Layaknya kawasan Benua Biru yang lain, wilayah Balkan yang terletak di Eropa barat daya dan berbatasan langsung dengan Laut Hitam, juga sangat menggemari permainan sepak bola.
Sudah menjadi rahasia umum bila negara-negara Balkan, baik Albania, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Kroasia, Serbia, hingga Slovenia merupakan salah satu produsen pemain berbakat.
Salah satu nama pesepak bola dari kawasan Balkan yang namanya kini sedang meroket dan akrab di telinga penikmat sepak bola adalah Jan Oblak. Profil dari penjaga gawang berpaspor Slovenia itu dianggap sudah setara dengan beberapa nama kiper jempolan lain semisal Thibaut Courtois dan Gianluigi Donnarumma, walau masih di bawah sosok top macam Gianluigi Buffon serta Manuel Neuer.
Oblak memulai perjalanannya di dunia sepak bola ketika bergabung dengan kesebelasan lokal Slovenia, Locan, dalam usia 5 tahun. Tapi di usia 10 tahun, Oblak memilih pindah ke akademi NK Olimpija Ljubljana.
Sedari masih belia, kemampuan Oblak dinilai sangat luar biasa. Presensinya di bawah mistar, utamanya lewat antisipasi, refleks, dan ketenangannya dalam menjaga gawang, benar-benar mengagumkan. Tak heran bila Olimpija memberinya kesempatan debut saat usianya baru 16 tahun di musim 2009/2010 lalu.
Pada musim pertamanya berstatus profesional itu, Oblak langsung tampil sebagai kiper inti di Olimpija. Dari 36 pertandingan, kiper kelahiran Skofja Loka itu bermain di 34 laga. Dirinya pun sukses mengantar Olimpija lolos ke babak kualifikasi pertama Liga Europa, lantaran finis di peringkat empat klasemen akhir Liga Slovenia.
Performa apiknya kala itu membuat tim asal Portugal, Benfica, kesengsem. Biaya sebesar 1,7 juta euro pun mesti dikeluarkan As Aguias untuk memboyong Oblak menuju Semenanjung Iberia.
Mengingat usianya yang masih sangat muda, pembelian Oblak memang tak lebih dari sekadar investasi jangka panjang yang dilakukan klub. Apalagi di musim 2010/2011 hingga 2012/2013, ada nama Roberto Gago dan Artur Moraes yang bergantian tampil sebagai kiper utama.
Oblak sendiri lebih sering ‘disekolahkan’ oleh Benfica ke klub Portugal yang lain. Mulai dari Beira-Mar, Olhanense, Uniao de Leiria, dan Rio Ave selama beberapa musim pertamanya di Portugal.
Bersama dua klub yang namanya disebut paling akhir, performa Oblak sebagai kiper semakin menjulang. Pantas saja Benfica memutuskan untuk mempertahankan Oblak di skuat mereka jelang bergulirnya musim 2013/2014.
Ajaibnya, Jorge Jesus yang saat itu menukangi As Aguias langsung mendapuk Oblak sebagai pilihan nomor satu menggantikan Artur. Kepercayaan itu pun dibalas Oblak dengan cara brilian yaitu mengantar Benfica meraih treble winners di ajang domestik usai menjuarai Liga Primera Portugal, Piala Portugal, dan Piala Liga.
Tak sampai di situ karena Oblak pun ditahbiskan sebagai penjaga gawang terbaik Liga Primera Portugal di musim tersebut. Mengalahkan kandidat lain seperti Helton (Porto) dan Rui Patricio (Sporting Lisbon).
Namun nahas buat Oblak, pencapaian itu tak membuatnya sanggup menghadiahi Benfica dengan gelar prestisius lain. Pasalnya, Benfica harus menelan pil pahit di babak final Liga Europa 2013/2014 lantaran keok di tangan wakil Spanyol, Sevilla.
Karier Oblak yang melesat di Portugal selama musim 2013/2014 membuat sejumlah klub papan atas Eropa menaruh atensi besar kepadanya. Salah satunya adalah tim yang juga berasal dari Semenanjung Iberia, tepatnya Spanyol, Atletico Madrid.
Kebetulan, seusai musim 2013/2014 berakhir, Atletico harus rela ditinggalkan Courtois yang kembali ke Chelsea, klub pemiliknya. Sadar bila mereka butuh figur penjaga gawang berkualitas, manajemen Los Rojiblancos pun mendaratkan Oblak ke ibu kota Spanyol usai ditebus dengan kocek senilai 16 juta euro.
Seakan berjodoh dengan wilayah Semenanjung Iberia, karier Oblak di Atletico pun berjalan dengan gemilang. Membuat manajemen Los Rojiblancos tak menyesali keputusan mereka untuk memboyong Oblak walau di musim perdana, ia kalah bersaing dari Miguel Angel Moya akibat dihantam cedera pada awal musim.
Akan tetapi, roda nasib Oblak berputar drastis di musim keduanya berseragam Atletico. Skill menawannya dianggap Diego Simeone lebih mumpuni untuk memberi rasa aman dan nyaman di jantung pertahanan, apalagi saat itu giliran Moya yang kudu absen karena cedera.
Oblak selalu menjadi pilihan utama di ajang La Liga Spanyol dan Liga Champions. Kiper setinggi 189 sentimeter ini bahkan tak sekalipun absen di musim 2014/2015.
Walau cuma finis di peringkat tiga klasemen akhir La Liga Spanyol, Los Rojiblancos sukses menembus final Liga Champions untuk kali kedua dalam rentang tiga musim. Nahasnya, Atletico harus menelan kekecewaan usai dibungkam sang rival sekota, Real Madrid, pada babak krusial tersebut.
Di musim-musim berikutnya, meski Atletico mulai paceklik titel juara akibat dominasi Barcelona dan Real Madrid yang semakin menjadi-jadi, penampilan konsisten Oblak di bawah mistar Los Rojiblancos tetap mengundang pujian.
Performa apik yang disuguhkan Oblak itu juga yang membuat namanya mulai dilirik klub-klub yang lebih mapan dari Atletico. Tak jarang, namanya dicatut sebagai komoditi panas di pos penjaga gawang dan siap dibajak oleh Chelsea, Juventus, Manchester United, atau bahkan Paris Saint-Germain (PSG).
Selain mengilap bareng Atletico, Oblak pun selalu jadi pilihan utama tim nasional Slovenia usai kiper Internazionale Milano, Samir Handanovic, memilih pensiun dari kancah internasional di pengujung 2015 yang lalu. Malangnya, Oblak gagal mengantar negaranya lolos ke Piala Dunia 2018 kemarin akibat rontok di babak kualifikasi zona Eropa.
Dengan usia yang masih muda, 25 tahun per hari ini (7/1), kesempatan Oblak untuk mendulang prestasi jelas terhampar luas di masa yang akan datang. Baik selama di Semenanjung Iberia bareng Atletico, maupun bersama timnas Slovenia.
Imajo dolzno zivljenje, Jan.
Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional