Teknik olah bola mumpuni dan visi bermain yang luar biasa merupakan atribut yang identik dengan sosok Ariel Ortega. Hal itu pulalah yang membuatnya naik daun sebagai gelandang serang top kepunyaan Argentina di era 1990-an.
Mengawali karier profesional bersama salah satu kesebelasan raksasa di Negeri Tango, River Plate, Ortega berhasil membuktikan kepada khalayak jika kemampuannya memang patut diperhitungkan, termasuk oleh para juru taktik tim nasional Argentina.
Bareng River, Ortega yang aksi-aksinya di atas lapangan begitu memikat mata, sukses mencaplok sejumlah trofi. Mulai dari empat gelar Apertura (1991, 1993, 1994 dan 1996) dan satu titel Copa Libertadores (1996).
Berkat pencapaian-pencapaian itu, nama Ortega semakin santer diisukan bakal mengadu nasib di Eropa guna mencicipi level permainan yang lebih tinggi sekaligus mematri namanya sebagai salah satu pesepak bola terbaik di kolong langit.
Klub asal Spanyol, Valencia, menjadi pelabuhan pertama Ortega di Benua Biru. Ia bergabung di paruh kedua musim 1996/1997. Kendati cuma merumput di 12 laga La Liga, Ortega dinilai tampil bagus karena sukses mengemas 7 gol.
Akan tetapi, kehadiran Claudio Ranieri sebagai entrenador Valencia yang baru di musim 1997/1998, membuat nasib Ortega jadi tak menentu. Ia tak lagi jadi pilihan utama dan berlaga di 20 partai La Liga saja. Gerah dengan situasi tersebut, pria yang memiliki julukan El Burrito alias Si Keledai Kecil ini pun minta dilego.
Lewat biaya senilai 23 miliar lira, Ortega pun dijual oleh Valencia ke klub yang mentas di Serie A, Sampdoria, jelang musim 1998/1999. Mengingat skill dan kualitas apik yang ia punyai, wajar bila I Blucerchiati memiliki harapan besar dengan kehadiran Ortega di Stadion Luigi Ferraris.
Tapi nahas, Ortega gagal memenuhi ekspektasi yang ia emban dengan sempurna. Performanya terbilang inkonsisten walau selalu jadi penggawa inti. Perjalanan buruk Sampdoria di musim itu berakibat dengan pemecatan Luciano Spalletti dari bangku pelatih pada bulan Desember.
Ironisnya, David Platt dan Giorgio Veneri yang menjadi pengganti juga tak mampu berbuat banyak sehingga I Blucerchiati finis di posisi 16 klasemen akhir dan terdegradasi ke Serie B.
Sadar bahwa kondisi finansial Sampdoria makin buruk karena terdegradasi, pihak manajemen lantas menjual Ortega demi memperoleh suntikan dana. Mujur bagi mereka karena tim yang sedang menanjak, Parma, rela merogoh kocek sebesar 28 miliar lira buat membawa Ortega ke Stadion Ennio Tardini.
Oleh manajemen I Gialloblu, Ortega diproyeksikan sebagai pengganti Juan Sebastian Veron yang dicomot oleh Lazio. Namun sekali lagi, pria kelahiran Ledesma ini tak sanggup memperlihatkan potensi luar biasa yang ada pada dirinya. Alberto Malesani yang nongkrong sebagai pelatih Parma saat itu cuma menurunkannya di 27 pertandingan pada seluruh kompetisi.
Merasa kariernya tak berkembang selama di Spanyol dan Italia, Ortega pun memilih mudik ke River pada tahun 2000 dengan biaya 12 miliar lira sebagai kompensasi atas pembelian Hernan Crespo yang belum dibayarkan oleh Parma.
Ajaib, El Burrito bisa mengembalikan performa kerennya yang sempat lenyap bareng River. Hanya dalam tempo dua musim, Ortega bermain di lebih dari 50 laga. Tak hanya itu, River juga dibawanya meraih titel Clausura 2002.
Seakan tidak kapok, keberhasilan Ortega bersama River ketika itu membuatnya kembali lagi ke Eropa. Pinangan sebesar 7,5 juta dolar dan kontrak berdurasi empat musim dari tim asal Turki, Fenerbahce, ia sepakati.
Sempat mempertontonkan aksi-aksi menawan, ia justru membawa cukup banyak masalah untuk Fenerbahce. Salah satunya tentu keengganan Ortega untuk kembali ke Turki usai membela timnas Argentina di sebuah laga persahabatan melawan Belanda pada 12 Februari 2003.
Alhasil, pihak Fenerbahce pun memperkarakan Ortega ke Badan Arbitrasi Olahraga Internasional (CAS) karena dianggap mangkir terhadap kontrak yang ia setujui dengan raksasa Turki itu. Usai dinyatakan bersalah, Ortega menerima hukuman larangan bermain selama 19 bulan di level apapun.
Pasca-sanksi itu ditunaikan, Ortega akhirnya mudik ke Argentina dan menetap di sana sampai pensiun. Ia membela Newell’s Old Boys, River, Independiente Rivadavia, All Boys serta Defensores de Belgrano dan memperoleh gelar Apertura 2004 (bareng Newell’s) dan Clausura 2008 (di River).
Pemilik 87 caps dan 16 gol bareng La Albiceleste ini memang punya skill yang luar biasa menawan sehingga dinilai lebih oleh para pengamat, bahkan dianggap sebagai pewaris ideal nomor punggung 10 di timnas Argentina. Sayangnya, ia gagal memenuhi segala ekspektasi dan membuat kilaunya tak sempurna semasa merumput di Eropa.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional