Dunia Lainnya

H’Angus dan Kisah Waldo di Dunia Nyata

Waldo, boneka beruang berwarna biru dengan mulut yang lebar. Alih-alih menggemaskan, tampang Waldo justru terlihat mengesalkan, apalagi jika pilihan itu ditujukan kepada Liam Monroe, politisi dari Partai Konservatif sekaligus calon anggota parlemen.

Tampil di layar LED di sebuah program televisi, dan bertugas mewawancarai setiap tokoh yang diundang, menjadikan Waldo banyak menarik perhatian masyarakat, terlebih karena satire yang mengundang tawa penonton. Di mata Liam, Waldo tak ubahnya nyinyiran pedas yang muncul di laman-laman media sosial

Membuat seorang politisi kawakan malu di hadapan kamera nampaknya tak membuat Waldo puas. Demi popularitas di mata publik, Waldo tampil di badan minibus, mengikuti ke mana Liam berkampanye sambil melempar hinaan terhadapnya.

Sadar sedang berada di tengah sorotan, dan paham seorang politisi tengah dirundung jengkel karena alih-alih melawan kader politik lain, ia justru mendapati sesosok gambar bergerak yang merupakan lawannya. Waldo semakin beringas, dengan mata dan gigi besar ia memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen.

Kerja dimulai, Waldo sedikit diuntungkan karena dekat dengan media, atau bisa dibilang ia adalah media itu sendiri.

Waldo kalah dalam pemilihan tersebut, tapi ia menang secara konsep atau gagasan. Hingga kemudian wajahnya bertebaran di ajang politik elektoral pelbagai negara, lantas kemudian menjadi topeng atas tindakan penindasan para fasis.

Kisah Waldo adalah cerita tentang bagaimana menjadi oportunis. Sebagaimana seorang penyerang di dalam kotak penalti, bersiap mengeksekusi sedikitpun celah yang terlihat. Menghukum setitik kelalaian, mendulang segepok kesempatan.

Kisah di atas merupakan kisah dalam Black Mirror, sebuah serial teve bergenre fiksi ilmiah di episode ketiga pada seri kedua. Episode ini dirilis pada 25 Februari 2013 silam dan menampilkan Daniel Rigby yang berperan sebagai Jamie Salter, yang merupakan pewayang sekaligus pengisi suara Waldo.

Namun jauh sebelum itu, di Hartlepool, sebuah kota kecil di wilayah County Durham bagian Utara Inggris, kisah tentang boneka yang mengikuti pemilihan kepala daerah juga terjadi. Bedanya ini tak terjadi di layar kaca.

H’Angus, maskot dari klub Hartlepool United FC, sebuah klub yang sekarang tengah berlaga di kasta kelima Liga Inggris, yang menjadi sorotan. Maskot Hartlepool United ini berbentuk monyet, diambil dari folklore Hang Monkey yang berkembang dalam masyarakat.

Pada awal 2000-an, orang yang berada di balik kostum maskot tersebut adalah Stuart Drummond. Reputasinya sebagai maskot H’Angus bisa dibilang buruk. Terhitung dua kali ia harus berurusan dengan kepolisian karena melakukan pelecehan seksual terhadap suporter perempuan. Beberapa kali melakukan keonaran akibat mengonsumsi minumam keras.

Namun siapa sangka, ia kemudian menjadi wali kota Hartlepool. Bukan hanya satu periode melainkan tiga periode!

Seperti Waldo, atau lebih tepatnya si produser, yang dengan sigap menangkap kesempatan atas keterkenalannya, Stuart pun serupa. Menjadi ‘maskot’ dari tim sepak bola sebuah kota tentu memberikannya popularitas.

Atas modal itulah ia dengan kepercayaan diri tinggi mengajukan permintaan kepada bos Hartlepool United agar mau memberikannya uang untuk kepentingan mengikuti pemilihan walikota. Si bos setuju dengan permintaan itu dan memberikan uang sebesar 500 paun dengan syarat Stuart harus tahu batas agar timnya tidak terganggu oleh intrik politik. Tapi apa boleh dikata, Stuart sudah kadung populer sebagai ‘maskot’ Hartlepool United, maka rasanya terlalu naif jika menampik identitas tersebut.

Maka majulah ia menjadi calon wali kota Hartlepool. Ia memiliki semacam janji bertajuk “free banana” yang dimaksud untuk memberikan pisang gratis setiap hari kepada anak sekolah. Setelah terpilih, program ini tak bisa direalisasikan Stuart.

Stuart tak mau kehilangan momentum, ia menggunakan dengan baik setiap pertandingan The Pool (julukan Hartlepool United). Ketika itu Stuart menjadi satu-satunya calon wali kota yang tak pernah mengikuti sesi tanya-jawab atau debat kandidat. Anehnya, setelah perhitungan suara, Stuart berhasil meraup 5.696 suara, ia mengalahkan kandidat dari Partai Buruh yang meraup 5.174 suara.

Terpilihnya Stuart si ‘maskot’ sebagai wali kota kemudian memunculkan berbagai reaksi. Media Kanada, National Post, memberitakan hal tersebut dengan tajuk “Monkey Wins Mayoralty, Regains Human Form“.

Setelah proses pemilihan itu berakhir, Stuart lantas mengumumkan bahwa ia berhenti sebagai maskot. Bahwa ia sekarang adalah seorang kepala daerah bukan lagi maskot tim sepak bola.

Keseriusan Stuart di dunia politik nampaknya tak sia-sia sebab pada periode selanjutnya suara yang ia peroleh meningkat, Stuart kembali menjabat sebagai wali kota setelah mendulang 10.205 suara. Pada tahun 2009 ia kembali mencalonkan diri dan kembali menduduki kursi wali kota Hartlepool untuk yang ketiga kali, sekaligus mencatatkan diri sebagai wali kota pertama di Inggris yang berhasil menjabat tiga periode.

Langkah politik si ‘maskot’ ini terhenti bukan karena kalah dalam perebutan kursi wali kota, tapi oleh Partai Buruh yang memenangkan referendum untuk kebijakan penghapusan jabatan wali kota di Hartlepool dan digantikan dengan sistem kabinet.

Prestasi Stuart sebagai wali kota boleh dibilang cukup baik sebab pada tahun 2010 ia mejadi finalis World Mayor, sebuah penghargaan yang khusus diberikan kepada wali kota yang dianggap berhasil memimpin daerahnya.

Sebagaimana Stuart si maskot tim sepak bola yang kemudian menjadi wali kota, atau Waldo si boneka digital yang mampu memengaruhi banyak orang, maka tak heran jika bebarapa waktu lalu Football Tribe Indonesia menerbitkan artikel tentang bagaimana menyikapi tahun politik dalam konteks sepak bola.

Kita juga menyaksikan pesepak bola yang mencalonkan diri sebagai Presiden di suatu Negara, ataupun Ketua Umum federasi yang maju dalam perebutan kursi Gubernur. Sebab seperti kata Aristoteles, bahwa manusia sejatinya adalah binatang politik (zoon politicon).  Jadi, selama sepak bola masih dimainkan oleh manusia, maka tak mungkin kita bisa menendang politik jauh-jauh darinya.

Author: Rizal Syam (@rizArt_)