Dunia Asia

Secuil Kisah tentang Liga Sepak Bola Pelajar di Jepang

Nyaris seluruh penikmat sepak bola, khususnya di Indonesia, pasti amat menggemari kisah-kisah fiksi yang dituangkan lewat manga. Penggambaran yang nyata dan seru di dalamnya selalu berhasil membius siapa saja untuk membacanya sampai tamat.

Entah Captain Tsubasa dengan sosok Tsubasa Ozora, Aoki Densetsu Shoot! lewat trio Kazuhiro Hiramatsu, Kenji Shiraishi dan Toshihiko Tanaka atau Offside yang dibintangi Goro Kumagaya, sudah barang tentu pernah dibaca oleh penikmat sepak bola di Tanah Air.

Menariknya, dari seluruh manga tersebut tak ada satu pun yang membahas tentang karier pesepak bola di ranah profesional, Mayoritas cerita di manga-manga tersebut selalu berporos kepada pelajar di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang ada di Jepang.

Beberapa waktu lalu, Football Tribe Indonesia sempat mengunggah sebuah video mengenai suasana babak final All Japan High School Football Tournament, sebuah kompetisi sepak bola antar-SMA yang selama ini kita baca dan nikmati via manga.

Video itu sendiri banyak dipuji khalayak Indonesia sebab menampilkan antusiasme masyarakat Negeri Matahari Terbit dalam menyaksikan laga tersebut. Padahal, levelnya hanya pertandingan antarpelajar. Kalaupun ada yang bisa menyamai atau melebihi, barangkali hanyalah kejuaraan american football dan basket untuk pelajar atau mahasiswa di Amerika Serikat.

Lantas, apakah kompetisi sepak bola untuk pelajar di Jepang memang seglamor itu?

Menilik sejarahnya, All Japan High School Football Tournament memang berhasil menelurkan sejumlah pesepak bola berkelas. Misalnya saja Keisuke Honda, Eiji Kawashima, Yuto Nagatomo, Shunsuke Nakamura, Hidetoshi Nakata, Shinji Okazaki, hingga Atsushi Uchida.

Melalui kejuaraan ini, nama-nama di atas berhasil memamerkan kelebihan mereka di atas lapangan sebelum akhirnya dicomot oleh universitas ternama dan mendapat beasiswa ataupun bergabung secara langsung dengan akademi tim profesional di Jepang.

Para pelajar yang masuk ke universitas dan memiliki latar belakang sebagai atlet juga mendapatkan dispensasi khusus yakni diizinkan untuk tidak mengikuti perkuliahan.

Lebih asyiknya lagi, mereka tetap memperoleh semacam ‘uang bulanan’ karena sistem di Jepang memberi keistimewaan khusus terhadap mahasiswa berstatus atlet. Keistimewaan yang jauh berbeda dengan mahasiswa konvensional.

Menurut penuturan Chief Editor Football Tribe Jepang, Daisuke Kikuchi, kompetisi sepak bola untuk kalangan pelajar di Negeri Matahari Terbit memang sangat terstruktur.

Asosiasi sepak bola Jepang (JFA) bahkan sampai turun langsung guna mengelola kompetisi ini. Mereka dibantu oleh Public Interest Foundation National High School Federation (sebuah badan yang berafiliasi kepada pemerintah) dan 43 perusahaan swasta yang ada di Jepang.

Walau statusnya nasional, tapi konstestan dari kejuaraan ini tidak tak terbatas. Saat ini, hanya 4093 SMA seantero Jepang yang bisa ikut serta. Salah satu syarat utama agar dapat mengikuti kejuaraan ini adalah menjadi anggota dari Public Interest Foundation National High School Federation.

Di dalam manga, kita seringkali menyaksikan bagaimana tokoh-tokoh dari sebuah tim sepak bola SMA berlatih dengan giat dan penuh semangat. Unsur dramatis memang begitu menonjol dan membuat penikmatnya buta pada kondisi nyata yang ada.

Meski punya profil yang sangat menarik di mata publik, nyatanya All Japan High School Football Tournament juga memiliki segudang masalah. Baik teknis ataupun non-teknis.

Sebagai kejuaraan yang dilangsungkan oleh asosiasi sepak bola profesional di negaranya, All Japan High School Football Tournament justru melibatkan banyak sekali siswa untuk terjun sebagai panitia penyelenggara.

Ironisnya, banyak dari mereka yang bekerja sebagai resepsionis, ballboy, dan petugas medis, serta berhubungan dengan Public Interest Foundation National High School Federation tapi malah tak mendapat upah sebagai hasil dari pekerjaan itu. Ya, mereka ‘dipaksa’ bekerja secara sukarela.

Bagi tim-tim yang ikut serta, mereka juga sering terkendala oleh jadwal gila yang dibuat oleh pihak penyelenggara. Pasalnya, sebuah tim sepak bola dapat bermain sebanyak lima kali dalam tempo satu minggu. Padahal, kondisi ini amat jauh dari kata ideal.

Pihak penyelenggara sendiri tampaknya kesulitan untuk berbuat banyak karena rentang waktu guna menghelat All Japan High School Football Tournament cuma satu hingga dua bulan, dimulai pada bulan Desember dan berakhir di bulan Januari.

Dengan jumlah peserta yang menembus angka ribuan, memadatkan pertandingan buat masing-masing kesebelasan seolah jadi satu-satunya cara agar kompetisi tidak berakhir molor.

Ajang ini juga kerap dimanfaatkan oleh pimpinan dari sebuah institusi pendidikan tertentu guna angkat pamor lantaran sukses menjadikan bakat-bakat muda yang dimilikinya menembus universitas ternama ataupun akademi sebuah klub profesional.

Di sisi lain, All Japan High School Football Tournament pun membuat guru-guru yang ada di Jepang menjadi lebih sibuk. Pasalnya, perkembangan para siswa kerap dibebankan kepada mereka walau persoalan tersebut sejatinya harus ditangani oleh mereka yang lebih profesional, misalnya pelatih sepak bola.

Layaknya kompetisi-kompetisi yang lain, kesan glamor yang muncul dari All Japan High School Tournament jelas memikat perhatian. Namun pada kenyataannya, ada saja masalah yang tersembunyi dibaliknya.

Meski begitu, setidaknya Jepang sudah memberikan contoh yang patut diikuti oleh negara-negara lain, khususnya Indonesia, agar memiliki keseriusan tersendiri dalam mengurus kompetisi sepak bola di level pelajar. Karena bagaimanapun juga, para pelajar yang berusia muda inilah tulang punggung bangsa di kancah sepak bola pada masa yang akan datang.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional