Indonesia kedatangan tamu terhormat bernama Islandia. Rasanya bagi pencinta sepak bola, tak perlu lagi dijelaskan siapa itu Islandia. Beberapa tahun lalu, negara yang dekat dengan Kutub Utara itu menjadi perbincangan hangat, tatkala dengan heroiknya mereka lolos ke Piala Eropa 2016. Tak hanya itu, negara yang berpenduduk berkisar 300 ribu jiwa itu juga membuat sensasi kala menjungkalkan Inggris (2-1) di babak perdelapan-final dua tahun lalu di Prancis.
Menjelang Piala Dunia 2018, mereka juga kembali siap memberikan kejutan. Setelah Piala Eropa 2016 adalah debut mereka untuk ajang internasional, di Rusia nanti juga mereka akan turun untuk pertama kalinya di pagelaran olahraga terakbar sedunia itu.
Segala label “kurcaci” yang terlekat pada tim asuhan Heimir Hallgrímsson tersebut, kini tak berarti banyak dikarenakan prestasi mereka beberapa tahun terakhir. Bukti nyatanya, mereka mampu berpartisipasi pada dua turnamen sepak bola level tinggi seperti Piala Eropa dan Piala Dunia dalam waktu beruntun.
Seperti kita ketahui, Islandia datang ke Indonesia, dengan tujuan tak lain yakni menjajal kemampuan timnas Merah-Putih. Suka cita sudah pasti ada. Dalam beberapa waktu terakhir, jika kita terbiasa disuguhi Puerto Riko atau Fiji sebagai uji tanding timnas, kini kita kedatangan kesebelasan yang pernah membuat pemain kelas dunia seperti Arjen Robben tak berkutik atau membuat predator Liga Inggris semacam Harry Kane, mati kutu di depan gawang.
Tentu sebagai penggemar sepak bola Indonesia yang budiman, kita berharap kemampuan serdadu negeri yang dingin itu mampu meningkatkan level bertanding pemain-pemain timnas kita. Tetapi, datangnya Islandia ke Indonesia selain harus kita sambut dengan suka cita, harusnya juga menjadi “tamparan” akan rasa malu, terutama terkait sepak bola Indonesia sendiri.
Dengan hanya diisi 300 ribu lebih penduduk, Islandia mampu memantapkan diri merintis sebagai kekuatan sepak bola baru di Eropa dan mungkin level dunia suatu saat nanti. Bagaimana dengan Indonesia? Kita punya sumber daya manusia kurang lebih 250 juta jiwa. Kalau hanya dengan jumlah manusia yang kurang dari seperlima penduduk Jakarta, Islandia bisa membentuk timnas yang solid, kenapa Indonesia masih kesulitan walau hanya meramu sebelas sampai dua puluh tiga orang terbaik dari jutaan lebih manusia yang ada?
Jawabannya bukan tentang kuantitas, melainkan kualitas. Harus kita akui negara di kawasan Skandinavia seperti Islandia, sudah mampu bersaing dengan negara-negara maju soal pengelolaan sumber daya manusianya. Mungkin karena itu, sepak bola mereka pun ikut terangkat naik.
Kita, jangankan berpikir serius tentang bagaimana mengelola sepak bola dengan baik dan benar, persoalan utama bangsa seperti pendidikan bagi masyarakatnya saja, masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar. Apakah ini penyebab kenapa sepak bola Indonesia sukar sekali untuk membuat progres positif?
Tetapi bukan hanya soal negara yang maju atau tidak. Soal kemauan negara dan bangsa itu memajukan dan menjadikan sepak bola sebagai bagian penting kehidupan masyarakat mereka juga menjadi faktor penting.
Kita lihat Amerika Serikat, kurang adidaya apa mereka itu? Tetapi kenapa sepak bola Amerika Serikat, hingga kini, masih saja jalan di tempat, walau telah digarap dengan serius? Jawabannya ya, tak lain karena sepak bola bukan bagian dari hati dan jiwa rakyat Amerika Serikat itu sendiri. Sekarang kita berbicara Indonesia.
Kalau soal menjadikan sepak bola sebagai kecintaan, rasanya hal itu sudah sejak dari dulu ada. Bahkan, PSSI pun lebih dulu berdiri daripada negara Indonesia itu sendiri. Tetapi kenapa keikutsertaan Indonesia di Piala Dunia atau sekadar mampu ngawu-awu di Piala Asia saja, masih ibarat fatamorgana di atas oase padang pasir yang sangat gersang?
Sebatas cinta saja ternyata tak mampu mewujudkan angan-angan menjadikan sepak bola Indonesia disegani pada tingkat dunia, lalu apa lagi?
Indonesia sebagai negara berkembang secara perekonomian, sudah pasti berdampak pada olahraganya, salah satunya berkaitan dengan infrastruktur sebagai penunjang ekosistem sepak bola. Kalau infrastruktur kita memang belum menunjang (untuk membuat kemajuan), harusnya kecakapan sumber daya manusianya akan bisa sedikit mengimbangi ketimpangan itu. Namun, lagi-lagi ini masih juga menjadi tanda tanya sangat besar di Indonesia.
Tak perlu kita mendedah secara rinci seperti apa “keanehan” pengelolaan sepak bola kita. Sebagai contoh, apakah kita tidak ikut sedih hati, ketika ada beberapa pemain timnas ingin menimba pengalaman di luar negeri, justru dilarang hanya karena gagal pahamnya pucuk pimpinan sepak bola kita tentang apa itu “nasionalis dan tak nasionalis”? Tentu kita jadinya ikut meringis dan sedikit sinis akan hal tersebut.
Sepak bola kita dari dulu sampai sekarang, tak pernah lepas dari polemik tentang siapa yang “pantas” mengelola sepak bola Indonesia dengan pemahaman sepak bola mendalam atau punya keseriusan (fokus mengelola sepak bola dan tidak mempunyai kepentingan lain, apalagi menjadikannya batu loncatan ke dunia politik).
Masalah seperti itu tak pernah hilang dari tahun ke tahun. Persoalannya selalu saja sama. Padahal di saat sepak bola Malaysia dan Thailand semakin maju atau Vietnam mulai berbenah, kita nyatanya masih jauh dari memahami bagaimana menjalankan sepak bola yang benar-benar profesional, liga yang sistematis, dan pengembangan usia dini yang terukur.
Apalagi jika kita bandingkan dengan Islandia. Pengelolaan liga mereka jelas lebih baik dan tentu profesional. Maka tak heran pemain yang diproduksi dari liga mereka mulai punya prestasi di level negara. Padahal liga mereka tidak dijalankan satu musim penuh, karena kendala cuaca yang ekstrem (terutama saat musim dingin).
Kita di Indonesia yang diberi anugerah Tuhan dengan iklim yang baik untuk memainkan sepak bola semusim penuh, justru beginilah adanya.
Entah apa alasan sebenarnya Islandia mau bertandang ke Indonesia atau apa alasan Indonesia mengundang mereka ke sini. Yang jelas, selain kedatangan mereka untuk menghadirkan rasa gembira karena ada peserta Piala Dunia yang sudi menjajal kemampuan timnas, di sisi lain munculnya negara kecil dengan sepak bola yang bagus seperti Islandia harusnya membuat malu kita sebagai bangsa besar, namun dengan sepak bola yang kecil (tertinggal).
Author: Haris Chaebar (@chaebar_haris)