Pesepak bola pada umumnya adalah orang-orang dengan fisik yang prima, tubuh yang tinggi kekar, serta memiliki kecepatan lari yang luar biasa kencang. Memang, tak dapat dipungkiri bahwa atribut fisik seperti itu penting bagi semua atlet, tak terkecuali para pesepak bola. Namun, ada satu hal yang lebih penting bagi pesepak bola ketimbang kemampuan fisiknya, yaitu kecerdasan otaknya.
Kaki-kaki mereka yang lincah, badan yang tinggi berotot kekar, tak akan ada gunanya apabila otak mereka tidak cerdas. Bahkan, pesepak bola dengan level kecerdasan yang tinggi mampu lebih berharga ketimbang pemain yang hanya mengandalkan fisiknya. Xavi Hernandez adalah bukti terbaik akan hal ini.
Xavi Hernandez Creus lahir di Terassa, sebuah kota di daerah Catalonia, 38 tahun yang lalu. Memiliki seorang ayah yang menjadi pesepak bola profesional, Xavi kecil bertekad mengikuti jejaknya. Ia pun masuk ke akademi sepak bola Barcelona yang termasyhur, La Masia, ketika usianya 11 tahun. Xavi pun diajarkan tidak hanya teknik dan filosofi sepak bola ala La Masia, namun juga etos kerja dan perilaku sehari-hari yang akan membekas hingga ia tua nanti.
Xavi tumbuh menjadi pesepak bola yang besar, bukan secara fisik, namun dari kecerdasannya. Fisiknya tidak istimewa, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Tingginya hanya 168 sentimeter, setara dengan tinggi rata-rata pria dewasa di Indonesia. Tak hanya itu, bukan berarti karena tubuhnya kecil, larinya menjadi kencang. Tidak, Xavi sama sekali tidak kencang. Namun, yang membuatnya besar adalah kecerdasannya yang luar biasa. Otaknya mampu membayangkan kejadian di lapangan beberapa detik lebih cepat, disokong oleh kemampuan mengoper yang selalu presisi dan tepat sasaran.
Berkat kemampuannya ini, ia menjadi pemain yang membangun tonggak kesuksesan tak hanya satu, melainkan dua tim sekaligus. Tim pertama adalah Barcelona di era manajerial Pep Guardiola, yang disebut-sebut sebagai salah satu tim terbaik sepanjang sejarah sepak bola. Xavi menjadi aktor utama treble Barcelona di musim pertama Guardiola, musim 2008/2009. Di final Liga Champions akhir musim tersebut melawan Manchester United, sang playmaker berhasil membuat kocar-kacir pertahanan Setan Merah. Ia pun mendapat pujian dari Sir Alex Ferguson, yang menyebutkan bahwa tak pernah sekalipun ia melihat Xavi salah mengoper.
Di musim-musim berikutnya, peran Xavi semakin integral, dan kombinasi bersama Andres Iniesta dan Sergio Busquets menjadikan lini tengah Barcelona sebagai salah satu yang terbaik sepanjang sejarah. Selama empat tahun menjadi manajer Blaugrana, Guardiola berhasil merengkuh 14 trofi, namun Xavi-lah yang harus ia berikan terima kasih terlebih dahulu.
Tim kedua adalah timnas Spanyol medio 2008-2012. Kala itu, La Furia Roja berhasil menjuarai tiga turnamen mayor secara berturut-turut, sebuah prestasi yang historis dan tampak tak mungkin untuk dapat diulangi. Lagi-lagi, Xavi memegang peranan besar dalam dominasi Spanyol di dunia. Di Piala Eropa 2008, ia mampu menjadi pemain terbaik sekaligus membawa Spanyol juara turnamen mayor setelah 44 tahun lamanya.
Prestasinya di Piala Dunia 2010 lebih menawan lagi. Di bawah asuhan Vicente del Bosque, Xavi menjadi otak utama dari sistem permainan La Furia Roja yang berhasil membawa Spanyol juara dunia untuk pertama kalinya. Begitu juga di Piala Eropa 2012, yang menjadi penutup kejayaan Xavi bersama timnas Spanyol dengan total dua trofi Piala Eropa serta satu trofi Piala Dunia, yang secara menakjubkan, ia raih berturut-turut.
Dari kiprahnya bersama kedua tim itu, bisa dilihat bagaimana Xavi menjadi salah satu pesepak bola terbaik yang pernah ada. Ia menjadi otak utama dua tim terbaik sepanjang sejarah. Permainannya memang simpel, namun luar biasa vital. Walaupun begitu, kehebatan Xavi tak hanya terlihat dari lapangan saja. Ia mampu menjadi legenda klub sekelas Barcelona karena loyalitasnya.
Xavi memang dikelilingi pemain yang luar biasa di klub Catalonia tersebut, namun jangan salah, ia juga melwati masa kelam Barcelona di awal 2000-an hingga tahun 2003. Menjadi satu dari sekian pemain berbakat di klub yang tengah merana, si jago operan ini tentunya diincar oleh banyak klub besar. Salah satunya adalah Manchester United, yang kala itu tengah berjaya di Liga Primer Inggris. Xavi sendiri mengaku bahwa ia hampir bergabung dengan MU, namun ia memilih untuk bertahan, dan keputusannya terbukti tepat.
Di tahun 2015 lalu, Xavi akhirnya mengakhiri cerita manisnya sebagai pemain Barcelona. Ia bergabung ke klub Qatar bernama Al Sadd, dengan misi untuk memajukan sepak bola di negara Arab tersebut. Ia pun pensiun di bulan November 2017 lalu, dan kini tengah mengejar lisensi kepelatihan.
20 tahun kariernya berhasil ia warnai dengan raihan total 31 trofi, menjadikannya sebagai salah satu pesepak bola paling sukses sepanjang masa. Namun yang akan selalu terkenang dalam legasinya adalah bukti, bahwa kecerdasan dalam bermain adalah yang utama.
Happy birthday, Xavi!
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket