Dua hari yang lalu muncul kabar transfer yang “mengejutkan”. Bukan “nama besar” yang menghiasi wajah media-media di Inggris. Satu nama yang mengejutkan, Andy Carroll, tengah didekati oleh Chelsea. Skema yang akan digunakan oleh Chelsea adalah peminjaman hingga akhir musim. Benarkah Chelsea seputus asa itu setelah penyerang-penyerang mereka mandul di empat pertandingan terakhir?
Musim ini, suasana di tengah skuat Chelsea tak sesejuk musim lalu. Pelatih The Blues, Antonio Conte, berkonfrontasi secara langsung dengan dua pemain andalannya, David Luiz dan Diego Costa. David Luiz dan Costa merupakan dua pemain kunci di dua posisi yang berbeda, yaitu lini pertahanan dan lini depan.
Musim lalu, keduanya adalah dua pemain senior, yang bahu-membahu dengan Conte mengangkat performa Chelsea. Pengaruh dua pemain senior ini membantu Chelsea mengubah musim yang buruk menjadi satu musim penuh kenangan. Tampil buruk selama hampir setengah musim, Chelsea mampu bangkit dan menjadi juara dengan mengesankan.
David Luiz dan Costa adalah kunci. Perubahan skema Conte, dari 4-3-3 menjadi 3-4-3 berbuah manis berkat penampilan solid dari dua pemain tersebut. Pengaruh David Luiz dan Costa merembet ke pemain-pemain lain. Mulai dari Victor Moses yang tampil mengesankan sebagai bek sayap kanan, Cesar Azpilicueta yang menjadi salah satu bek tengah terbaik musim lalu, dan duet Nemanja Matic-N’Golo Kante yang menemukan keseimbangan.
Pertahanan solid di bawah pengawasan David Luiz dan Diego Costa yang memastikan lini depan bisa diandalkan. Musim 2016/2017, Costa mencetak 20 gol. Tak hanya berkontribusi gol, Costa menyumbang delapan asis, membuat kerja Eden Hazard dan Pedro menjadi lebih ringan. Betul, Costa tak hanya tajam tapi juga membantu lini serang dengan asisnya.
Pemain berpaspor Spanyol ini juga fasih merusak solidnya lini pertahanan lawan dengan duel-duel kontak fisik dan intimidasi. Kekuatan Costa tak hanya terlepat pada efektivitas memaksimalkan peluang. Costa adalah tipe penyerang yang sangat paham makna pressing dari lini pertama. Pengalaman bermain di bawah Diego Simeone menjadikan Costa tak hanya sebagai petarung, namun pejuang.
Ketika gol dibutuhkan, ketika peluang dinantikan, Costa ada di lini depan untuk membantu. Namun sayang, semua kelebihan itu tak lagi dirasakan Chelsea. Sudah sejak musim panas yang lalu Costa mengutarakan niat untuk hengkang. Conte tentu tak ingin kehilangan salah satu pemain terbaiknya. Ia pun “memaksa” Costa untuk bertahan. Sebuah keputusan yang terbukti salah. Costa menunjukkan resistensi. Statusnya pun dibekukan oleh Conte.
Sikap Costa sudah bulat. Ia ingin hengkang, dan Atletico Madrid adalah destinasi favoritnya. Bahkan, Costa tak masalah menganggung selama enam bulan hanya demi kembali ke klub lamanya.
Sikap Costa direspons Conte dengan membeli penyerang anyar dalam diri Alvaro Morata dari Real Madrid. Secara kualitas, Morata tentu tak kalah dengan Costa. Dan memang terbukti, di awal musim 2017/2018, Morata menjadi salah satu penyerang tersubur. Sundulan kepala Morata, hasil kombinasinya dengan Azpilicueta, merupakan opsi menyerang yang sulit dihentikan lawan.
Sayangnya, semuanya berubah ketika performa Morata menurun.
Terutama dalam tiga pertandingan terakhir di mana Morata turun. Setidaknya, ada tiga peluang emas yang gagal dimaksimalkan penyerang asal Spanyol tersebut ketika melawan Arsenal di ajang Liga Inggris. Morata kembali tak bisa memaksimalkan peluang ketika bertemu lawan yang sama di semifinal Piala Carabao beberapa hari berselang. Morata juga puasa gol ketika Chelsea ditahan imbang Leicester City dengan skor 0-0.
Mandul di tiga pertandingan, Conte meresponsnya dengan niat memboyong penyerang baru. Di sini masalahnya. Penyerang yang dihubungkan dengan Chelsea adalah Andy Carroll. Jangan salah, Carroll bukan penyerang yang seburuk itu. Tapi, pemain West Ham United ini hanya sama saja seperti Morata: minim gol. Bahkan, mantan pemain Liverpool ini jarang bisa bermain selama 90 menit di beberapa pertandingan berurutan. Cedera dan masalah kebugaran menjadi masalah.
Beberapa minggu yang lalu, Conte sempat berbicara secara terbuka bahwa terkadang, manajemen justru membeli pemain yang sebetulnya tak ia inginkan. Apakah Carroll adalah salah satu keputusan manajemen tanpa mengindahkan pendapat Conte? Apakah Chelsea memang seputus asa itu dengan mencekati “penyerang seperti” Carroll?
Chelsea sekarang memang bukan “Chelsea yang dulu”, yang bisa dengan mudah membeli pemain bintang. Roman Abramovich memang perlahan menarik dukungan finansial kepada manajemen Chelsea. Oleh sebab itu, The Blues tak bisa berbelanja dengan leluasa seperti beberapa tahun yang lalu.
Untuk musim ini, Chelsea sudah berbelanja dalam jumlah besar untuk memboyong Morata, Tiemoue Bakayoko, dan Danny Drinkwater. Maka bisa dipahami apabila Chelsea tak bisa membeli penyerang kelas dunia di jendela transfer musim dingin kali ini. Namun mengapa harus Carroll?
The Telegraph melansir berita bahwa Conte ingin mendatangkan seorang target man. Oleh sebab itu, buruan Chelsea menjadi lebih spesifik. Pembaca tahu, selain Carroll, Chelsea juga tengah mempetimbangkan penyerang Crystal Palace: Christian Benteke. Baik Carroll dan Benteke adalah “pemain buangan” Liverpool. Jika memang polanya seperti itu, mengapa Chelsea tak berusaha memulangkan Daniel Sturridge sekalian?
Sekali lagi, Carroll dan Benteke bukan penyerang yang “seburuk itu”. Namun, nama Chelsea sendiri agak janggal jika disandingkan dengan Carroll atau Benteke. Ya, mungkin akan pantas ketika Chelsea tak mendapatkan gelontoran uang minyak dari Rusia, ketika tim dari London tersebut hampir bangkrut.
Carroll? Apakah Chelsea seputus asa itu?
Author: Yamadipati Seno (@arsenalskitchen)
Koki Arsenal’s Kitchen