Sepak bola di Italia terkenal akan keromantisannya yang kental. Banyak pesepak bola yang loyal terhadap satu klub, namun tak jarang juga yang pindah menyeberang ke klub rival dan membuat sensasi. Claudio Marchisio tentu masuk ke golongan yang pertama.
Sejak ia lahir, darah hitam-putih khas Juventus sudah mengalir dalam tubuhnya. Sepanjang karier sepak bolanya hingga saat ini, tak pernah sekalipun ia terikat kontrak dengan klub lain selain Juventus kecuali masa peminjaman di usia muda dulu. Marchisio pun dipredikatkan sebagai pangeran Juventus akibat kecintaan dan kesetiaannya yang tanpa syarat. Meskipun begitu, seiring waktu berjalan, sang pangeran mulai kehilangan takhtanya di skuat I Bianconeri, walaupun kecintaannya tak pudar sedikitpun.
Marchisio adalah putra Turin asli. Orang tuanya adalah pemegang tiket musiman Juventus, jadi sejak kecil tak ada klub lain yang mampu memikat hati Marchisio. Sebagaimana layaknya anak-anak tahun 1990-an yang mendukung Juventus, pesepak bola idolanya adalah Alessandro Del Piero.
Marchisio yang kemudian bergabung bersama akademi sepak bola Juventus ini memosisikan dirinya sebagai penyerang lubang, mengikuti jejak idolanya. Meskipun begitu, mimpi pemain bermata indah ini untuk mengikuti jejak idolanya sebagai trequartista harus pupus karena fisiknya yang kurang memadai untuk peran itu. Alhasil, di usia 16 tahun, posisinya dimundurkan sedikit ke belakang, posisi yang kelak akan dikuasainya dengan mudah.
Skandal Calciopoli yang menghantam Juventus di akhir musim 2005/2006 benar-benar memberi pukulan telak bagi klub tersebut. Meskipun begitu, bagi Marchisio, skandal ini tampak seperti berkah di balik musibah. Kepergian banyak pemain bintang yang enggan untuk bermain di Serie B memaksa Didier Deschamps, manajer Juventus saat itu, untuk mengandalkan banyak pemain muda. Salah satunya adalah Marchisio, yang kala itu baru berusia 20 tahun.
Marchisio bersama dengan Giorgio Chiellini dan Sebastian Giovinco dianggap sebagai fondasi masa depan Juventus, dimentori dengan pemain-pemain senior yang masih loyal terhadap klub seperti Gianluigi Buffon, Pavel Nedved, dan tentunya Del Piero. Juventus tampil perkasa di Serie B dan langsung promosi ke Serie A di musim berikutnya.
Meskipun tampil apik kala membawa La Vecchia Signora promosi, di musim 2007/2008, Marchisio tak masuk ke dalam rencana tim utama Deschamps. Ia pun dipinjamkan ke klub yang lebih kecil, Empoli, ditemani oleh Giovinco yang kemudian menjadi sahabatnya. Debutnya di Serie A pun ia jalani bersama Empoli.
Penampilannya bersama tim berseragam biru itu pun cukup impresif, meski ia tak mampu membawa Empoli lolos dari jeratan degradasi. Namun, performa apiknya dirasa cukup untuk membawanya kembali pulang ke Turin, dan di musim berikutnya di bawah asuhan manajer baru, Claudio Ranieri, ia berhasil menembus tim utama Juventus.
Selepas itu, Marchisio selalu menjadi pilihan utama di Juventus, baik di bawah asuhan Ranieri, ataupun Alberto Zaccheroni dan Ciro Ferrara yang juga sempat menukangi La Vecchia Signora untuk waktu yang tak lama. Meskipun begitu, Marchisio mencapai puncak performanya kala dikomandoi oleh manajer yang juga merupakan legenda Juventus, Antonio Conte.
Di musim 2011/2012, musim pertama Conte menukangi Juventus, Marchisio dikombinasikan dengan dua gelandang kelas dunia, Andrea Pirlo dan Arturo Vidal. Kerja sama tiga gelandang ini disebut-sebut sebagai kombinasi pemain tengah terbaik di dunia saat itu. Dijuluki sebagai trio “MVP”, mereka berhasil tampil dominan di Serie A.
Alhasil, di akhir musim, Marchisio berhasil merengkuh Scudetto pertamanya bersama Juventus. Sayangnya, ia gagal membantu klubnya meraih double di musim itu karena dikalahkan oleh Napoli di final Coppa Italia.
Meskipun terus tampil konsisten di level tertinggi, Marchisio mulai kehilangan tempatnya jelang akhir musim 2015/2016. Di bulan April 2016, ia harus menerima bahwa ia menderita cedera ACL, cedera lutut yang parah dan ditakuti oleh banyak atlet. Ia pun harus rela menepi hingga enam bulan lamanya. Tak hanya itu, ia juga harus rela melewatkan Piala Eropa 2016 bersama Italia akibat cederanya.
Di awal musim 2016/2017 lalu, ia pun pulih dari cedera panjangnya, namun perlahan-lahan harus menerima tempatnya tergeser oleh gelandang yang lebih muda seperti Miralem Pjanic, juga oleh Sami Khedira, gelandang top dari Jerman. Total, ia hanya tampil sebanyak 18 kali di Serie A dan delapan kali di Liga Champions.
Namun, satu hal yang patut dipuji dari Marchisio adalah ia tak pernah kehilangan konsistensinya. Ia selalu menunjukkan determinasi tinggi di tiap pertandingan, satu kelebihan yang membuatnya mendapatkan tempat di tim utama. Tak hanya itu, tekniknya, baik teknik menyerang atau bertahan pun masih sama bagusnya.
Malang baginya, di awal musim ini, ia harus kembali menderita cedera lutut, yang membuatnya absen mulai dari bulan Agustus hingga akhir Oktober lalu. Menit bermainnya pun semakin minim, walaupun memang sudah menjadi karakteristik Marchisio untuk selalu tampil apik ketika ditugaskan untuk bermain.
Juventus pun dikabarkan tengah mengincar gelandang box-to-box lain untuk menjadi pengganti Marchisio. Sang pangeran pun kini terancam benar-benar diturunkan dari takhtanya, dengan beberapa klub Cina dikabarkan siap menampungnya.
Baca juga: Juventus Berburu Gelandang, Claudio Marchisio Meradang
Namun, apabila memang waktu Marchisio di Juventus sudah habis, patut rasanya namanya bersanding dengan Del Piero atau Buffon sebagai sosok loyal nan legendaris yang pernah mengenakan seragam hitam-putih. Sang Pangeran Kecil, julukannya, tak pernah tampil setengah-setengah bagi klubnya, dan selalu mencurahkan semua tenaganya ketika bermain di lapangan. Masa depan Marchisio tentu kini masih abu-abu, namun statusnya sebagai legenda Juventus tampak sudah pasti.
Author: Ganesha Arif Lesmana (@ganesharif)
Penggemar sepak bola dan basket