedihan atau rasa kecewa, melainkan selalu penuh puja-puji, romansa, dan cerita-cerita puitik yang menyenangkan.

Banyak cara melihat bagaimana Riquelme bermain, salah satunya, seperti yang saya tahu, melihatnya sebagai remote televisi di mana dengan satu benda kecil saja, kamu bisa mengendalikan apa saja kesenangan yang ingin kamu tonton. Dari kaki-kaki lentik Riquelme, Anda akan menemukan romantisme, kemalasan yang berbalut sisi genius, dan sisi estetis sepak bola di Amerika Latin.

Amerika Latin selalu penuh romansa. Ia memang selalu bergeliat, benua yang pernah mengalami penaklukan, kolonialisme, perjuangan kemerdekaan, hingga perjuangan kelas di strata sosial-ekonomi, tapi, di Amerika Latin pula, mereka menyimpan keindahan. Sepak bola, yang menawarkan itu semua, dan di kaki-kaki Enzo Francescoli, Pele, Garrincha, Zico, hingga Diego Maradona, Ronaldinho, dan kini Lionel Messi, terselip satu nama itu: Juan Roman Riquelme.

Sang ibu, wanita yang paling ia cintai, memberinya nama  tengah ‘Roman’, karena ia tahu, si anak akan membawa sisi romantisme di keluarganya, juga di sesuatu yang kemudian menjadi jalan hidupnya: sepak bola. Riquelme adalah tempat saya menemukan sebagian dari diri saya yang menolak perkembangan zaman, di tengah era yang menderu dan terasa bergegas tanpa sempat menghela napas. Riquelme pula tempat saya menemukan bahwa La Pausa bukan sekadar ‘taktik’ di sepak bola, namun juga menyumbang filosofi untuk hidup.

Di zaman milenial yang kini bergerak cepat dengan teknologi dan internet berkecepatan masif, Anda perlu meresapi nilai La Pausa untuk diam sejenak, meresapi apa yang ada di sekitar hidup Anda, untuk kembali merasakan hidup yang tak bergegas, hidup yang bahagia, hidup yang tak perlu berlari kencang untuk mencapai tujuan penting.

Di sana, Riquelme berada. Bersama Ricardo Bochini, Riquelme adalah dua sosok yang meminjam pemahaman Juanma Lillo, salah satu guru kesayangan Pep Guardiola, sebagai raja dari La Pausa. Dua master La Pausa yang kebetulan, sama-sama orang Argentina.

Jorge Valdano pernah menggambarkan dengan jelas bagaimana cara menikmati Riquelme bermain. Ia bisa saja mengajakmu ke satu tujuan dengan cara yang cepat melalui jalan tol, tapi dengan Riquelme, kamu akan melalui jalan berliku, penuh kelokan, namun di dalamnya, kamu akan melihat pemandangan terindah yang pernah kamu lihat di hidupmu.

Ya, Riquelme tidak pernah tentang keburukan dan cerita sedih, walau kariernya di Eropa tak bisa dibilang sukses. Semua cerita tentangnya selalu wangi, semerbak harumnya terasa bahkan hingga kini ketika ia (mungkin) tengah menikmati teh hangat di teras rumahnya bersama sang ibunda tercinta, yang pernah ia katakan beberapa tahun lalu: “Aku tidak akan ada di sepak bola (lagi) ketika pensiun. Aku akan akan di rumah, menyeduh teh dan menikmatinya dengan ibuku.”

Author: Isidorus Rio Turangga (@temannyagreg)
Tukang masak dan bisa sedikit baca tulis