“Dengan segala hormat kepada Pak Presiden, bagus punya turnamen, tapi waktunya harus tepat. Turnamen ini harusnya dikemas secara tidak resmi untuk kesiapan tim itu sendiri. (Kalau seperti ini) jadi seperti ada kompetisi sebelum kompetisi. Ini tidak bagus untuk pengembangan sepak bola Indonesia.”
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh pelatih PSM Makassar, Robert René Alberts, menanggapi penyelenggaraan Piala Presiden 2018 terlalu kompetitif, yang sebenarnya merupakan turnamen pra-musim sebelum digelarnya kompetisi resmi, Liga 1 2018.
Sebuah tanggapan yang tidak salah, jika kita melihat pertandingan Piala Presiden, terutama dalam dua edisi terakhir, yakni di tahun 2017 dan 2018. Hampir di semua laga tersaji tensi tinggi yang menyamai persaingan di kompetisi resmi, padahal turnamen ini hanya bertajuk ajang pra-musim. Kalau menang alhamdulillah, kalah ya seharusnya tidak masalah.
Coach Robert menambahkan, mungkin yang membuat Piala Presiden terlalu kompetitif adalah uang hadiah yang terlalu besar. Juara pertama akan mendapat hadiah uang 3,3 miliar rupiah, runner-up mendapat hadiah 2,2 miliar rupiah, peringkat ketiga mendapat hadiah 1,1 miliar rupiah, sedangkan penghuni posisi keempat mendapat uang 550 juta rupiah.
Jumlah tersebut mengalami peningkatan dari edisi sebelumnya. Di Piala Presiden 2017, Arema FC yang menjadi kampiun mendapat hadiah uang 3 miliar rupiah, Borneo FC II yang menjadi finalis berhak membawa pulang 2 miliar rupiah, sedangkan Persib Bandung di peringkat ketiga dihadiahi uang 1 miliar rupiah, dan Semen Padang di posisi keempat mendapat hadiah 500 juta rupiah.
Musim jadi lebih panjang
Piala Presiden yang merupakan turnamen pra-musim seharusnya digunakan untuk mengukur kesiapan tim. Coach Robert sendiri dalam dua gelaran turnamen ini jarang menurunkan tim terbaik, dan lebih banyak memainkan pemain pelapis. Hasilnya, PSM memang selalu tersingkir di fase grup, tapi di liga domestik mereka tampil prima.
Jika kita menengok pada agenda pra-musim klub-klub papan atas Eropa, mereka juga melakukan hal serupa. Pra-musim adalah waktunya bagi para pelapis dan pemain muda unjuk gigi, atau mencoba pemain baru, sedangkan para pemain utama hanya melakukan “pemanasan” setelah berlibur, agar siap tampil di kompetisi yang sesungguhnya.
Untuk skema permainan juga seperti itu. Turnamen pra-musim adalah waktunya bagi para pelatih untuk mencoba strategi alternatif, bukan malah mengincar kemenangan dengan mengerahkan kekuatan terbaiknya.
Itulah yang bisa membuat durasi musim menjadi lebih panjang, karena jika Piala Presiden terlalu kompetitif, ia tak ubahnya adalah turnamen resmi, yang langsung dilanjutkan dengan liga domestik. Dari musim yang awalnya direncanakan berjalan delapan bulan, bisa menjadi sembilan atau sepuluh bulan karena fokus tim juga dikerahkan untuk Piala Presiden, khususnya bagi tim-tim yang berlaga hingga fase gugur.
Dampak yang bisa terjadi dari musim yang lebih panjang, dikhawatirkan para pemain akan jadi lebih cepat jenuh dan mengalami penurunan performa akibat jadwal yang terlalu pada sejak sebelum musim dimulai.
Inilah pola pikir yang harus diubah beberapa klub di Indonesia. Piala Presiden atau turnamen-turnamen pra-musim lainnya adalah ajang untuk memanaskan mesin setelah diistirahatkan selama masa liburan, bukan memacu mesin tersebut sekencang-kencangnya untuk mencari kemenangan.
Begitu pula bagi para suporter. Ini bukan kompetisi yang sesungguhnya, bung dan nona. Ini adalah laga persahabatan, yang kalau menang alhamdulillah, kalah ya tidak masalah. tidak perlu marah-marah. Toh, persaingan yang sesungguhnya baru dimulai tanggal 3 Maret 2018 nanti.
Atau kalau memang Piala Presiden menginginkan para klub kontestannya bermain spartan, sebaiknya diselenggarakan bersamaan dengan liga domestik saja. Seperti Piala FA, Coppa Italia, DFB-Pokal, atau Copa del Rey misalnya, dengan hadiah yang berupa tiket ke kompetisi Asia.
Ingat, ini Piala Presiden, gaes, untuk mengukur kesiapan. Bukan Piala Dunia yang harus tampil habis-habisan.
Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.