Eropa Jerman

Kisah Berti Vogts, Pelatih Hebat yang Terlupakan dari Jerman

Saat Franz Beckenbauer digantikan Berti Vogts setelah membawa Jerman (Barat) juara Piala Dunia 1990, banyak orang bertanya: siapa Berti Vogts ini? Nama sosok ini jelas kalah pamor dengan Der Kaizer dan para mantan penggawa Jerman saat menjuarai Piala Dunia pertama kali pada 1974 seperti Gerd Muller atau Paul Breitner.

Vogts, pria sepuh berusia 70 tahun hari ini, sebelumnya adalah asisten manajer di timnas senior (1986-1990), kadi lumrah saja dia naik pangkat menggantikan sang legenda. Para penggemar timnas Jerman bertanya-tanya apakah negeri yang telah bersatu kembali setelah Perang Dingin ini mampu meneruskan kejayaan setelah Piala Dunia 1990.

Beckenbauer secara sesumbar mengatakan bahwa Jerman tak akan terkalahkan dalam waktu lama seusai reunifikasi karena pemain-pemain dari wilayah timur akan bergabung. Pernyataan penuh keyakinan ini justru membebani Vogts. 11 bulan setelah Piala Dunia, Lothar Mattaheus dan kolega justru kalah dari tim semenjana Wales di kandang sendiri.

Dan pada 1992, Jerman justru kalah di final Piala Eropa dari tim debutan Denmark di Swedia. Padahal, Laudrup bersaudara, Peter Schmeichel,dan rekan-rekan tak diunggulkan dan ikut Piala Eropa karena menggantikan Yugoslavia, yang sudah tercerai berai akibat perang saudara.

Piala Dunia 1994 Amerika Serikat, Jerman hadir sebagai juara bertahan dan masih dengan rasa percaya diri tinggi, Jerman malah kalah di perempat-final oleh Bulgaria. Tendangan bebas indah Hristo Stoichkov menjadi hal yang tak mungkin terlupakan dalam sejarah sepak bola.

Tetapi sentuhan Vogts membuahkan hasil pada Piala Eropa 1996 di Inggris. Mantan bek timnas Jerman dan Borussia Mönchengladbach ini menekankan bahwa “the team is the star”. Tidak ada ketergantungan tim pada salah satu pemain bintang. Semua pemain adalah bintang, siapapun dia.

Di bawah asuhan Vogts pula, kita mengenai nama pemain dari Jerman (Timur): Matthias Sammer. Nama ini dibawa sang pelatih saat Matthaeus cedera pada 1995 (kualifikasi Piala Eropa). Dan Vogts menjadi musuh bersama karena juga meninggalkan pemain bintang kontroversial pujaan suporter Bayern München Steffan Effenberg

Memang, Jerman tak langsung menang. Bahkan kalah tipis 2-3 dari Bulgaria. Walau begitu, publik mulai menyukai permainan atraktif tim Panser.

Di partai-partai berikutnya, Jerman yang telah bersatu mulai unjuk gigi. Mengalahkan Republik Ceko (yang akhirnya mereka kalahkan pula di partai puncak), Rusia, dan kemudian salah satu kandidat juara Italia, Jerman melenggang ke babak delapan besar.

Di perempat-final, Jerman unggul 2-1 dan melaju ke empat besar berhadapan dengan tuan rumah Inggris. Namun, masalah belum selesai. Dua pemain inti, Fredi Bobic dan Mario Basler cedera.

Ada satu nama yang menjadi legenda di bawah asuhan Vogts, siapa lagi kalau bukan Oliver Bierhoff. Pria tampan yang pernah merumput bersama AC Milan di pertengahan 1990-an ini awalnya kurang diperhitungkan. Tetapi, istri Vogts, Monika, mempunyai peran dengan memberi saran pada sang suami agar Bierhoff dibawa. Dan kata-kata sang istri terbukti manjur.

Tekanan dari Karel Poborsky dan kolega di partai puncak Piala Eropa 1996 membuat para suporter Jerman merasa ragu. Apakah Vogts gagal lagi kali ini setelah gagal di Piala Eropa 1992 dan Piala Dunia 1994? Terlebih Ceko lebih dulu unggul.

Tetapi, justru Bierhoff yang menjadi cadangan yang menjadi pahlawan. Menyamakan kedudukan di waktu normal, Bierhoff membawa Jerman ke pesta kemenangan dengan gol emasnya di perpanjangan waktu. Rakyat bersorak. Inilah gelar pertama Jerman setelah reunifikasi.

Vogts menundurkan diri sebagai pelatih timnas Jerman pada 1998. Setelah itu, dia menukangi beberapa tim dan terakhir menjadi asisten Jürgen Klinsmann di Timnas AS. Kisah sukses tahun 1996 memang tidak terulang. Namun, keberhasilan Vogts mengatasi berbagai masalah sepanjang kualifikasi hingga turnamen Piala Eropa 1996 (dari cedera, akumulasi kartu kuning dan sebagainya) dan menyatukan pemain-pemain yang seadanya membuat kontribusinya akan tetap dikenang publik Jerman. Sekalipun awalnya harus dikecam dan dibenci publik sendiri.

Author: Yasmeen Rasidi (@melatee251)