Cerita

Mengenal Archibald Leitch, Sang Perancang Stadion Klub-klub Liga Inggris

Stadion sepak bola, bagi sebagian orang bukan hanya tentang sebuah bangunan melingkar dengan sebidang tanah di tengah. Ada ingatan kolektif yang tersemai di dalamnya.

Ketika menyebut “Maracana” maka yang hadir dalam kepala tiap masyarakat Brazil adalah tragedi pada Juli 1950 silam, kala seisi stadion yang bernama awal Estadio Mario Filho itu dibuat menangis setelah menyaksikan kekalahan tim kesayangannya atas Uruguay.

Begitupun ketika kita menyebut nama Old Trafford, maka yang muncul adalah kepingan kenangan masa jaya yang tersimpan di balik dinding stadion itu. Bukan sesuatu yang asal jika mereka menyebutnya sebagai Theater of Dream.

Seperti juga dengan Hillsborough, yang hadir adalah kisah pilu di akhir pekan yang nahas, tentang 96 nyawa yang hilang. Pun Wembley, tak semata-mata soal bangunan, boleh dibilang di sanalah ibu kota sepak bola modern berada, ikon kebanggaan masyarakat Inggris.

Masih banyak nama stadion yang menyimpan sederet kisah yang berkelindan dengan nilai masyarakat. Stadion menjadi menyatu dengan sepak bola. Di Inggris, di balik nama-nama stadion yang sekarang menjadi altar suci bagi sebagian orang, ada nama seorang arsitek asal Glasgow, Skotlandia.

Adalah Archibald Leitch, sosok di balik stadion bersejarah di Britania Raya. Setidaknya ada lebih dari 20 stadion sepak bola yang lahir dari tangannya. Mulai dari Stamford Bridge di London Barat,  Anfield dan Goodison Park di Liverpool, Highbury dan White Hart Lane di London Utara, hingga Old Trafford di Greater Manchester, adalah hasil dari sketsa kerjanya.

Archibald lahir pada 27 April 1865 dan stadion sepak bola bukanlah proyek yang pertama ditanganinya. Di awal karier, ia menangani sebuah proyek pembangunan pabrik di negaranya. Suatu saat ia diminta untuk membuat kerangka Stadion Ibrox, markas dari Rangers FC. Sialnya, ketika percobaan kekuatan tiang-tiang tribun nampaknya tak mampu menahan beban, lantas roboh dan menewaskan 25 orang. Kejadian tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Tragedi Ibrox.

Leitch terpukul dengan kejadian tersebut. Bagaimana tidak, ia menyaksikan di depan mata karyanya ambruk dan memakan puluhan nyawa. Atas tragedi itu, manajemen Rangers pun memecatnya. Namun, keyakinan Leitch dalam merancang stadion sepak bola nampaknya belum sirna. Dengan kepercayaan diri tinggi ia kembali meminta manajemen Rangers untuk kembali memakai jasanya. Permintaannya tak sia-sia, ia diterima.

Tak hanya di Skotlandia, ia juga merambah ke dataran Inggris. Stadion pertama yang ia bangun di Inggris adalah Brammal Lane yang merupakan markas Sheffield United dengan kapasitas 3.000 kursi. Berturut-turut kemudian jasanya dilirik oleh sebagian besar pemilik klub yang waktu itu tengah gencar membangun stadion.

Kejadian Ibrox nampaknya membuat perubahan dalam pelbagai segi karyanya, salah-satu yang ia hasilkan dengan menutupi kelemahan yang terjadi di Stadion Ibrox adalah perancangan tribun Stamford Bridge. Ia tak hanya menggunakan material kayu semata, tetapi juga mengombinasikan dengan baja yang kemudian menopang lantai tribun.

Pada awalnya, karya Leitch identik dengan gaya bangunan industrial, mengingat kala itu pabrik bertebaran di Eropa akibat dari revolusi industri, sedangkan stadion sepak bola tak begitu banyak. Archibald punya ciri khas dalam karyanya, ia selalu membuat tribun menjadi dua susun, sesuatu yang sudah lumrah di zaman ini.

Dalam konteks strategi bisnis, Archibald boleh dibilang cerdik, ia memilih untuk fokus membangun stadion sepak bola karena saat itu para arsitek lebih banyak mencurahkan perhatian ke pembangunan infrastruktur lain. Peluang itulah yang kemudian dimanfaatkan Archibald.

Tragedi Hillsbrough yang membuat FA menaruh perhatian lebih pada kelayakan stadion, kemudian membuat karya-karya Archibald sudah banyak yang dirubuhkan. Tetapi banyak ada beberapa tempat di beberapa stadion yang hingga kini masih mempertahan gaya yang dibuat oleh Leitch. Bullens Road dan Gladwys Road di Goodison Park, markan Everton, dan tribun Johnny Haynes di markas Fulham, adalah hasil dari tangan Leitch yang masih bertahan.

Namun seiring dengan berkembangnya waktu serta melajunya gaya bangunan dalam arsitektur yang tentu saja menjadikan kapasitas sebagai faktor utama tak menutup kemungkinan karya Archibald di dua stadion itu juga dibumihanguskan.

Dengan karyanya yang dulu tersebar di seantero Inggris, beberapa media menasbihkan Leitch sebagai bapak stadion sepak bola modern.  Namun julukan itu baru didapat setelah bertahun-tahun kemudian. Archibald Leitch meninggal pada tahun 1939. Simon Inglis, penulis biografi Leitch mengatakan bahwa pada akhir hidupnya, tak seperti karyanya, sosok Leitch tak banyak dikenal luas. Simon menulis bahwa tak ada pemberitaan ketika Leitch meninggal.

Leitch wafat dalam sunyi, meninggalkan dunia dengan karya agung, tempat suci bagi mereka yang mencintai sepak bola.

Author: Rizal Syam (@rizArt_)