Kata “terbaik” merujuk kepada sebuah tingkatakan, yang “paling baik”. Di dunia sepak bola, yang terbaik diukur dengan perhitungan yang terlalu sederhana. Terutama dalam lima tahun terakhir, biasanya diukur dari jumlah gol atau piala saja. Namun bagi Liverpool, makna “pemain terbaik” bisa lebih luas, terutama ketika berbicara soal Alex-Oxlade Chamberlain.
Terkadang, mengukur “yang baik” itu tidak selalu mudah, apalagi jika kita membicarakan berbagai sisi dan sifat manusia. “Yang terbaik” bisa ditakar menggunakan selera individu, kesepakatan bersama dari beberapa orang, atau bahkan kegunaan. Masing-masing takaran ini masih bisa dijelaskan lagi menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil dan spesifik.
Untuk soal selera individu, niscaya akan sangat sulit untuk dicari mana “yang terbaik”. Selera saya adalah Sergio Busquets, sementara Anda adalah N’Golo Kante. Memperbandingkan dua gelandang tersebut menggunakan selera tentu tak ada faedahnya.
Dari kesepakatan bersama? Kita bisa mengambil contoh jumlah gol. Dari situ bisa ditentukan mana penyerang yang paling moncer. Atau bisa juga catatan jumlah tidak kebobolan, untuk mencari sosok penjaga gawang paling cekatan dan solid.
Lantas, bagaimana dengan kegunaan? Takaran ini justru yang paling pas untuk mencari “yang terbaik” untuk seorang pesepak bola di sebuah klub tertentu. Berguna bermakna ‘mendatangkan kebaikan atau keuntungan’. Menggunakan takaran ini, definisi pemain terbaik menjadi lebih luas, bahkan mungkin lebih adil.
Mengapa? Penyerang boleh mencetak banyak gol lalu dinobatkan sebagai penyerang terbaik. Penjaga gawang boleh tak kebobolan dalam 20 pertandingan, lantas dianggap sebagai yang terbaik pula. Lantas, bagaimana dengan pemain-pemain yang tak mencetak gol atau membuat asis langsung namun keberadaannnya sangat penting bagi proses tersebut? Apresiasi untuk pemain seperti ini masih sungguh terbatas.
Menggunakan jumlah gol, Chamberlain akan kalah meyakinkan ketimbang Mohamed Salah. Menggunakan jumlah asis dan penciptaan peluang, mantan pemain Arsenal tersebut akan kalah dari Roberto Firmino, Sadio Mane, atau Philippe Coutinho yang sudah minggat ke Barcelona. Padahal, dari sosok Chamberlain, Liverpool mendapatkan banyak keuntungan, baik dari sisi kedalaman skuat dan kebutuhan taktik.
Bisa di mana saja
Mengapa sosok Chamberlain sangat penting untuk Liverpool? Pertama karena dirinya sangat penting untuk kedalaman skuat. Di atas kertas, setidaknya, Chamberlain bisa bermain di enam posisi. Mulai dari bek sayap kanan, gelandang sentral, gelandang serang, penyerang sayap kanan dan kiri, dan bahkan penyerang tengah.
Masa-masa terakhir Chamberlain bersama Arsene Wenger dihabiskannya untuk bermain sebagai bek sayap kanan. Sepanjang kariernya sendiri, Chamberlain sudah pernah bermain di semua posisi yang sudah disebutkan di atas. Memang, performa tak selalu menarik. Namun, ketika tim membutuhkan, Chamberlain siap menambal lubang.
Liverpool di bawah asuhan Jürgen Klopp berkembang menjadi tim yang sungguh cepat dan bertenaga. The Reds adalah mesin pressing, yang ketika berada di puncak performa, pasti akan menyulitkan semua tim besar di dunia. Namun, di balik potensi besar tersebut, terdapat risiko yang tak kalah besar, yaitu cedera.
Dua tahun pertama masa kepelatihan Klopp pun tak luput dari kritikan lantaran cukup banyak pemain yang tumbang karena cedera. Cara bermain yang sangat menuntut, ditambah rotasi dan periodisasi yang tak terlalu baik, membuat Liverpool sering kehilangan pemain terbaiknya. Di sinilah potensi Chamberlain bisa sangat berguna.
Ia bisa mengisi tempat yang mungkin akan ditinggalkan oleh Sadio Mane dan Mohamed Salah bila cedera. Chamberlain juga langsung mendapatkan kesempatan bermain di tim utama ketika Coutinho resmi hengkang. Bahkan bila terpaksa, melihat cara bermainnya, Chamberlain bisa dimainkan sebagai ujung tombak. Tentu, harus dengan peran yang spesifik, bukan sosok target man tradisional.
