Dunia Amerika Latin

Lika-liku Perjalanan Karier Enzo Francescoli

Bila menyebut cabang olahraga sepak bola, yang terbersit di benak kids jaman now pastilah Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo. Suka tidak suka, kepopuleran dan segenap prestasi yang mereka catatkan bareng klubnya masing-masing telah membuat pandangan semacam itu merasuk di dalam relung jiwa.

Namun selayaknya zaman yang terus berjalan seiring waktu, sekurangnya tiga dekade lalu, muncul juga seorang pemain yang kemampuannya diakui sebagai salah satu yang terbaik di planet Bumi. Dialah gelandang serang berpaspor Uruguay yang semasa bermain identik dengan rambut gondrong, Enzo Francescoli.

Mengawali karier sepak bola profesional bersama Wanderers, sebuah klub kecil di tanah kelahirannya, Francescoli sudah memperlihatkan kepada khalayak luas bahwa kemampuannya tergolong spesial untuk ukuran seorang pemain belia.

Keadaan itu pula yang lantas membuat salah satu tim raksasa di Liga Argentina, River Plate, menciduknya ke Buenos Aires di tahun 1983. Keputusan yang dibuat oleh manajemen La Banda ternyata bukan sebuah kesalahan.

Bareng klub yang bermukim di Stadion Monumental tersebut, Francescoli menyihir publik sepak bola Argentina dan dunia dengan kemampuan hebatnya mengolah si kulit bundar. Sebagai gelandang serang yang aksi-aksinya begitu elegan di atas rumput hijau, Francescoli membantu River Plate memenangi titel Liga Argentina di musim 1985/1986.

Selama tiga musim membela panji La Banda, Francescoli pun sanggup berlaga di lebih dari 100 partai dan membukukan cukup banyak gol. River Plate adalah Francescoli dan Francescoli adalah River Plate menjadi salah satu jargon yang begitu mashyur ketika itu.

Performa brilian yang disuguhkan Francescoli pada akhirnya menarik atensi klub-klub sepak bola di Benua Biru. Dan kesebelasan asal Prancis, Racing Club Paris, menjadi pihak yang mujur karena bisa mendapatkan tandatangan Francescoli jelang bergulirnya musim kompetisi 1986/1987.

Tragisnya, walau selalu menjadi andalan RC Paris, Francescoli tak mampu menghadiahkan trofi apapun bagi klub yang sekarang mentas di Championnat National 3 alias setara divisi lima dalam piramida sepak bola di Negeri Anggur tersebut.

Namun, kualitas ciamik yang dimiliki Francescoli tetap membuat sejumlah tim menaruh minat terhadapnya. Salah satu tim papan atas di Liga Prancis yang begitu digdaya pada akhir 1980-an, Olympique Marseille, menjadi pelabuhan anyar pemain dengan julukan El Principe tersebut pada musim 1989/1990.

Ciamiknya, sosok Francescoli pun menjadi pilar utama dalam skuat Marseille ketika itu. Berkat kualitas mumpuni yang ada di tubuh mereka, gelar juara liga pun berhasil digenggam erat pada pengujung musim.

Sedikit trivia, momen Francescoli membela Marseille ini pula yang membuat sosok maestro sepak bola di pengujung 1990-an hingga pertengahan 2000-an asal Prancis, Zinedine Zidane, mengidolainya. Zidane bahkan sampai memberi semacam tribute dengan menamai salah seorang putranya menggunakan nama Enzo yang berasal dari nama depan Francescoli.

Sayangnya, karier Francescoli bareng L’OM berlangsung amat singkat, satu musim saja. Konon, keputusan Francescoli cepat-cepat meninggalkan Prancis adalah godaan yang amat santer dari klub Liga Italia, Cagliari. Kebetulan, di era 1990-an, Serie A memang jadi kiblat persepak bolaan duni. Benar saja, usai pagelaran Piala Dunia di tahun tersebut, Francescoli secara resmi pindah dari Marseille ke Cagliari.

Namun nahas buat El Principe, penampilan menawan yang sempat disuguhkannya kala bertempur di Prancis justru kacau balau selama berlaga di Italia. Performa yang diperlihatkannya bareng Gli Isolani pun jauh dari kata maksimal dan malah tampak seperti pemain medioker.

Kala memutuskan pindah ke tim lain di Negeri Spaghetti, Torino, penampilan Francescoli juga terbilang biasa-biasa saja. Sentuhan magis yang biasa ia lakukan seakan hilang tanpa jejak dan membuatnya jadi bahan caci maki.

Serentetan performa jeblok itu memaksa Francescoli pulang ke River Plate di tahun 1994 meski telah berumur 33 tahun. Ajaibnya, setelah kembali mengenakan seragam putih dengan selempang merah khas La Banda, grafik permainan Francescoli meningkat drastis. Dirinya justru terlihat seperti kelapa yang semakin tua justru semakin bersantan.

Kepulangannya ke Buenos Aires pun disambut meriah pendukung fanatik dari klub yang berdiri pada 25 Mei 1901 tersebut. Bermain sekurangnya di 80 laga, sejumlah titel seperti dua titel Apertura dan dua gelar Clausura Liga Argentina plus masing-masing satu Copa Libertadores serta Copa Sudamericana berhasil dimasukkannya ke dalam lemari trofi La Banda.

Di periode keduanya membela River Plate, sosok yang secara fisik memiliki kemiripan dengan Diego Milito ini bermain hingga usia 36 tahun alias selama tiga musim. Bersama tim yang mengharumkan namanya di kancah sepak bola dunia itu pula, Francescoli menyudahi karier profesionalnya sebagai pesepak bola top.

Naik-turun penampilan Francescoli di ajang sepak bola juga memengaruhi permainan tim nasional Uruguay di era 1980-an sampai 1990-an secara keseluruhan. Kala itu, dirinya selalu menjadi poros utama permainan Los Charruas di berbagai ajang yang mereka itu.

Walau saat tampil di Piala Dunia 1986 dan 1990 Uruguay mesti angkat koper lebih cepat lantaran keok di fase 16 besar, namun prestasi yang diukirnya di ajang Copa America terasa begitu legit.

Pada lima kesempatan berbeda yakni Copa America 1983, 1987, 1989, 1993 dan 1995, Francescoli sukses mengantar Uruguay menjadi kampiun pada edisi yang disebut pertama, kedua, dan terakhir. Pencapaian yang mentereng, bukan?

Karier naik-turun seorang pesepak bola adalah sebuah keniscayan yang tak mungkin bisa ditolak. Namun kunci dari fase-fase seperti itu adalah konsistensi menjaga penampilan saat roda perputaran karier sedang berada di puncak serta bangkit dengan cara terbaik ketika berada di bawah.

Francescoli telah memberi contoh nyata kepada siapa saja tentang cara yang ditempuhnya guna mempertahankan status sebagai salah satu pesepak bola terbaik di dunia pada masanya. Sebuah kisah gemilang yang tentu saja bisa kita jadi suri tauladan untuk menjalani kehidupan. Asal tidak keburu putus asa, segala sesuatunya tentu masih bisa diperjuangkan.

Feliz cumpleanos, Enzo.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional