Gennaro Gattuso memasuki lorong pemain dengan suasana hati yang dag dig dug. Penuh kecemasan, kewaspadaan, sekaligus ketidaksabaran. Ini adalah Derby Della Madonnina pertamanya sebagai pelatih, dan ia harus membawa Milan menang malam itu. Bagaimanapun caranya.
Pelatih yang semasa aktif sebagai pemain dijuluki ‘Si Badak’ itu melabeli laga perempat-final Coppa Italia kontra Internazionale Milano ini sebagai final Piala Dunia. Pada malam berkabut di San Siro, I Rossoneri harus memenangkan pertandingan, sebagai harga diri sekaligus memupus luka di dua laga sebelumnya.
Ini adalah kali pertama derbi Milan berlangsung selama 120 menit, dan hebatnya, ini adalah kali pertama kita melihat Milan bermain sebagai sebuah tim di musim ini. Para pemain sangat padu, kompak, saling membantu satu sama lain.
Di lini belakang, duet Leonardo Bonucci dan Alessio Romagnoli tampil sangat tangguh. Performa mereka di laga tersebut sudah jauh berkembang dari laga-laga sebelumnya. Terbukti, Mauro Icardi dibuat mati kutu. Dia menjadi kucing di kotak penalti Milan, berlari ke sana kemari mencari bola tanpa membuahkan hasil.
Di lini tengah, Franck Kessié luar biasa kokoh, seperti slogan salah satu merek semen di Indonesia. Dia sangat bekerja keras. Selalu bergerak untuk membongkar pertahanan Inter, dan kekuatan tubuhnya ia gunakan dengan sangat baik untuk merebut bola. Milan seakan mendapat pemain yang cucok cyin untuk harga yang akan mereka bayarkan lunas musim depan.
Terakhir, ini yang terjadi di luar dugaan malam itu. Pemilihan Antonio Donnarumma sebagai kiper utama, menyingkirkan Gianluigi Donnarumma yang diistirahatkan, dan Marco Storari yang cedera. Namun siapa sangka, Antonio justru menjadi pahlawan lainnya di laga itu.
Berkali-kali penyelamatan gemilang dilakukannya, dan berkali-kali pula umpang silang pemain Inter dipatahkannya. Ia mungkin tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, dan inilah mimpi yang menjadi kenyataan baginya. Menjadi starter di derbi sekota dan meraih clean sheet.
Selain pemilihan susunan pemain dan formasi yang tepat, poin lainnya yang memengaruhi kemenangan Milan adalah masuknya dua pemain pengganti, Hakan Çalhanoğlu dan Patrick Cutrone.
Çalhanoğlu, yang sempat diisukan akan dipinjamkan ke Fenerbahce dan Galatasaray, menunjukkan kualitasnya yang sebenarnya malam itu. Visinya dalam merancang serangan dan mengirim umpan matang, memberi tekanan yang hebat pada lini pertahanan armada Luciano Spalletti.
Kemudian untuk Patrick Cutrone, apa yang akan dilakukan oleh seorang remaja yang mengalir darah berwarna merah-hitam di tubuhnya? Ya tentu saja memberikan yang terbaik untuk klub yang berseragam warna itu, dan di pertandingan ini berwujud gol kemenangan. Gol semata wayang yang meloloskan Milan ke semifinal.
Cutrone bertarung selayaknya partai hidup dan mati. Ia tak peduli seberapa tangguh lawannya, ia juga tak peduli dengan status junior yang disandangnya. Tujuannya saat itu hanya satu: menunaikan tugas sebagai pencetak gol, dan itu ia tuntaskan pada menit ke-104.
Ia lalu berlari ke arah tribun pendukung Milan. Melepas jersey-nya, meluapkan kegembiraan, mendapat kartu kuning akibat selebrasinya, sekaligus mengukir kenangan manis yang mungkin akan diingat selama hidupnya.
Selama dua jam, wajah AC Milan di Derby Della Madonnina Kamis kemarin (28/12) berubah drastis, seperti baru melakukan operasi plastik. Dari yang selalu murung dalam dua bulan terakhir, menjadi penuh optimisme dengan ambisi tinggi. Semua pemain bekerja bersama, bersatu dalam tim, untuk memberikan hasil yang terbaik bagi AC Milan beserta para pendukungnya di seluruh dunia.
Kemenangan ini seharusnya bisa menjadi titik balik Milan di sisa musim. Kemenangan ini seharusnya bisa menjadi tonggak untuk menuntun mereka ke jalur utama dalam lima bulan ke depan, demi meraih tiket ke kompetisi Eropa.
Inilah AC Milan, dan inilah wajah mereka yang harus selalu dipasang setiap pekannya. Bermahkota kejayaan, berparas kemenangan, dan bernapas untuk kebangkitan.
Author: Matthew Santangelo (football-italia.net)
Penerjemah: Aditya Jaya Iswara (@joyoisworo)