Ketika Klopp bisa membantu Chamberlain mempertahankan performa terbaiknya, Liverpool akan dengan mudah mencari pemain dengan kualitas tak jauh berbeda ketika lini depan mereka berlubang karena cedera. Dengan kemampuan dan potensi tersebut, maka tak salah bukan apabila Chamberlain termasuk “yang terbaik” untuk Liverpool?
Cocok dengan ide pelatih
Inilah alasan terbesar mengapa Chamberlain bisa sangat sukses di bawah asuhan Klopp, yaitu cocok dengan ide dan taktik yang digunakan.
Seperti yang disunggung di atas, Liverpool adalah mesin pressing. Setidaknya, ada dua syarat bagi pemain bisa cocok di tengah ekosistem yang intens seperti ini, yaitu punya akselerasi dan stamina yang mumpuni. Dan kebetulan, Chamberlain punya dua aspek tersebut.
Akselerasi membantu Chamberlain mengejar pemain lawan, baik dengan atau tanpa bola. Selain itu, akselerasi juga membantu Chamberlain untuk mengokupansi ruang-ruang tertentu seperti yang sudah disepakati.
Mengokupansi ruang-ruang tertentu bisa dimanfaatkan untuk membatasi opsi lawan untuk maju menyerang dan menyebak pemain lawan menggunakan pressing trap. Akselerasi ini tentu harus didukung stamina yang mumpuni untuk menggeber gegenpressing yang sungguh melekat kepada sosok Klopp.
Seperti misalnya ketika mengalahkan Manchester City dengan gemilang. Chamberlain sangat aktif menekan pemain City yang masuk di sepertiga tengah Liverpool. Chamberlain yang sangat aktif memudahkan bek sayap Liverpool, dibantu Emre Can atau Georginio Wijnaldum untuk menekan pemain City. Kekompakan Liverpool dengan Chamberlain sebagai salah satu rantai pressing membuat City sangat sulit masuk dari area tengah.
Ada satu pendekatan yang menarik dari Klopp berkaitan dengan kerja pressing ketika masih menukangi Borussia Dortmund. Pendekatan ini bernama zugriffserzeugend dan akan sangat cocok diterapkan menggunakan Chamberlain sebagai pemain yang “mengejar” second ball. Yang dimaksud dengan Zugriffserzeugend sendiri adalah (mencoba) mendapatkan jalan masuk ke pertahanan lawan melalui bola-bola kedua.
Penerapannya begini: bek kanan tim lawan, kebetulan, lemah dalam duel udara. Oleh sebab itu, tim Anda memutuskan untuk melepas banyak umpan lambung ke arah bek kanan tersebut. Ketika duel udara terjadi, bola yang terlepas (second ball) menjadi “jalan masuk ke pertahanan lawan”.
Contoh kedua menggunakan Chamberlain di dalamnya: Misalnya Liverpool melawan Arsenal. Setelah 20 menit laga berjalan, bek kanan Arsenal, Hector Bellerin, terlihat sangat tidak nyaman ketika mengontrol bola.
Oleh sebab itu, Liverpool mulai mengeksploitasi Bellerin menggunakan “umpan salah yang disengaja”. Tujuannya supaya Bellerin berusaha mengontrol bola dan menguasainya selama mungkin di wilayah sendiri. Ketika Bellerin mengontrol bola di wilayah sendiri, pemain-pemain Liverpool menutup semua jalur umpan. Ketika Bellerin harus menguasai bola, Chamberlain mendekat dengan seketika. Pressing ini akan memaksa Bellerin membuat kesalahan. Bola yang lepas bisa dimaksimalkan Chamberlain untuk melepas umpan atau menciptakan peluangnya sendiri.
Kembali, zugriffserzeugend hanya bisa dilakukan secara konstan ketika si pemain memiliki kelebihan akselerasi dan stamina. Tentu, ditambah sejauh mana si pemain memahami kerja pressing yang sudah dirancang oleh pelatih.
Tak ada yang lebih menyenangkan ketika ide pelatih dan kemampuan pemain bisa kawain-mawin dengan intim. Untuk pemain seperti ini, meski ia tak membuat banyak gol atau asis, tentu sangat layak disebut “yang terbaik”, setidaknya untuk timnya sendiri.
Lewat gairah Chamberlain, kita belajar bahwa banyak takaran untuk menilai seseorang. Semua manusia, seburuk apapun rupa dan hati, pasti memiliki kelebihan. Ketika ia bertemu karib yang tepat, yang tampak hanya kebaikan. Di situlah, takaran “yang terbaik” menjadi lebih adil dan seimbang.
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen