Eropa Italia

Gennaro Gattuso, (Bukan) Perusak Segalanya

Apa yang kita cari dari tontonan sepak bola? Pertama pasti gol, kedua mungkin permainan seru, dan ketiga adalah kemenangan, jika kita menjagokan salah satu tim yang bertanding.

Bagaimana cara sebuah kesebelasan mencetak gol atau bermain indah agar meraih kemenangan? Ya tentu saja punya pemain yang bisa menjebol gawang lawan. Itu mutlak. Dari lini belakang sampai depan, setiap pemain dituntut bisa memanfaatkan peluang sekecil apapun demi mencetak gol.

Tapi bagaimana jika yang dimiliki sebuah kesebelasan adalah Gennaro Gattuso? Passing saja pas-pasan, apalagi mencetak gol. Menanti Gattuso menjebol gawang lawan seperti judul salah satu lagu dari Tulus: 1000 Tahun Lamanya.

Gattuso adalah anti-teori dari industri hiburan sepak bola. Di masanya, ketika dunia dibuai dengan ketajaman Andriy Shevchenko dan Alessandro Del Piero, lalu dihipnotis oleh tarian Andrea Pirlo, Gattuso muncul sebagai pemain pemain yang mungkin kita akan mengatakan “dia itu bisa apa sih?”

Selama berseragam AC Milan, jumlah golnya bisa dihitung jari. Bahkan asis saja menjadi pencapaian istimewa baginya karena jarang dilakukan. Tapi, Gattuso adalah elemen penting di pola permainan Milan, selama bertahun-tahun.

Tugasnya terlihat sederhana, rebut bola dan berikan pada pemain yang lebih jago mengolahnya. Simpel, tapi tidak mudah, karena ia seringkali berhadapan dengan pemain-pemain yang jago menahan bola. Itulah mengapa Gattuso pantas dilabeli sebagai perusak segalanya.

Ketika pemain lawan sedang menikmati liukan demi liukannya dengan bola, Gattuso datang dan langsung menyeruduknya. Ketika pemain lawan bersiap melakukan ancang-ancang untuk mencetak gol indah, Gattuso datang dan melanggarnya. Ketika tim lawan memeragakan permainan kaki ke kaki yang cantik, Gattuso datang bak bola boling, menjatuhkan lawannya satu per satu satu tanpa kenal ampun.

Tak hanya menyebalkan bagi lawan, bahkan beberapa Milanisti pun kerap mengeluh saat bola berada di kaki Gattuso. Ia tak bisa diharapkan mengirim umpan terobosan membelah pertahanan lawan, pun tendangannya juga tak lebih baik dari seorang bek. Kacau.

Ia merusak pemandangan dari sepak bola yang dimainkan secara anggun, tetapi dia tipikal pemain yang jarang ada di dunia ini. Dua atribut yang menjadi ciri khasnya: stamina dan kerja keras. Tak banyak pemain yang bersedia menempuh jalan menuju kelas dunia dengan bermodalkan dua hal itu.

Jika kita melihat permainan Gattuso di masa jayanya, ia selalu terlihat totalitas melakukan pekerjaannya. Ia takkan berhenti mengejar jika bola belum direbut, ia takkan berhenti berlari jika timnya belum menang, dan ia takkan berhenti menegur rekannya sampai semua berjalan seperti taktik yang diterapkan pelatih.

Berkat totalitasnya itu pula, terkadang temperamennya sempat di luar kendali. Ia pernah terlibat pertikaian dengan beberapa lawannya seperti Zlatan Ibrahimović, Vincenzo Montella, bahkan Peter Crouch yang berpostur lebih tinggi darinya. Hebatnya, Gattuso jarang terkena kartu merah.

Gattuso tahu kapan waktu untuk berperilaku menyebalkan bagi lawan, dan ia juga tahu kapan untuk mengakhiri konfrontasinya. Sebuah trik mengatur emosi yang layak diacungi dua jempol, karena hal sepele semacam itu bisa merusak konsentrasi tim lawan.

 

Gennaro Gattuso resmi diangkat sebagai pelatih AC Milan

Akhir karier yang di luar dugaan

Untuk pemain di posisinya dan gaya bermain yang diusungnya, banyak yang memperkirakan kalau Gattuso akan tetap awet berkarier hingga usia hampir mencapai kepala empat. Namun, sebuah insiden di tahun 2011 ketika ia berumur 33 tahun menjadi pertanda dari akhir kariernya.

Di laga pembuka Serie A 2011/2012 melawan Lazio, Gattuso bertabrakan dengan Alessandro Nesta. Dari insiden itu, ia didiagnosa mengalami gangguan penglihatan, yang sudah mulai dirasakannya sesaat setelah ia membuka mata setelah bertabrakan. Gattuso mengungkapkan, saat itu ia melihat ada empat Ibrahimović, dan sulit mengenali wajah Nesta.

Akibatnya, ia sempat absen lama, dan di akhir musim memutuskan untuk tidak memperpanjang kontraknya di Milan. Gattuso akhirnya hengkang ke FC Sion di Liga Swiss, dan pensiun di sana sekaligus memulai karier kepelatihannya.

Gattuso merupakan pemain yang mungkin takkan kita temukan lagi duplikatnya. Itulah mengapa ia sangat dirindukan, baik di Milan maupun timnas Italia. Namun sayangnya, karier kepelatihan yang kurang apik sedikit mencoreng nama baiknya.

Sejak di Sion hingga menakhodai Palermo, OFI Crete, Pisa, dan Milan musim ini, prestasinya sangat jauh dari kata memuaskan. Namun, para Milanisti yang baik hati sebaiknya jangan melulu berprasangka buruk kalau Si Badak akan membawa Milan ke jurang kehancuran.

Gattuso adalah legenda Milan, sosok yang dihormati di Milan. Yakinlah kalau ia pasti akan berbuat yang terbaik untuk Milan. Tak selamanya ia menjadi perusak, dan sebagai pelatih Milan saat ini, adalah waktu terbaik baginya untuk membangun reputasi sebagai pelatih jempolan.

Buon compleanno, Rhino!

 Author: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)
Milanisti paruh waktu yang berharap Andriy Shevchenko kembali muda dan membawa AC Milan juara Liga Champions Eropa lagi.